Pekan lalu, pemerintah provinsi Aceh mencabut izin yang sangat kontroversial untuk perusahaan minyak sawit PT Kallista Alam, yang dituduh kelompok lingkungan secara ilegal membabat hutan lindung.
Aktivis lingkungan memuji langkah itu sebagai kemenangan besar bagi perlindungan hutan, tetapi perusahaan itu hanya satu dari banyak perusahaan yang dituduh merusak lingkungan.
Sumatera Utara adalah lokasi salah satu ekosistem paling penting di dunia, dan tempat berlindung orangutan Sumatra yang terancam punah. Dalam beberapa tahun terakhir, makhluk itu terancam perusahaan-perusahaan yang membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit.
Rawa gambut Tripa pertama kali mendapat perhatian pada bulan Maret ketika kelompok pecinta lingkungan memperingatkan bahwa perusahaan-perusahaan yang beroperasi dengan izin tidak sah, membakar hutan di sana sehingga menewaskan orangutan.
Menurut mereka, gubernur Aceh ketika itu melanggar larangan dua tahun tentang konversi hutan baru dengan memberi izin untuk perusahaan kelapa sawit PT Kallista Alam. Izin itu, yang dikeluarkan beberapa bulan setelah moratorium diberlakukan, memungkinkan perusahaan tersebut mengembangkan sekitar 1.600 hektar lahan, sebagian besar pada gambut, yang bila rusak, melepas karbon berbahaya ke atmosfir.
Sejak tahun 2010 sekitar 15 ribu hektar hutan primer telah dibabat. Kini, tinggal kurang dari seperempat hutan asli.
Menurut Ian Singleton, direktur konservasi untuk program perlindungan orangutan di ekosistem Leuser, yang mengelilingi Tripa, kelompok-kelompok lingkungan kerap berusaha keras membuktikan bahwa perusahaan-perusahaan yang dicurigai beroperasi secara ilegal. Tetapi kasus Tripa adalah pengecualian.
"Kallista Alam jelas-jelas ilegal dan buktinya sudah ada sehingga kami memutuskan menuntutnya," ujar Ian Singleton.
Awal tahun ini, kelompok lingkungan setempat, Friends of the Earth, mengajukan gugatan terhadap perusahaan itu dan pemerintah Aceh. Langkah itu memicu penyelidikan serupa dari beberapa instansi pemerintah dan polisi, yang sedang menyelidiki tuduhan pembakaran ilegal.
Singleton mengatakan, penyelidikan itu menunjukkan perusahaan-perusahaan lain yang beroperasi di daerah tersebut juga melanggar hukum.
"Meski sangat senang karena izin Kallista Alam dicabut, yang kami lihat di lapangan, masalah serupa terus terjadi," tambahnya.
Moratorium pembukaan hutan adalah inti kesepakatan iklim di mana Norwegia menjanjikan satu milyar dolar untuk membantu upaya Indonesia mengurangi emisi karbon akibat deforestasi. Kasus Tripa dianggap sebagai ujian bagi komitmen Indonesia menghentikan pembukaan hutan dan mengurangi emisi karbon 26 persen menjelang tahun 2020.
Dalam lawatan baru-baru ini ke Amerika, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima penghargaan pengelolaan lingkungan dari sekelompok organisasi konservasi atas janji-janjinya. Tetapi, menurut aktivis di Jakarta, penegakan hukum yang mencegah pembukaan lahan, terbukti sulit.
Menurut mereka, pemerintah daerah menerima uang sebagai imbalan untuk mengeluarkan izin yang melanggar hukum nasional. Sementara itu, perusahaan-perusahaan terus membakar hutan karena itu merupakan cara membuka lahan paling murah dan paling efektif.
Sumatera Utara adalah lokasi salah satu ekosistem paling penting di dunia, dan tempat berlindung orangutan Sumatra yang terancam punah. Dalam beberapa tahun terakhir, makhluk itu terancam perusahaan-perusahaan yang membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit.
Rawa gambut Tripa pertama kali mendapat perhatian pada bulan Maret ketika kelompok pecinta lingkungan memperingatkan bahwa perusahaan-perusahaan yang beroperasi dengan izin tidak sah, membakar hutan di sana sehingga menewaskan orangutan.
Menurut mereka, gubernur Aceh ketika itu melanggar larangan dua tahun tentang konversi hutan baru dengan memberi izin untuk perusahaan kelapa sawit PT Kallista Alam. Izin itu, yang dikeluarkan beberapa bulan setelah moratorium diberlakukan, memungkinkan perusahaan tersebut mengembangkan sekitar 1.600 hektar lahan, sebagian besar pada gambut, yang bila rusak, melepas karbon berbahaya ke atmosfir.
Sejak tahun 2010 sekitar 15 ribu hektar hutan primer telah dibabat. Kini, tinggal kurang dari seperempat hutan asli.
Menurut Ian Singleton, direktur konservasi untuk program perlindungan orangutan di ekosistem Leuser, yang mengelilingi Tripa, kelompok-kelompok lingkungan kerap berusaha keras membuktikan bahwa perusahaan-perusahaan yang dicurigai beroperasi secara ilegal. Tetapi kasus Tripa adalah pengecualian.
"Kallista Alam jelas-jelas ilegal dan buktinya sudah ada sehingga kami memutuskan menuntutnya," ujar Ian Singleton.
Awal tahun ini, kelompok lingkungan setempat, Friends of the Earth, mengajukan gugatan terhadap perusahaan itu dan pemerintah Aceh. Langkah itu memicu penyelidikan serupa dari beberapa instansi pemerintah dan polisi, yang sedang menyelidiki tuduhan pembakaran ilegal.
Singleton mengatakan, penyelidikan itu menunjukkan perusahaan-perusahaan lain yang beroperasi di daerah tersebut juga melanggar hukum.
"Meski sangat senang karena izin Kallista Alam dicabut, yang kami lihat di lapangan, masalah serupa terus terjadi," tambahnya.
Moratorium pembukaan hutan adalah inti kesepakatan iklim di mana Norwegia menjanjikan satu milyar dolar untuk membantu upaya Indonesia mengurangi emisi karbon akibat deforestasi. Kasus Tripa dianggap sebagai ujian bagi komitmen Indonesia menghentikan pembukaan hutan dan mengurangi emisi karbon 26 persen menjelang tahun 2020.
Dalam lawatan baru-baru ini ke Amerika, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima penghargaan pengelolaan lingkungan dari sekelompok organisasi konservasi atas janji-janjinya. Tetapi, menurut aktivis di Jakarta, penegakan hukum yang mencegah pembukaan lahan, terbukti sulit.
Menurut mereka, pemerintah daerah menerima uang sebagai imbalan untuk mengeluarkan izin yang melanggar hukum nasional. Sementara itu, perusahaan-perusahaan terus membakar hutan karena itu merupakan cara membuka lahan paling murah dan paling efektif.