Pusat Kajian Kepemudaan, Fisipol Universitas Gadjah Mada dan Kementerian Pemuda dan Olahraga menggelar Soprema, atau Sosiopreneur Muda Indonesia di Yogyakarta. Kedua lembaga itu dengan dukungan sejumlah pihak, mengumpulkan 90 kelompok anak muda. Selama tiga hari, mereka beradu konsep bisnis, untuk memenangkan hadiah modal dan program pendampingan. Syarat utamanya, bisnis itu harus berbentuk sosiopreneur atau wirausaha sosial, yaitu usaha yang dijalankan dengan memperhatikan dampak sosialnya bagi masyarakat.
Seperti yang dilakukan Aryanita Sembiring, peserta dari Jatinangor, Jawa Barat yang membawa bendera Janaka Corn Rice. Nita, panggilan akrabnya, meyakini bahwa wirausaha sosial adalah bentuk bisnis ideal di masa depan. Karena itu, anak muda Indonesia harus terlibat dengan memberdayakan warga di sekitar tempat usahanya. Nita tidak hanya menjual produk olahan jagung. Menurutnya, yang menjadi daya tarik adalah justru cerita dibalik proses produksi yang melibatkan ibu-ibu di pedesaan Garut, Jawa Barat.
Your browser doesn’t support HTML5
“Wirausaha masa depan itu memang trennya adalah wirausaha sosial. Nah, dalam produk ini kita punya story, kita punya cerita yang kita jual. Dalam produk ini kita sampaikan kisah dari pedesaan sampai perkotaan, bagaimana caranya kita memberdayakan teman-teman petani di desa supaya mereka bisa mandiri dan lebih berdaya. Terus ketika produknya kita jual, cerita itu bisa menjadi nilai tambah dari produk itu sendiri,” kata Aryanita Sembiring.
Bagi Nita, iklim usaha di era Jokowi ini sudah sangat mendukung. Modal berupa uang juga tidak bisa menjadi alasan saat ini. Paling penting menurutnya adalah kemauan untuk memulai dan belajar seiring usaha berjalan. Jika boleh meminta, kata Nita, yang mereka butuhkan adalah pendampingan selama proses pengembangan bisnis itu, baik oleh pemerintah, akademisi maupun sektor swasta.
Dr Hempri Suyatna, Direktur Pelaksana Soprema mengatakan, tahun ini ada lebih dari 1.000 proposal usaha yang masuk. Panitia kemudian memilih 90 diantaranya, dan membaginya ke dalam dua kategori. Start Up adalah jenis usaha yang sudah berjalan minimal satu tahun, dan Kick Off yang benar-benar baru akan dijalankan. Peserta datang dari kalangan pelajar, mahasiswa dan umum.
“Kami menerima proposal dari 30 provinsi di seluruh Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Ini adalah berita bagus, karena itu berarti semangat wirausaha anak muda meningkat drastis dan menyebar di seluruh wilayah. Jika konsep ini diterapkan, anak muda bisa menjadi agen mengatasi masalah sosial seperti pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan,” ujar Hempri.
Kelebihan ajang ini adalah bahwa seluruh peserta yang dipilih mengajukan proposal, berkesempatan mendiskusikan idenya dengan para juri yang kompeten. Jika mereka tidak menang, paling tidak ide mereka telah dikritisi kelebihan dan kekurangannya untuk disempurnakan.
Erwan Widyarto, pegiat bank sampah di Yogyakarta yang menjadi salah satu juri menilai, salah satu kelebihan ide usaha anak muda adalah kesederhanaan. Ide itu muncul dari potensi yang ada di sekitarnya, dan kemudian diolah agar dapat dibisniskan. Misalnya adalah usaha jamur yang memanfaatkan limbah penggergajian kayu atau produksi makanan olahan memanfaatkan ikan yang tidak laku di pasar. Namun, sebagian besar peserta memiliki kelemahan mendasar, yaitu riset bisnis.
“Kalau kita tanya sudah melakukan riset atau belum seputar bidang bisnisnya, rata-rata sangat lemah datanya. Ini mungkin yang menjadi salah satu masalah dasarnya. Jadi, anak muda Indonesia sebenarnya sudah bebas dari budaya takut berbisnis. Cuma, mereka harus memahami dulu apa yang harus dilakukan kemudian. Pasarnya bagaimana? Dan dalam kaitan wirausaha sosial ini, dampaknya bagi masyarakat sejauh apa?” ujar Erwan.
Memproduksi barang memang lebih mudah daripada memasarkannya. Baik peserta maupun juri dalam Soprema sepakat terhadap hal itu. Karenanya, yang dibutuhkan anak muda adalah bimbingan bisnis menyangkut pemasaran dan manajemen usaha.
Nur Ahmad Affandi, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang juga menjadi juri, menilai ada problem pendidikan dalam upaya membentuk budaya wirausaha di Indonesia. Kurikulum sekolah dan perguruan tinggi belum memberi ruang lebih, sehingga pelajar dan mahasiswa cenderung kurang belajar praktik bisnis. Kecenderungan ini terlihat dari konsep yang dibawa peserta dari kalangan mahasiswa, yang nampak tidak tersusun dengan baik dan berjarak dengan praktik bisnis sebenarnya."Yang juga penting, wawasan kebangsaan harus disertakan. Kalau bisa, wirausaha bisnis ini dikembangkan dari pedesaan, karena disanalah kesenjangan dan kemiskinan tinggi," kata Nur Ahmad.
Nur Ahmad mengapresiasi peserta yang datang dari salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Lamongan, Jawa Timur. Secara konsep, menurutnya, meski anggotanya masih berumur 16-17 tahun, kelompok ini menonjol dalam memilih jenis usaha dan potensi bisnis yang dikandungnya. Menurut Nur Ahmad, salah satu faktor yang dia duga adalah karena sekolah kejuruan cenderung lebih memahami dunia industri daripada sekolah umum. Bahkan, kata Nur Ahmad, dari sisi manajemen bisnis, banyak peserta mahasiswa yang cenderung terlalu teoritis karena tradisi perguruan tinggi yang belum bersinergi dengan industri.
“Kalau yang SMK, baik itu jiwa, semangat maupun cara kerjanya itu lebih sistematis, mungkin karena mereka kejuruan. Nah, peserta yang datang dari perguruan tinggi ini, menurut saya, semangat, pembentukan jiwa dan cara mengelola kegiatan bisnisnya itu tidak sistematis. Mungkin karena yang mengajar bisnis di fakultas ekonomi itu kan dosen-dosen yang kurang memiliki jaringan dengan dunia bisnis, jadi yang diajarkan lebih cenderung 'sastra bisnis', ilmu yang kebanyakan teorinya,” kata Nur Ahmad Affandi.
Ada total hadiah Rp300 juta sebagai modal usaha yang diperebutkan para peserta. Para juri menggarisbawahi, anak muda yang ingin berwirausaha kini tidak bisa lepas dari bisnis daring atau online. Karenanya, melek internet adalah syarat tambahan yang wajib dimiliki. [ns/lt]