“Anak-anak kesepian tanpa ayah mereka,” ujar Hassiba, yang membesarkan tujuh anaknya seorang diri di kamp pengungsi di luar kota Mosul.
“Anak-anak lain memukuli anak saya dan mengatakan ayah kamu teroris!,” imbuhnya.
Suaminya diduga pejuang ISIS. Hassiba tidak tahu apakah suaminya berada di penjara atau mati. Abdul Kareem, putranya yang berusia 12 tahun, kini menjadi satu-satunya pencari nafkah bagi keluarga, dengan mengantarkan barang-barang. Jika sedang beruntung, ia bisa menghasilkan dua dolar atau sekitar 26 ribu rupiah sehari.
Abdul Kareem adalah salah satu dari puluhan ribu anak-anak di Irak yang ayahnya dituduh sebagai militan, ditangkap atau tewas dalam pertempuran dengan ISIS. Ketika dunia merayakan kekalahan ISIS, anak-anak ini berdukacita.
‘’Saya minta mereka bersabar dan memasrahkan pada Tuhan,’’ ujar Hassiba. “Saya sampaikan pada anak-anak saya bahwa anak-anak lain berbohong tentang ayah mereka dan jangan berkelahi dengan mereka.”
Hassiba masih khawatir tanpa pendidikan dan komunitas yang bisa menerima kondisi ini, anak-anaknya akan tumbuh dalam kemarahan.
“Saya bahkan akan menyekolahkan anak-anak perempuan saya jika ada sekolah dibuka,” ujarnya. “Saya ingin semua anak saya terdidik sehingga tidak ada keinginan untuk balas dendam,” tambahnya.
Ratusan ribu anak lainnya juga trauma oleh perang dan ekstremisme di Irak, dan otorita serta organisasi bantuan lain berjuang keras membangun kembali sekolah-sekolah dan mengembangkan program kesehatan mental bagi mereka. Tetapi hampir belum ada program khusus bagi anak-anak pejuang ISIS.
Para pekerja bantuan mengatakan di kamp-kamp pengungsi, isu-isu paling penting yang mereka harus atasi secara konstan adalah menyediakan makanan yang cukup, dan memberi perlindungan dan perawatan kesehatan darurat bagi keluarga yang melarikan diri.
Banyak keluarga di kamp-kamp itu adalah istri dan anak-anak pejuang ISIS, yang diusir dari rumah mereka oleh para tetangga, pejuang setempat atau korban ISIS yang marah dengan kebrutalan yang dilakukan ISIS selama tiga tahun terakhir.
Ardalan Maroof, manajer kamp Organisasi Internasional Untuk Migrasi IOM di bagian Utara Irak, mengatakan memberikan perawatan khusus bagi anak-anak ISIS mendatangkan lebih banyak dampak negatif dibanding positif karena banyak kelompok berupaya membalas dendam pada mereka yang mendukung ISIS, baik pendukung utama yang nyata maupun mereka yang dipersepsikan mendukung ISIS.
Program-program khusus bisa menarik perhatian yang tidak perlu, tambahnya, membuat pihak luar melihat kamp-kamp pengungsi itu sebagai “kamp ISIS” dan bukan sekedar kamp pengungsi.
Apalagi saat ini ada ancaman terus menerus, tambahnya.
‘’Kelompok-kelompok bersenjata bisa menyasar kamp dan penghuninya. Dalam kurang dari satu bulan ini, ribuan keluarga telah meminta relokasi internal antar-kamp,’’ ujar Maroof. [em/al]