Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid meminta pemerintah menjamin hak warga untuk berekspresi dan berpendapat dengan tidak mengkriminalkan orang-orang yang mengkritik kebijakan pemerintah.
Amnesty mencatat ada 53 kasus pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi sepanjang wabah corona. Di antaranya kasus Anggota DPD DKI Jakarta Fahira Idris (Jakarta), Arina Mahfiro (Kalimantan Barat) dan Nur Fadillah (Jawa Timur). Adapun pasal yang digunakan menjerat mereka antara lain Pasal 14 dan 15 Undang-undang tentang menyiarkan berita bohong dan Pasal 45 A dan Pasal 28 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Mereka dituduh menyebarkan berita bohong dan menghina presiden dan pemerintahan terkait Covid-19. Tindakan ini berdasar pada surat telegram Kapolri tentang penanganan kasus informasi bohong dan penghinaan terhadap presiden.
"Tentu saja kami menolak penyebaran informasi bohong oleh siapapun. Tetapi pendekatan pemidanaan, menggunakan hukum pidana untuk menjerat mereka, menangkap mereka, membawa mereka ke penjara, rasanya tidak tepat," ujar Usmad Hamid dalam diskusi webinar "Covid-19 dan Dampaknya Terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia", Minggu (10/5).
BACA JUGA: Riset Sentimen Publik INDEF: Kinerja Jokowi dan 3 Menteri Dinilai BurukAmnesty International Indonesia khawatir jumlah kasus kriminalisasi terkait hak kebebasan berekspresi dan berpendapat lebih banyak dari catatan mereka. Sebab sejumlah kepolisian di beberapa provinsi telah melakukan patroli siber secara intensif selama pandemi. Antara lain Kepolisian Jawa Barat, Kepolisian Salatiga dan Kepolisian Sangihe.
Selain itu, Amnesty khawatir pemidanaan terhadap konsep yang tidak jelas seperti informasi yang salah dapat menimbulkan efek ketakutan pada masyarakat dan media yang dapat berujung pada swasensor.
AJI Pertanyakan Obyektifitas Aparat
Ketua AJI Abdul Manan mempertanyakan obyektifitas aparat penegak hukum dalam penegakan kasus-kasus penghinaan terhadap presiden dan pemerintahan. Terutama, jika ada seseorang yang merasa dirugikan presiden atau pemerintah yang kemudian melapor ke polisi. "Disinformasi itu diperangi dalam upaya untuk memerangi virus. Tapi dalam waktu yang sama bisa digunakan pemerintah untuk menekan masyarakat ketika dia mempersoalkan tindakan atau kebijakan pemerintah," tutur Abdul Manan.
BACA JUGA: Kerja Jurnalis dan Kebebasan Pers di Masa PandemiManan menambahkan polisi juga terkesan membiarkan kasus-kasus pidana yang diduga melibatkan anggotanya. Semisal kasus kekerasan terhadap jurnalis pada aksi Mei dan September 2019 yang sebagian besar pelakunya dari personel kepolisian. Namun, proses hukumnya mandek di kepolisian meski sudah ada laporan dari korban kekerasan.
Jubir Polri: Tidak Benar Polisi Menarget Pengkritik Pemerintah
Menanggapi itu, juru bicara Polri Hengky Widjaja mengatakan penerapan pasal pidana dan penahanan terhadap orang yang melanggar aturan pada masa terakhir merupakan opsi terakhir yang diambil polisi. Kendati demikian, opsi tersebut tetap diambil polisi jika diperlukan dengan pertimbangan dari penyidik.
Ia juga membantah jika polisi sengaja menarget orang-orang tertentu yang mengkritik kebijakan pemerintah. "Itu tidak benar. Polisi sudah terlalu banyak kegiatan, jadi tidak ada waktu mencari-cari masalah seperti itu. Semua yang dilakukan polisi dalam koridor membantu pemerintah dalam rangka percepatan penanganan Covid-19," jelas Hengky.
Hengky menambahkan polisi tidak sendirian dalam menegakkan hukum, melainkan juga bekerjasama dengan kejaksaan. Sehingga, kata dia, seseorang yang ditangkap atau ditahan belum tentu akan dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan. [sm/em]
Your browser doesn’t support HTML5