Tuti Nurkhomariyah, jurnalis Rakyat Merdeka Online (RMOL) masih takut meliput ke Kantor Gubernur Lampung. Ia khawatir jika nantinya bertemu Gubernur Lampung Arinal Djunaidi saat liputan.
Penyebabnya, Tuti pernah diintimidasi Arinal saat meliput di kantor gubernur pada 3 Maret 2020 lalu. Ia dituding Arinal membuat berita yang tidak benar di hadapan sejumlah kepala dinas dan belasan wartawan. Adapun berita yang dimaksud Arinal adalah berita tentang kehadirannya di Musda X Partai Golkar di Graha Wangsa, Bandarlampung pada Senin (2/3) dengan menggunakan pakaian dinas.
"Saya merasa belum berani ketemu dengan Pak Arinal. Jadi ketika saya liputan, saya harus tanya-tanya dulu ke jurnalis lainnya. Kalau tidak ada, maka saya akan datang, tapi jika ada saya tidak datang," tutur Tuti kepada VOA, Jumat (1/5/2020).
Tuti menuturkan pada mulanya ingin mewawancarai kepala dinas kesehatan provinsi Lampung pada Selasa (3/3) pagi soal wabah corona. Namun, ia diminta sekretaris kepala dinas kesehatan ke kantor gubernur karena yang bersangkutan sedang acara di sana.
Tuti lantas ke kantor gubernur dan mengikuti acara sambutan Gubernur Arinal. Namun, di tengah sambutan Arinal bertanya, apakah ada jurnalis RMOL dalam ruangan tersebut. Tuti yang tidak mengetahui maksud Arinal, kemudian mengacungkan jari. Arinal yang melihat Tuti kemudian langsung menuding Tuti menulis berita yang salah tentang dirinya.
"Bapaknya bilang, sudahlah kamu beritakan yang baik-baik saja. Apalagi kamu pakai kerudung, seharusnya kamu samikna wa atokna. Jangan sampai kamu inna lillahi wa inna ilaihi rajiun," tambah Tuti.
Intimidasi Berulangkali di Hadapan Publik
Gubernur Lampung Arinal juga beberapa kali meremehkan Tuti dengan menanyakan di hadapan orang-orang, tentang pemahaman Tuti terkait penjelasannya. Tuti lantas menjelaskan kepada Arinal, bahwa berita tentang kedatangan gubernur dengan menggunakan seragam ASN ditulis oleh media lain. Karena tidak kuat menahan tangis, Tuti lantas keluar meninggalkan ruangan.
Selepas konferensi pers, Tuti kemudian bertemu dengan Gubernur Arinal di ruangannya. Ia lantas kemudian menjelaskan kembali bahwa berita tersebut bukan ditulis dirinya, namun oleh media lain. Kata Tuti, Arinal sempat membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Namun, Tuti kemudian meminta maaf kepada Arinal setelah diminta oleh seseorang di ruangan gubernur.
Di sisi lain, pemimpin redaksi RMOL Lampung juga tidak membawa kasus intimidasi ke ranah pidana. Tuti hanya sempat diminta liputan beberapa hari di Jakarta sebelum akhirnya kembali ke Lampung.
Liput Kebakaran Gereja, Wartawan Diminta Hapus Foto
Kekerasan juga dialami Fransisco Carolio Hutama Gani, jurnalis foto koran Media Indonesia saat meliput kebakaran di Gereja Basilea Christ Cathedral kawasan Paramount Serpong, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Senin (27/4/2020). Fransisco menuturkan datang sekira pukul 09.30 pagi dan meminta izin kepada satpam setempat sebelum mengambil gambar.
Ia kemudian mengambil belasan foto kebakaran gereja tersebut sekitar 30 menit, hingga kemudian lima pemuda menghampirinya. Satu di antaranya meminta Fransisco menghapus foto-foto di kamera. Ia menolak permintaan pemuda tersebut karena tidak jelas alasannya. Ia lantas dipiting dan mendapat perkataan yang kasar dari salah satu pemuda tersebut.
"Saya dipaksa hapus, saya tidak mau dan berontak. Sampai akhirnya kejadian dorong-dorongan dan ucapan maki-maki sedikit," tutur Fransisco, Jumat (1/5/2020).
Fransisco kemudian menceritakan kejadian tersebut ke atasannya. Namun, atasannya meminta Frans untuk tidak memperpanjang kasus ini karena sedang dalam situasi wabah corona dan gereja mereka terbakar.
Tuti dan Fransisco merupakan jurnalis muda yang baru lulus dari kuliah. Keduanya kurang memahami bahwa jurnalis mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya seperti yang diatur dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Mengapa Perusahaan Media Tak Lindungi Wartawan Secara Maksimal?
Menurut Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, perusahaan media juga kurang memberi dukungan bagi jurnalis mereka yang menghadapi kasus. Salah satu alasannya kekhawatiran kehilangan pendapatan iklan, terutama jika kasus tersebut berkaitan dengan pemerintah atau pemerintah daerah. Sebab sebagian besar pendapatan perusahaan media di daerah masih bersumber dari pemerintah daerah.
"Kekhawatirannya adalah ketika melanjutkan kasusnya, tidak ada pemasukan dan lain-lain. Itu kekhawatiran sendiri yang dirasakan media lokal," tutur Ade kepada VOA, Sabtu (2/5/2020).
AJI Catat 53 Kekerasan terhadap Jurnalis Setahun Terakhir
Berdasarkan catatan AJI setidaknya ada 53 kasus kekerasan jurnalis yang terjadi sepanjang Mei 2019 hingga Mei 2020. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan kasus kekerasan pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 42 kasus.
Jenis kekerasan terbanyak berupa kekerasan fisik sebanyak 18 kasus, disusul perusakan alat atau data hasil liputan 14 kasus dan ancaman kekerasan atau teror 8 kasus. Sedangkan dari sisi pelaku, polisi menempati urutan pertama dengan 32 kasus, disusul warga 9 kasus dan pelaku tidak dikenal 5 kasus.
Ade Wahyudin menambahkan potensi kekerasan lain di tengah wabah corona yaitu ancaman jurnalis dari sisi keamanan kerja. Itu terlihat dari data laporan yang masuk ke posko pengaduan yang dibuat LBH Pers bersama AJI Jakarta sebanyak 61 laporan sejak posko tersebut dibuka 3 pekan lalu.
Pengaduan didominasi persoalan pemutusan hubungan kerja atau mutasi sebanyak 26 pengaduan, disusul perumahan atau pemotongan gaji 21 pengaduan dan penundaan upah atau tunjangan 11 pengaduan. Sedangkan perusahaan media yang tutup atau mengurangi produksi berita sebanyak 11 perusahaan.
"Enam puluh satu pengaduan itu dari Jakarta saja. Itu artinya cukup banyak dan mungkin akan bisa terus meningkat. Apalagi nanti jelang pemberian THR, mungkin akan banyak pelanggaran terjadi," tambah Ade.
Ade menambahkan LBH Pers akan memberikan bantuan berupa konsultasi hukum bagi jurnalis yang mengadu. Ia berharap konsultasi hukum tersebut membuat jurnalis yang bermasalah dapat maju sendiri berhadapan dengan perusahaan. [sm/em]