Aktivis Perempuan Nahdlatul Ulama (NU) Neng Dara Affiah mendesak pemerintah dan DPR agar meninjau ulang kembali pasal penodaan agama. Menurutnya, pasal penodaan agama tersebut telah banyak memakan korban dari orang yang tidak bersalah. Kasus terbaru, Meliana yang divonis bersalah oleh Pengadilan Medan, karena mengatakan suara Azan semakin kencang.
Kata Neng Dara, salah satu penyebab banyaknya orang divonis bersalah yaitu karena ketidakjelasan definisi pasal penodaan agama, baik Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ataupun di KUHP.
"Pertama pendefinisian penodaan agama itu juga apa itu harus diperjelas. Hukum itu kan buat manusia, subyek hukumnya itu siapa harus diperjelas. Bagian-bagian yang dilarang dalam penodaan agama itu apa saja, misalnya tidak mengejek pemeluk agama yang meyakini pemeluk agama tertentu," jelas Neng Dara dalam diskusi di Kantor Partai Solidaritas Indonesia, Kamis (20/9).
Kendati mendorong peninjauan ulang, Neng Dara tidak setuju jika pasal penodaan agama dihapus dari hukum di Indonesia. Ia khawatir penghapusan pasal penodaan agama akan memicu persoalan baru di dalam masyarakat Indonesia yang beragam. Neng Dara siap bekerjasama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya untuk berkolaborasi merevisi pasal penodaan agama.
Sementara itu Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pasal penodaan agama lahir dari kondisi kedaruratan pada masa Presiden Indonesia Kesatu Soekarno. Sehingga pasal tersebut tidak relevan dengan kondisi kekinian. Di samping itu, beberapa kasus penodaan agama kerap dipengaruhi fatwa ulama sehingga pengadilan menjatuhkan vonis bersalah terhadap tersangka. Hal tersebut seperti yang terjadi Meliana dan ustad Tajul Muluk di Sampang, Madura.
"Saya ambil contoh kasus Meliana. Oktober 2016, Wakapolda Sumatera Utara mengatakan Meliana tidak sepatutnya ditetapkan sebagai tersangka karena perbuatannya bukan perbuatan kriminal. Itu Wakapolda jauh lebih tinggi di atas penyidik-penyidik Tanjung Balai. Tapi Desember, fatwa MUI Tanjung Balai keluar dan menyatakan perbuatan Meliana merupakan pernodaan agama dan sampai divonis melakukan penodaan agama," jelas Usman.
Your browser doesn’t support HTML5
Peninjauan kembali pasal penodaan agama juga mendapat dukungan dari Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni. Ia tidak khawatir elektabilitas PSI akan menurun karena mendorong isu peninjauan penodaan agama.
"Kalau mungkin nanti kita berada di parlemen, tentu kita akan mempertimbangkan pasal-pasal karet yang bisa menjerat siapapun, kapanpun dan dimanapun. Itu kan berpotensi merugikan orang per orang dan mendegradasi kebebasan berpikir yang merupakan hal paling krusial dari nilai-nilai demokrasi," jelasnya.
PSI merupakan partai pendukung bakal pasangan calon Joko Widodo-Maruf Amin. Namun dalam kasus penodaan agama yang disangkakan terhadap Basuiki Tjahaya Purnama (Ahok), Ma'aruf Amin yang saat itu menjabat sebagai Ketua MUI justru menyebut Ahok telah menghina Al-Quran dan ulama yang memiliki konsekuensi hukum.
Atas sikap Mar'ruf Amin tersebut, PSI mengatakan percaya kepada Jokowi dapat memimpin wakilnya untuk menjunjung nilai-nilai demokrasi dalam berbangsa dan bernegara.
Data Amnesty International menunjukan antara 2005 hingga 2014, ada 106 orang yang divonis dengan pasal penodaan agama. Meliana merupakan orang kelima yang divonis bersalah atas pasal penodaan agama tahun 2018 ini.
Sementara pada tahun 2017 tercatat 12 orang divonis dengan pasal penodaan agama. Angka tersebut berbeda jauh dibanding saat Orde Baru berkuasa, dimana dari tahun 1965 hingga 1998 hanya 10 orang yang dijerat pasal tersebut. [Ab/em]