Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui satuan Koordinasi dan Supervisi wilayah V baru-baru ini mengungkap adanya dugaan ekspor ilegal bijih nikel ke China sejak awal 2020. Temuan tersebut didasarkan atas perhitungan selisih jumlah ekspor biji nikel dari Indonesia ke China.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah Sunardi Katili mengatakan berdasarkan informasi KPK, diduga jumlah total ekspor ilegal ore nikel dari Indonesia ke China mencapai 5,3 juta ton yang diperkirakan merugikan negara sebesar 14 triliun rupiah dalam bentuk royalti dan pajak ekspor. Padahal, sejak 1 Januari 2020 Indonesia memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019.
Your browser doesn’t support HTML5
“Atas situasi yang terjadi, kami dari Aliansi Sulawesi Terbarukan meminta dan menuntut negara Indonesia, yang pertama, usut tuntas semua pelaku ekspor ilegal bijih nikel ke negara China dan hukum seberat-beratnya,” kata Sunardi Katili dalam konferensi pers secara daring, Sabtu (9/7).
Aliansi itu juga menilai perlunya evaluasi keseluruhan tata kelola industri pertambangan, izin-izin usaha pertambangan yang bermasalah, baik yang merugikan negara maupun yang merusak lingkungan dan melanggar HAM. Selain itu, menurut aliansi tersebut, perlu dilakukan moratorium izin tambang baru dan evaluasi seluruh industri nikel di Pulau Sulawesi.
Dampak Pertambangan Nikel di Pulau Sulawesi
Senada, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tenggara, Andi Rahman berpendapat pemerintah perlu memperketat pengawasan aktivitas penambangan nikel yang dilakukan secara masif tanpa memikirkan nasib masyarakat yang berada di wilayah pertambangan.
“Saya perlu sampaikan ya misalnya di Sulawesi Tenggara yang terjadi hari ini, dalam dua tahun terakhir saja, dalam satu wilayah itu terdapat sekitar 8.400 hektare kawasan hutan yang ditambang secara ilegal dan sekarang masih berproses di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara,” kata Andi Rahman.
Andi Rahman menambahkan salah satu dampak nyata saat ini adalah tercemarnya sumber mata air masyarakat di Pulau Wawoni’i. Padahal berdasarkan undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pulau Wawonii tidak boleh ditambang.
“Setiap hujan mereka harus merasakan banjir, bahkan sekarang yang terjadi di lapangan, masyarakat itu telah sebulan tidak mendapatkan air bersih karena sumber mata air mereka sudah rusak akibat ekspansi tambang nikel,” jelas Andi Rahman.
Bagi Andi Rahman, berbagai dampak dari penambangan nikel di Sulawesi Tenggara itu, membantah anggapan bahwa keberadaan perusahaan tambang nikel dapat menyejahterakan masyarakat.
Aliansi Sulawesi Terbarukan mengungkap di Indonesia saat ini terdapat 11 perusahaan smelter nikel dengan sembilan di antaranya berasal dari China yang menghasilkan Nickel Pig Iron (NPI), Ferro Nickel dan Matte Nickel. Hampir seluruh pabrik smelter Nickel yang berada di pulau Sulawesi dan Maluku Utara itu menggunakan energi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara.
Tidak Bisa Dibiarkan
Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin menegaskan sangat penting untuk mengungkap secara tuntas dugaan ekspor ilegal biji nikel ke China itu, apalagi biji nikel itu dihasilkan dari kegiatan penambangan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan memiskinkan masyarakat.
“Itu tentu saja kami sangat marah sekali karena tidak bisa kami biarkan. Ini rakyat sudah dikorbankan, lingkungan hidup sudah dirusak sementara manfaatnya tidak dirasakan oleh masyarakat Indonesia, malah dimanfaatkan oleh segelintir orang yang punya jejaring ke China dan pemerintah China itu sendiri,” tegas Al Amin.
Data Kementerian ESDM tahun 2020 menyebutkan total neraca sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 11.88 milyar ton, 99 persen cadangan nikel tersebut tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. [yl/ab]