Para pengunjuk rasa iklim akan turun ke jalan-jalan di lebih dari 50 negara mulai dari Jumat (15/9) hingga Minggu (17/9), untuk menuntut agar dunia menghentikan pembakaran bahan bakar fosil yang menyebabkan pemanasan Planet Bumi.
Para penyelenggara protes memperkirakan jumlah peserta unjuk rasa pada akhir pekan ini akan mencapai lebih dari satu juta orang. Hal tersebut dapat menjadikan aksi akhir pekan ini sebagai protes iklim internasional terbesar sejak sebelum pandemi COVID-19, ketika gerakan “mogok sekolah” yang dipimpin oleh aktivis Swedia Greta Thunberg menyebabkan jutaan orang di seluruh dunia ikut serta dalam unjuk rasa.
“Ini ditujukan kepada para pemimpin dunia,” kata Mitzi Jonelle Tan, aktivis iklim gerakan pemuda Fridays for Future di Manila, Filipina.
BACA JUGA: Aktivis Lingkungan Kecam Bank Dunia karena Dukung Pembangunan PLTU di Indonesia“Waktu industri bahan bakar fosil sudah habis. Kita memerlukan transisi yang adil, dan kita harus menghentikan penggunaan bahan bakar fosil yang menyebabkan kerusakan lingkungan,” katanya kepada Reuters.
Penyelenggara mengatakan mereka akan meminta pemerintah untuk segera mengakhiri subsidi minyak dan gas dan membatalkan rencana perluasan produksi.
Pemerintah menghabiskan dana subsidi minyak, gas, dan batu bara sebesar $7 triliun pada tahun lalu, menurut analisa IMF.
“Kami turun ke jalan untuk menuntut agar para pemimpin Afrika menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan fokus pada investasi pada energi terbarukan yang dipimpin oleh masyarakat, untuk memenuhi permintaan energi bagi 600 juta orang Afrika yang tidak memiliki akses terhadap listrik,” kata Eric Njuguna, seorang aktivis iklim yang berbasis di Nairobi, Kenya.
Demonstrasi tersebut terjadi dua bulan sebelum KTT iklim COP28 PBB diselenggarakan pada tahun ini. Pada pertemuan tersebut lebih dari 80 negara berencana untuk mendorong perjanjian global untuk secara bertahap menghapuskan batu bara, minyak dan gas.
Pembakaran bahan bakar fosil adalah penyebab utama perubahan iklim. Namun banyak negara yang tidak pernah sepakat dalam perundingan iklim PBB untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil – meskipun mereka telah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan tenaga batu bara.
Pemerintah yang bergantung pada pendapatan minyak dan gas, dan berencana menggunakan energi berbasis bahan bakar fosil untuk meningkatkan standar hidup masyarakat miskin, diperkirakan akan menolak usulan tersebut.
Negara-negara kaya juga akan menghadapi tekanan untuk menawarkan lebih banyak dana guna membantu negara-negara berkembang berinvestasi pada energi rendah karbon.
Energi terbarukan lebih murah dibandingkan bahan bakar fosil dalam hal biaya pengoperasiannya. Namun masyarakat memerlukan dukungan untuk melakukan investasi awal yang diperlukan untuk segera membangun pembangkit listrik tenaga angin dan memasang panel surya.
BACA JUGA: G20 Gagal Capai Kesepakatan Pangkas Bahan Bakar FosilMeskipun memiliki sumber daya energi surya yang berlimpah, Afrika hanya menerima 2 persen dari investasi global dalam energi terbarukan selama dua dekade terakhir, menurut Badan Energi Terbarukan Internasional.
Sekitar 15.000 orang diperkirakan akan mengikuti unjuk rasa di New York pada Minggu (17/9), saat para pemimpin berkumpul untuk menghadiri Majelis Umum PBB pada minggu depan, serta “pertemuan puncak ambisi iklim” pada Rabu. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres diperkirakan akan meminta pemerintah negara-negara lain untuk memperkuat rencana mereka dalam mengurangi emisi yang menyebabkan pemanasan global.
Sebuah laporan PBB pekan lalu memperingatkan bahwa dunia berada pada jalur berbahaya menuju pemanasan global yang parah, dan mengatakan diperlukan tindakan lebih lanjut di semua lini, termasuk penurunan drastis penggunaan listrik berbahan bakar batu bara pada 2030.
Laporan tersebut juga mendesak peningkatan besar-besaran dalam investasi keuangan ke negara-negara berkembang baik untuk energi bersih maupun langkah-langkah untuk beradaptasi terhadap meningkatnya panas, memburuknya badai, dan konsekuensi lain dari pemanasan iklim, kata PBB. [ah/rs]