Ketua Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Amira Paripurna menilai keputusan pemerintah untuk tidak memulangkan WNI eks pendukung ISIS (Islamic State in Iraq and Syria/Negara Islam di Irak dan Suriah) di luar negeri adalah bentuk kehati-hatian pemerintah dalam menghadapi risiko yang lebih besar. Namun, menurutnya, keputusan itu akan memunculkan kritik keras dari dunia internasional. Terutama terkait pemenuhan hak asasi manusia dan kemanusiaan mereka.
“Nah, itu memang sah-sah saja kalau dari sisi counter terrorism, cuma implikasinya yang harus kita pikirkan. Terkadang memang ketika precautionary principle ini digunakan, itu ada irisan-irisan terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia, pemenuhan dari sisi kemanusiaan,” kata Amira Paripurna.
Your browser doesn’t support HTML5
Dwi Rahayu Kristianti, dosen Hukum Kewarganegaraan dan Kepala Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, menegaskan, berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah terkait kewarganegaraan, WNI mantan kombatan ISIS bisa dikategorikan kehilangan kewarganegaraannya secara otomatis.
Menurut Dwi, para WNI eks ISIS tetap akan berusaha keluar dari negara itu terlepas apakah pemerintah akan memulangkan atau tidak. Oleh karena itu, Dwi menyarankan sebaiknya dilakukan identifikasi untuk memastikan kewarganegaraan lebih dari 600 mantan anggota ISIS asal Indonesia yang berada di Suriah dan Turki.
“Kalau mereka WNI, maka negara harus punya tanggung jawab di situ. Negara harus hadir. Kalau misalkan mereka bukan WNI, negara menentukan pada akhirnya orang-orang ini bukan WNI dengan risiko stateless. Bisa menggunakan praktik removal citizens. Tapi tentunya pasti ada kecaman-kecaman dari dunia internasional atau pun kecaman-kecaman dari HAM,” ujar Dwi Rahayu Kristianti.
Dosen psikologi dari Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, Rahkman Ardi menyarankan perlunya ada tim khusus, yang beranggotakan para pakar dari berbagai disiplin ilmu, untuk meneliti latar belakang dan keterikatan orang Indonesia pendukung ISIS. Hal ini sebagai bagian dari prinsip kehati-hatian yang dilakukan pemerintah. Rakhman mengusulkan para pakar yang tergabung sebaiknya para psikologi klinis, psikologi sosial, sosiolog, antropolog, dan hukum.
“Itu (tim ad hoc) saya pikir penting sebenarnya untuk menerapkan prinsip kehati-hatian itu sendiri jangan sampai kita justru melakukan, dalam tanda kutip itu seperti kekejaman dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, kita tidak pernah tahu sebenarnya backgroundnya seperti apa,” kata Rahkman Ardi.
BACA JUGA: Pengakuan Febri Ramdani: 300 Hari Terpedaya Propaganda ISISSementara itu, dosen luar biasa Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, yang juga Wakil Menteri Luar Negeri periode 2008-2011, Triyono Wibowo mengungkapkan, keputusan pemerintah yang tidak akan memulangkan ex WNI pendukung ISIS kembali ke Indonesia sebenarnya merupakan dilema bagi pemerintah Indonesia sendiri.
Triyono mengatakan, perlu ada solusi terkait kepastian hukum WNI mantan pendukung ISIS, karena negara yang saat ini ditempati juga menginginkan eks WNI segera meninggalkan negara mereka. Dilema itu, kata Triyono, tidak hanya dihadapi oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lain seperti Turki dan negara-negara Eropa Barat. Hanya Perancis yang saat ini bersedia menerima anak-anak anggota mantan anggota ISIS.
BACA JUGA: Tidak Dipulangkan ke Indonesia, Bagaimana Nasib WNI Eks ISIS?“Jadi itu persoalan yang masih akan terus ada, dan kita harus ikuti bagaimana solusinya. Apakah mereka diadili di sana, ramai-ramai di sana. Kita belum tahu, tapi saya kira harus ada solusinya karena masalahnya belum selesai dengan hanya mengatakan tidak memulangkan, tidak berarti masalahnya selesai,” terang Triyono Wibowo.
Sementara itu, Amira Paripurna, menambahkan bila nantinya pemerintah memulangkan WNI eks ISIS, pemerintah perlu melakukan penilaian bertingkat dan pengawasan ketat terkait keterikatan mereka. Penilaian dan pengawasan itu harus diberlakukan baik terhadap orang dewasa maupun anak-anak.
“Sekarang memang, oke putusannya seperti itu, tapi kalau sampai ada gradasi dan mereka harus kembali, tetap harus ada assessment terhadap mereka yang ke sini. Sejauh mana sih engagement mereka dengan ISIS ini,” pungkas Amira Paripurna. [pr/ft]