Aktivis Perempuan Afsel Serukan Hukuman atas Pelecehan Perempuan

Fumana Ntontlo, perempuan Afrika selatan berusia 30 tahun, mengaku mengalami perkosaan saat berusia 8 tahun (foto: dok). Penegakan hukum atas pelaku perkosaan masih sangat lemah di Afrika selatan.

Pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap seorang gadis cacat mental di distrik Suweto, Johannesburg, telah membuat kemarahan di Afrika Selatan dan dunia.
Afrika Selatan adalah salah satu negara paling berbahaya di dunia bagi perempuan dalam hal perkosaan dan kekerasan rumah tangga. Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan 60.000 perempuan dan anak-anak mengalami pelecehan seksual setiap bulannya di negara ini.

Peace - namanya diubah untuk melindungi identitasnya - adalah salah satu dari 60.000 perempuan itu.

Ketika ia bercakap-cakap dengan temannya di penampungan, dia mengingat kembali perjalanan panjang yang ia lalui hingga sampai di tempat itu, suaminya yang kaya dan berkuasa, kekerasan, ancaman-ancaman, dan bertahun-tahun hidup jauh dari anaknya. Akhirnya, hampir setahun yang lalu, ia tiba di penampungan LSM Masyarakat Melawan Kekerasan terhadap Perempuan, juga dikenal sebagai People Against Women Abuse, POWA.

"Ketika saya datang ke sini, mereka membantu saya untuk meningkatkan keterampilan saya. Salah satu hal yang saya pelajari disini adalah bahwa kita tidak harus tinggal dalam lingkungan yang diwarnai dengan kekerasan. Kita tidak harus berdiam diri, kita harus bersuara. Carilah pertolongan," papar Peace.

Peace cukup berani untuk membuat perubahan pada dirinya sendiri. Tapi penasehat POWA, Thandi Ngandweni, mengatakan tidak semua perempuan melaporkan kekerasan yang dialaminya.

"Beberapa perempuan, khususnya di daerah pedesaan, ketika mereka datang ke kantor kami, tidak tahu hak-hak mereka sama sekali. Jadi kami melakukan pelatihan, dan mendidik mereka,” kata Ngandweni

Juru bicara Komisi untuk Kesetaraan Gender, Javu Baloyi, mengatakan membuat perempuan sadar akan hak mereka perlu dijadikan prioritas jika Afrika Selatan ingin meninggalkan kebudayaan yang didominasi kaum laki-laki.

"Kita hidup dalam masyarakat patriarki, dimana sebagian laki-laki, tidak percaya bahwa kaum perempuan memiliki hak. Kita perlu memastikan bahwa isu-isu gender dan hak asasi menjadi pelajaran wajib di universitas. Bahkan pada tingkat dasar, di SD, anak-anak seharusnya memiliki pelajaran mengenai arah hidup, apa itu gender, apa itu hak asasi. Kita perlu memastikan bahwa kita mengajar para guru, mengajar para pemimpin suku, mengajar anggota parlemen, dan mengajarkan masyarakat luas tentang hal-hal itu,” kata Baloyi.

Perempuan Afrika Selatan, apakah mereka tahu atau tidak, memiliki beberapa perlindungan hukum yang paling luas dan maju di dunia.

Hal ini disebabkan, sebagian, oleh tindakan cepat menghapuskan semua diskriminasi ketika kekuasaan minoritas kulit putih berakhir tahun 1994. Namun sayang sekali, tidak semua peraturan tersebut dilaksanakan dengan baik.