Terinspirasi dari resep camilan manis khas Belanda, Poffertjes, warga Indonesia, Lilian Wanandy-Perez memutuskan untuk terjun ke bisnis makanan melalui Poffy.
Berdiri sejak Mei lalu di kawasan Fairfax, Virginia, Poffy menghadirkan camilan mungil dengan beragam rasa, taburan dan isian yang menggiurkan, seperti cokelat, selai buah segar, matcha, spekulas, dan masih banyak lagi.
Semua ini berawal dari keinginan Lilian untuk menyajikan pilihan jajanan bebas dari beberapa alergen, untuk orang-orang yang alergi terhadap beragam jenis makanan seperti anaknya.
“Waktu sekitar umur 1 tahun anak saya yang paling besar (didiagnosa memiliki) food alergy. Jadi dia food alergy susu, telur, kacang, semua biji-bijian,” cerita Lilian Wanandy-Peres saat ditemui VOA belum lama ini.
Bagi individu dengan alergi tertentu, pergi ke restoran atau membeli makanan dari luar memang jarang menjadi pilihan, karena mengundang ketakutan. Khususnya ketika restoran tersebut tidak paham mengenai kontaminasi silang antar berbagai bahan makanan yang ada di restoran.
“Dengan (kontaminasi silang), something happen, mesti ke (UGD),” ujar Lilian.
Reaksi Alergi Parah Berakhir di UGD
Kedua anak Lilian yang berusia 10 dan 8 tahun alergi terhadap berbagai jenis makanan tertentu. Walau sudah berhati-hati, terkadang kontaminasi silang di suatu tempat dapat terjadi.
“Anak laki-laki saya mengalami gatal-gatal (red: kaligata) hanya karena masuk ke dalam kedai es krim. Kadang-kadang mengi (red: suara tinggi yang terdengar karena sulit bernapas) saat masuk ke beberapa kedai kopi karena ada partikel susu di udara, kalau ventilasi ruangan tidak baik. Dia juga mengalami gatal-gatal setelah minum smoothies yang telah kami konfirmasikan, bahwa tidak ada alergen dan lain-lain,” cerita Lilian.
Puteri Lilian pernah mengalami reaksi alergi yang menyebabkannya sakit perut hingga muntah semalaman.
“(Kami) pergi ke UGD setelah dia makan nasi goreng saat kami sedang berlibur,” ceritanya.
“Noah (putera Lilian) pernah mengalami reaksi alergi parah setelah tanpa sengaja menyeruput susu dan mengalami anafilaksis, dimana dia membutuhkan 5 suntikan EpiPen dan steroid untuk bisa bangkit. Kami membawanya ke UGD,” tambahnya.
Warga indonesia, Arti Saraswati di Virginia adalah seorang ibu dari dua anak yang alergi terhadap total 8 jenis bahan makanan, termasuk telur, produk susu dan olahannya, kacang-kacangan, dan ikan.
Selain selalu sedia obat-obatan, setiap akan berkunjung ke restoran, ia harus benar-benar meneliti peraturan dan menu yang disajikan. Saat reservasi pun ia juga memberitahu bila anak-anaknya memiliki alergi tertentu.
“Lihat website restoran. Apa ada policy untuk orang dengan alergi? Biasanya kalau restoran besar, mereka ada ingredients list untuk alergen,” jelasnya.
Biasanya ia juga menghubungi restoran yang akan dikunjungi terlebih dahulu untuk menanyakan apakah ada menu untuk orang yang memiliki alergi tertentu, juga apakah mereka memisahkan penggorengan atau alat pemanggang mereka untuk makanan yang mengandung alergen tertentu.
“Waktu sampai di restoran bilang lagi kalau anak-anak ada severe allergic reaction ke makanan-makanan tertentu. Kadang-kadang chef restoran ada yg mau datangi dan tanya, kalau modified menu buat anak-anak, kita mau engga,” jelasnya.
Arti selalu berhati-hati setiap kali pergi ke restoran, karena reaksi alergi bisa saja terjadi sepulang dari restoran. Namun, Arti menyambut baik adanya restoran atau tempat jajanan seperti Poffy yang menyajikan menu tanpa alergen.
“Senang banget. Ada beberapa website yang kasih info restoran untuk orang-orang dengan food allergies. Ini membantu banget, apalagi kalau kita traveling.”
Adalah tujuan Lilian untuk membantu sesama melalui Poffy, khususnya para orang tua yang memiliki anak-anak alergi, agar tidak perlu khawatir akan camilan kreasinya ini.
Keluar dari Zona Nyaman
Saat anak-anak Lilian tumbuh besar, mereka bertanya, “‘Mommy, kenapa kok saya setiap pergi ke restoran, saya kok enggak bisa makan seperti anak-anak lain,” cerita ibu yang memiliki dua anak ini.
Curhatan sang anak mendorong Lilian yang memang hobi memasak lalu memutar otaknya untuk melakukan sesuatu yang sudah menjadi impiannya sejak lama, yaitu terjun ke dunia kuliner dengan sebuah misi penting.
“Dalam diri saya sendiri jadi kayak ada tujuan gitu, bagaimana saya bisa provide ke anak-anak atau keluarga lain yang seperti kita ini something yang spesial, supaya mereka dapat berasa inclusive ya sama seperti orang-orang lain,” jelasnya.
Setelah 20 tahun menyelami dunia retail, Lilian banting setir dan mulai menggodok ide bisnis bersama Kevin, suaminya. Tekadnya sudah bulat. Ia ingin mewujudkan impian yang selama ini tersimpan dalam benaknya.
“Saya ini juga kanker survivor selama 20 tahun, sejak saya di-diagnose cancer itu dan sembuh, saya selalu berpikir saya dikasih kesempatan untuk hidup yang ke-2 kali ini, pasti ada maknanya, saya ini mau apa sekarang?,” kata perempuan kelahiran Swiss tahun 1976 ini.
Lilian pun membendung keraguannya dan melangkah keluar dari zona nyamannya. Selama 12 minggu ia pun mengikuti program pengembangan diri yang fokus kepada kepemimpinan dan bisnis.
Tidak hanya itu, Lilian pun ditantang untuk meracik ulang resep poffertjes yang otentik, menjadi camilan yang bebas dari 7 jenis alergen terbesar, antara lain susu, telur, ikan, kerang-kerangan, berbagai jenis kacang, dan wijen. Saat ini Poffy masih menggunakan susu kedelai dan gandum.
“Dan dari situ kita coba bermain dengan different ingredient, akhirnya bisa. Dan selama setahun belakangan ini, setelah covid saya bermain terus, coba dan akhirnya terciptalah Poffy ini,” cerita lulusan S1 jurusan Biokimia dari Imperial College London of Science, Technology and Medicine di London ini.
Berbagai cara ia coba untuk mendapatkan resep dengan ukuran yang tepat tanpa mengurasi kenikmatan rasa. Tanpa menyebut bahwa camilan racikannya ini tidak mengandung 7 jenis alegern, Lilian lalu mengajak teman-teman dan tetangganya untuk mencoba kreasinya ini.
“Karena semuanya kan pikir, ‘oh allergen conscious pasti enggak enaklah, kayak kardus, keras,’ atau gimana kan,” kata sulung dari dua bersaudara ini.
Tidak ada yang menyangka bahwa kreasi Lilian ini tidak menggunakan bahan dasar seperti telur dan susu. Ia pun menerima tanggapan yang positif yang terus membuatnya semakin yakin untuk membuka usaha.
“Begitu mereka udah kelar (coba), ‘oh my God, this is so good,’” ujar Lilian.
Diantara rasa favorit seperti red velvet dan kayu manis, jangan heran kalau melihat ada rasa Indonesia di dalam menunya. Terinspirasi dari camilan kegemaran, Lilian dan Kevin lalu menciptakan Poffy dengan rasa mirip klepon.
“Jadi aku coba pakai pandan, pakai gula jawa, beneran dan berhasil gitu. Cuman kita enggak bisa pakai (kelapa) gitu luarnya, itu kan (jenis kacang-kacangan) juga,” jelas Lilian.
“Ya itulah terinspirasi dari yang kita suka di (Indonesia), dan karena kita juga cinta Indonesia ya,” tambahnya.
Bangun Usaha di Tengah Pandemi
Banyak yang mempertanyakan keberanian Lilian membuka bisnis di tengah pandemi. Pasalnya, akhir-akhir ini banyak restoran dan bisnis makanan yang terpaksa gulung tikar akibat penutupan dan pembatasan terkait virus corona.
Laporan terbaru dari Asosiasi Restoran Nasional di Amerika Serikat mengatakan, total penjualan yang dihasilkan dari industri restoran tahun 2020 mencapai kurang dari 240 miliar dolar dari perkiraan. Hingga Desember 2020, lebih dari 110 ribu restoran dan bar terpaksa tutup sementara atau bahkan selamanya.
“Kita dapat banyak pertanyaan, ‘Are you crazy? You’re gonna open it right now? Dengan musim yang kayak begini?’ Tapi saya malah lihat itu sebagai jendela untuk terbuka, bagaimana di masa yang benar-benar (hati) semua orang itu takut, semua orang itu craving for connection, that our Poffy can bring that to people,” jelas perempuan yang hobi olah raga Taewondo ini.
Dibanjiri Pemengaruh dan Pelanggan
Dari beberapa minggu sebelum beroperasi, Lilian sempat dikontak oleh para pengeblog yang sudah tidak sabar ingin menikmati Poffy. Dari situ nama Poffy pun mulai dikenal di media sosial dan mengundang banyak pelanggan yang tidak pernah mendengar tentang poffertjes sebelumnya.
Beberapa mengatakan camilan ini mirip seperti panekuk.
“Enak rasanya. Saya penggemar fanatik panekuk,” kata seorang pelanggan bernama Asha kepada VOA.
“Saya pernah melihat panekuk seperti ini di California, di bagian barat (AS), jadi senang ada (camilan) seperti ini di sini,” tambahnya.
Walau bukan penggemar panekuk, seorang pelanggan bernama Tes tetap penasaran ingin mencobanya.
“Saya bukan pemakan panekuk, tapi saya lihat di Tik Tok, jadi kami ingin datang dan mencobanya,” kata Tes kepada VOA
Beberapa minggu beroperasi, Lilian langsung mendapat respon yang positif, khususnya dari para pemilik bisnis di sekitarnya.
“Gimana kita dengan tempat yang kecil bisa create hype gitu ya, itu something that makes us so happy, kita udah dapet banyak return customers,” ujar perempuan yang juga hobi traveling ini.
Warga Indonesia, Diana Tajuddin yang sedang jalan-jalan di daerah Fairfax, Virginia bersama puterinya pun ikut penasaran ingin mencicipi kreasi Poffy.
“Kita jalan-jalan ke Fairfax terus nemu, ini ada poffertjes. Dan kebetulan yang punya orang indonesia rasanya enak banget,” kata Diana Tajuddin kepada VOA
Senang tentunya melihat tokonya dibanjiri pelanggan, namun satu hal yang amat menyentuh adalah ketika bertemu dengan sesama orang tua yang memiliki anak dengan alergi makanan tertentu seperti dirinya. Beberapa diantara pelanggannya bahkan datang dan sampai menangis di hadapannya.
“Kita punya banyak mama atau parents yang dateng nangis benar-benar karena enggak pernah bawa anaknya, sekarang udah umur 6-7 tahun, tapi enggak pernah bawa ke restoran,” katanya.
“Misi saya adalah untuk menyentuh hati seorang Ibu, agar mereka bisa merasa senang dan aman. Dan untuk anak-anak agar bisa merasa seperti kita-kita semua, Bisa menikmati,” tambahnya.
Tanggapi Kritik, “Banyak Introspeksi Diri”
Tantangan lain sebagai pebisnis menurut Lilian adalah menghadapi kritik yang masuk, baik mengenai rasa atau pun nama dari camilan itu sendiri.
“Banyak juga orang yang bilang jangan bilang dong itu poffertjes. Kita enggak pernah bilang itu poffertjes, kita bilang itu inspired dari poffertjes,” jelasnya.
Lilian juga banyak mendapatkan pertanyaan mengenai pandan. Pasalnya, tidak banyak pelanggan Amerika yang mengenal rasa itu dan kadang memadukannya dengan taburan atau isian yang kurang cocok.
“Although kita kasih suggestion, ‘okay, pandan enaknya sama gula jawa,’ tapi kita kan ada freedom mereka boleh fill apa aja kan, (jadi misalnya mereka isi dengan) selai aprikotnya kita, it might not be as good,” katanya.
Terkadang kritik yang masuk membuatnya mempertanyakan kembali jalan yang tengah ambil. Namun, terlepas dari kritik yang masuk, kuncinya bagi Lilian adalah tetap memperbanyak introspeksi diri dan fokus kepada misi Poffy yang ingin menciptakan kebahagian yang simpel dan nikmat, serta kebersamaan.
Your browser doesn’t support HTML5
Ikuti Kata Hati, “Hidup Hanya Sekali”
Cita-cita Lilian membangun bisnis makanan tercapai sudah. Tak lupa ia berterima kasih kepada kedua orang tuanya yang selalu percaya kepadanya dan menekankan pentingnya sebuah misi dalam hidup.
“Apa yang kamu bisa buat untuk orang lain?” kata Lilian.
“Kalau mereka ke (Amerika), mereka tahu bahwa ini datang dari hati saya. Saya rasa mereka bisa benar-benar bangga ya, semoga. Bangga bukan karena materi, tapi terhadap saya yang melayani sesama,” tambahnya.
Bagi yang ingin mengikuti jejak karirnya, Lilian berpesan untuk “take risks, work with your heart,” atau “ambil risiko, bekerja sesuai kata hati.”
“Kalau kita kalkulasi terlalu banyak, kita enggak bakalan maju ke depan,” ujar Lilian.
“Jika kita menginginkannya, kita hidup hanya sekali. Lakukanlah,” tambahnya.
Seperti katanya, selama kita melakukannya dengan hati, semuanya akan baik-baik saja. [di/dw]