Ketika Samantha Maltais melangkah ke kampus Universitas Harvard musim gugur ini, dia akan menjadi anggota pertama suku Aquinnah Wampanoag yang berkuliah di fakultas hukum bergengsi itu. Ini adalah “momen kembali ke awal” untuk universitas dan suku Indian di Martha's Vineyard, katanya.
Lebih dari 350 tahun yang lalu, Caleb Cheeshahteaumuck, seorang pria Aquinnah Wampanoag, menjadi penduduk asli Amerika pertama yang lulus dari Universitas Cambridge, Massachusetts. Prestasi itu dicapai sebagai produk dari piagam tahun 1650 yang menyerukan pendidikan bagi “pemuda Inggris dan Indian di negara ini.”
“Jadi, sebagai anggota suku Wampanoag di Aquinnah, saya mengerti bahwa sejarah kami terkait dengan Universitas Harvard. Kami, orang Wampanoag, adalah orang yang menyambut para pendatang (dari Inggris) dan Harvard menjadi salah satu dari sekian banyak institusi kolonial yang mendorong komunitas suku kami ke latar belakang di tanah air mereka sendiri," kata Samantha Maltais.
Maltais akan tiba di kampus Harvard ketika para mahasiswa, dosen dan suku-suku asli Amerika mendorong lembaga-lembaga perguruan Ivy League (delapan universitas riset swasta berprestasi di wilayah Timur Laut Amerika) dan perguruan tinggi lain untuk berbuat lebih banyak bagi masyarakat adat untuk menebus kesalahan masa lalu, seperti halnya negara bagian, kota dan universitas mempertimbangkan. Dalam beberapa kasus, mereka sudah memberikan ganti rugi untuk perbudakan dan diskriminasi terhadap orang kulit hitam.
Di Minnesota, 11 suku telah meminta sistem universitas negeri untuk mengembalikan sebagian tanah yang diambil dari suku-suku di sana, memberikan keringanan biaya kuliah kepada mahasiswa penduduk asli Amerika dan meningkatkan jumlah dosen dari penduduk asli Amerika, di antara tuntutan lainnya.
Tadd Johnson, direktur hubungan dengan suku-suku Indian di Universitas Minnesota dan anggota Bois Forte Band of Chippewa, mengatakan universitas akan menciptakan proses “kebenaran dan rekonsiliasi” untuk mendokumentasikan kesalahan sejarah dan menentukan cara-cara untuk memperbaikinya.
“Kami mendengarkan,” katanya. “Kami bertindak pada hampir semua hal yang telah disampaikan kepada kami.”
Sementara itu di Colorado, anggota parlemen negara bagian kini mempertimbangkan undang-undang untuk memberikan biaya kuliah di negara bagian itu kepada mahasiswa dari suku-suku tertentu yang diakui secara federal.
Di California, mahasiswa penduduk asli Amerika menginginkan keringanan biaya kuliah dan ganti rugi nyata lainnya, setelah sebagian besar lembaga pendidikan negeri mengeluarkan pernyataan yang mengakui kesalahan masa lalu sejarah dengan tanah milik suku-suku asli, menurut Tori McConnell, seorang anggota suku Suku Yurok berusia 21 tahun yang lulus dari Universitas California, Davis pada bulan Juni ini.
Ryan King, juru bicara universitas, mengatakan para pejabat “bekerja dengan rajin” untuk terus mendukung mahasiswa pribumi dan komunitas suku. Dia mengutip pembentukan dewan penasihat untuk rektor universitas yang mencakup para pemimpin suku dan cendekiawan, di antara upaya-upaya lain baru-baru ini.
BACA JUGA: Pendaftaran Calon Mahasiswa Meningkat di Tengah PandemiBanyak universitas di Amerika adalah produk dari apa yang disebut Morrill Act, undang-undang yang ditandatangani oleh Presiden Abraham Lincoln pada tahun 1862 yang mendanai pendirian perguruan tinggi negeri melalui penjualan tanah federal. Namun, penyelidikan oleh High Country News, sebuah media nirlaba independen, pada tahun lalu menunjukkan hampir 11 juta hektar yang diperuntukkan untuk apa yang disebut tanah hibah ke perguruan tinggi sebenarnya diambil dari sekitar 250 suku asli Amerika.
Di Massachusetts Institute of Technology (MIT), tidak jauh dari Harvard, para mahasiswa penduduk asli Amerika pada semester yang baru lalu mendapati warisan penduduk asli Amerika pada universitas terkenal itu, termasuk bagaimana Universitas Harvard terus mendapat keuntungan dari statusnya sebagai salah satu perguruan tinggi hibah tanah di Amerika.
Luke Bastian, seorang mahasiswa suku Navajo berusia 22 tahun dari Phoenix, mengatakan bahwa dia dan para mahasiswa lain mempresentasikan proyek kuliah mereka kepada presiden MIT awal bulan lalu dan mereka mendesak lembaga itu agar membuat program studi penduduk asli Amerika.
Seruan bagi perguruan tinggi untuk berbuat lebih banyak muncul pada saat yang kritis, karena pandemi virus corona telah memperburuk tantangan pendidikan tinggi bagi mahasiswa pribumi, yang selama ini memiliki tingkat kelulusan perguruan tinggi terendah di Amerika, kata Cheryl Crazy Bull, presiden American Indian College Fund (Dana Perguruan Tinggi Indian Amerika), yang memberi Maltais beasiswa penuh untuk menempuh studi hukum di Harvard.
Lulusan Sarjana dari Dartmouth College, Samantha Maltais, yang baru-baru ini bertugas untuk Peace Corps di Tonga, juga mendukung gagasan biaya kuliah gratis atau diskon untuk mahasiswa pribumi, tetapi menekankan bahwa hal itu tidak boleh menjadi satu-satunya solusi.
Dia mengingatkan komitmen pada piagam pendirian perguruan tinggi yang ditandatangani oleh leluhurnya.
“Sangat penting bahwa ketika kita berbicara tentang dampak dari komitmen ulang terhadap piagam itu, sehingga kita juga memahami bahwa tidak semua orang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tidak semua orang membutuhkan gelar. Terkadang, satu-satunya ganti rugi untuk tanah adalah tanah," kata Samantha Maltais. [lt/ft]