Amnesti: Pelanggaran HAM Besar-besaran Terjadi di Libya

  • Al Pessin

Seorang tentara Libya menembakkan senjatanya dalam bentrokan dengan milisi Islamis di Benghazi (30/10). Milisi Islamis masih menguasai sebagian besar wilayah di Libya.

Krisis politik di Libya semakin memburuk dengan adanya dua pemerintahan yang bersaingan, dan menurut Amnesti Internasional telah terjadi pelanggaran HAM besar-besaran.

Libya adalah negara yang telah mengalami konflik terus menerus sejak jatuhnya Moammar Gaddafi tiga tahun lalu, dan pertempuran masih berlanjut. Pemerintah yang bersaingan mencoba menguasai bagian barat dan timur negara itu. Tetapi milisi-lah yang sesungguhnya memiliki kekuasaan, mewakili pendukung bekas pemimpin Gaddafi, kelompok Islamis dan kelompok-kelompok lainnya.

Dalam laporan baru yang memusatkan perhatian pada Tripoli dan sikap dunia Barat, Amnesti Internasional mengutuk semua pihak atas terjadinya pelanggaran HAM besar-besaran dan pelanggaran hukum internasional.

Peneliti Amnesti Internasional Magdalena Mughrabi yang menulis laporan itu mengatakan, “Selama tiga tahun ini, bukannya menyelidiki kejahatan yang terjadi atau menyelidiki pelanggaran HAM, pihak berwenang di Libya justru mengalami semacam proses peralihan dalam bidang kehakiman dan benar-benar tidak mampu mengatasi situasi itu”.

Mughrabi mengatakan kondisi HAM dalam tiga tahun ini diperburuk dengan tindakan beragam pemerintahan yang memberdayakan milisi guna mengajak mereka ke jalur utama, tetapi tidak berhasil mengontrol atau menyeret mereka ke muka pengadilan atas tindakan-tindakan mereka yang melanggar hukum.

Situasi politik pun memburuk. Mahkamah Agung Libya membatalkan pemilu parlemen yang terbaru, yang masih mengklaim kekuasaan dari sebuah kota di Libya Timur dimana komandan milisi dan bekas jendral era Gaddafi – Khalifa Hifter – telah membentuk pemerintahan di Tripoli.

Itu berarti lebih banyak pertempuran yang terjadi dan akan lebih banyak penderitaan yang dirasakan warga Libya di masa mendatang, ujar Chris Doyle – Direktur Council for Arab-British Understanding.

“Itu berarti masih terjadi perebutan kekuasaan di dalam negara itu. Belum ada otorita yang sah. Itu berarti akan terjadi konflik lebih jauh untuk menentukan siapa yang sebenarnya memiliki legitimasi untuk mengatur negara itu,” papar Doyle.

Revolusi tahun 2011 menciptakan harapan bagi negara yang kaya minyak dan relatif berpendidikan itu. Kini, ujar Doyle, kelompok-kelompok yang bersaing membutuhkan mediator asing dan tidak ada satu-pun yang bisa dipercaya oleh semua pihak.

Karena itu, Amnesti Internasional menyampaikan seruan langsung kepada para komandan milisi untuk mengakhiri pelanggaran-pelanggaran HAM itu.

“Ada beberapa hal yang tidak saja bisa, tapi harus dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata karena jika tidak, mereka bisa dituntut di Mahkamah Kriminal Internasional,” tambah Magdalena Mughrabi.

Tetapi seruan itu tampaknya tidak akan digubris oleh para komandan Libya yang telah terbiasa memiliki kekebalan hukum, dan yang percaya bahwa mereka berperang demi masa depan negara mereka.