Pemerintah membela rencana pembukaan hutan, dengan mengatakan bahwa rencana itu hanya mempengaruhi sebagian kecil hutan lindung.
ACEH —
Suara buldoser dan gergaji mesin memecah kesunyian di tempat yang suatu saat merupakan hutan hujan luas di Aceh. Sekarang lahan itu gundul, menunggu ditanami bibit-bibit kelapa sawit.
Para aktivis lingkungan hidup merasa khawatir dengan rencana pemerintah Aceh yang akan membuka hutan-hutan lindung untuk penebangan kayu, pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Para pejabat di pemerintah pusat telah berusaha menekan ketakutan itu, dengan mengatakan bahwa rencana itu hanya mempengaruhi sebagian kecil hutan lindung, menurut Mas Achmad Santosa, deputi masalah hukum pada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
"Ya, itu memang akan berkurang, namun tidak sebesar yang dilaporkan secara publik," ujarnya.
"Kami juga mendorong gubernur untuk melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan. Hal itu akan mempermudah gubernur mengambil keputusan: Di mana aktivitas ekonomi diletakkan, di mana tempat-tempat yang harus dikonservasi, dilindungi, semacam itulah."
Pada Senin (10/6), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pembangunan ekonomi di Indonesia seharusnya tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan ia memerintahkan pemerintah daerah untuk menegakkan hukum nasional.
Meski demikian, para aktivis lingkungan mengatakan kekhawatiran-kekhawatiran mereka bukan hanya seberapa banyak lahan hutan yang hilang. Namun mereka juga menunjukkan masalah-masalah yang sudah muncul dengan membuka hutan Aceh.
“Sebagian besar hutan lindung ini ada di wilayah pegunungan, di hulu daerah aliran sungai," ujar Yuyun Indradi dari kelompok advokasi lingkungan Greenpeace.
"Jika hutan lindung ini dibuka, akan tercipta kekeringan, kekurangan air dan banjir bandang."
Sumatra telah kehilangan hampir separuh daerah hutan dalam 30 tahun terakhir. Para pegiat konservasi mengatakan pembabatan hutan yang pesat juga mendorong perdagangan alam liar ilegal dan dapat menyebabkan beberapa spesies menghilang dari alam liar dalam dua dekade berikutnya. Mereka juga mengingatkan bahwa deforestasi mengorbankan pasokan air, berkontribusi pada terjadinya banjir dan dapat mengganggu komunitas yang bergantung pada hutan untuk mata pencahariannya.
Muhammad Uria berasal dari sebuah koalisi yang berjuang menyelamatkan hutan-hutan sekitar Aceh Tamiang, lokasi dari beberapa tempat dengan penebangan hutan paling pesat di provinsi itu.
“Ini merupakan daerah yang penting karena menangkap air," ujarnya. "Daerah ini perlu dikonservasi karena pembabatan hutan dapat menyebabkan banjir."
Uria menambahkan bahwa sekarang, hujan selama dua jam saja dapat menyebabkan banjir besar di desa.
Minggu lalu, Uria dan anggota komunitas lainnya mengunjungi para anggota legislatif lokal dan meminta mereka mengatasi kerusakan tersebut. Sejauh ini, belum ada respon dari mereka.
Namun bulan lalu, pemerintah Aceh bertemu dengan beberapa kelompok lingkungan hidup di Jakarta, termasuk Greenpeace. Pembicaraan mereka mengurangi ketakutan akan deforestasi yang meluas.
Presiden Yudhoyono menyadari tantangan yang dihadapi pemerintahannya. Pada 2011, ia menandatangani larangan pengeluaran izin pembukaan lahan hutan baru sampai 2015. Namun para kritikus mengatakan moratorium tersebut hanya melindungi sebagian kecil hutan hujan di Indonesia, dan aturan itu tidak diberlakukan dengan baik.
Mas Achmad Santosa mengakui bahwa beberapa perusahaan melanggar aturan dan mengatakan tugasnya adalah untuk mendorong pemerintah di Aceh melakukan penegakan hukum yang lebih kuat.
“Kami harus menjamin tidak ada intervensi politik, intervensi uang, intervensi kekuasaan," ujarnya.
Situasi ini terutama akut di Aceh, karena status otonomi khusus membuat pemerintahan Jakarta kurang memiliki kontrol terhadap penegakan aturan lingkungan. Tahun lalu, gubernur baru membubarkan badan yang bertugas mengawasi salah satu wilayah lahan dengan keberagaman hayati tertinggi di dunia. Para ahli konservasi mengatakan bahwa tanpa badan pengelola tersebut, lebih sulit mengetahui apa yang terjadi di hutan.
Para aktivis lingkungan hidup merasa khawatir dengan rencana pemerintah Aceh yang akan membuka hutan-hutan lindung untuk penebangan kayu, pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Para pejabat di pemerintah pusat telah berusaha menekan ketakutan itu, dengan mengatakan bahwa rencana itu hanya mempengaruhi sebagian kecil hutan lindung, menurut Mas Achmad Santosa, deputi masalah hukum pada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
"Ya, itu memang akan berkurang, namun tidak sebesar yang dilaporkan secara publik," ujarnya.
"Kami juga mendorong gubernur untuk melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan. Hal itu akan mempermudah gubernur mengambil keputusan: Di mana aktivitas ekonomi diletakkan, di mana tempat-tempat yang harus dikonservasi, dilindungi, semacam itulah."
Pada Senin (10/6), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pembangunan ekonomi di Indonesia seharusnya tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan ia memerintahkan pemerintah daerah untuk menegakkan hukum nasional.
Meski demikian, para aktivis lingkungan mengatakan kekhawatiran-kekhawatiran mereka bukan hanya seberapa banyak lahan hutan yang hilang. Namun mereka juga menunjukkan masalah-masalah yang sudah muncul dengan membuka hutan Aceh.
“Sebagian besar hutan lindung ini ada di wilayah pegunungan, di hulu daerah aliran sungai," ujar Yuyun Indradi dari kelompok advokasi lingkungan Greenpeace.
"Jika hutan lindung ini dibuka, akan tercipta kekeringan, kekurangan air dan banjir bandang."
Sumatra telah kehilangan hampir separuh daerah hutan dalam 30 tahun terakhir. Para pegiat konservasi mengatakan pembabatan hutan yang pesat juga mendorong perdagangan alam liar ilegal dan dapat menyebabkan beberapa spesies menghilang dari alam liar dalam dua dekade berikutnya. Mereka juga mengingatkan bahwa deforestasi mengorbankan pasokan air, berkontribusi pada terjadinya banjir dan dapat mengganggu komunitas yang bergantung pada hutan untuk mata pencahariannya.
Muhammad Uria berasal dari sebuah koalisi yang berjuang menyelamatkan hutan-hutan sekitar Aceh Tamiang, lokasi dari beberapa tempat dengan penebangan hutan paling pesat di provinsi itu.
“Ini merupakan daerah yang penting karena menangkap air," ujarnya. "Daerah ini perlu dikonservasi karena pembabatan hutan dapat menyebabkan banjir."
Uria menambahkan bahwa sekarang, hujan selama dua jam saja dapat menyebabkan banjir besar di desa.
Minggu lalu, Uria dan anggota komunitas lainnya mengunjungi para anggota legislatif lokal dan meminta mereka mengatasi kerusakan tersebut. Sejauh ini, belum ada respon dari mereka.
Namun bulan lalu, pemerintah Aceh bertemu dengan beberapa kelompok lingkungan hidup di Jakarta, termasuk Greenpeace. Pembicaraan mereka mengurangi ketakutan akan deforestasi yang meluas.
Presiden Yudhoyono menyadari tantangan yang dihadapi pemerintahannya. Pada 2011, ia menandatangani larangan pengeluaran izin pembukaan lahan hutan baru sampai 2015. Namun para kritikus mengatakan moratorium tersebut hanya melindungi sebagian kecil hutan hujan di Indonesia, dan aturan itu tidak diberlakukan dengan baik.
Mas Achmad Santosa mengakui bahwa beberapa perusahaan melanggar aturan dan mengatakan tugasnya adalah untuk mendorong pemerintah di Aceh melakukan penegakan hukum yang lebih kuat.
“Kami harus menjamin tidak ada intervensi politik, intervensi uang, intervensi kekuasaan," ujarnya.
Situasi ini terutama akut di Aceh, karena status otonomi khusus membuat pemerintahan Jakarta kurang memiliki kontrol terhadap penegakan aturan lingkungan. Tahun lalu, gubernur baru membubarkan badan yang bertugas mengawasi salah satu wilayah lahan dengan keberagaman hayati tertinggi di dunia. Para ahli konservasi mengatakan bahwa tanpa badan pengelola tersebut, lebih sulit mengetahui apa yang terjadi di hutan.