Hasil penelitian oleh para ilmuwan AS di Malawi, Afrika, menemukan bahwa anak-anak penderita gizi buruk lebih mungkin bertahan hidup jika mereka diberi antibiotik selain terapi makanan.
Dalam penelitian yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine itu, pemberian antibiotik biasa selama satu minggu mengurangi tingkat kematian di kalangan anak-anak penderita gizi buruk sampai 35 persen atau lebih.
Sekitar 20 juta anak di seluruh dunia menderita gizi buruk, dan kekurangan gizi merupakan faktor dalam kematian sekitar satu juta anak setiap tahun. Jadi, hasil penelitian itu sangat bermakna, kata penulis utama penelitian itu Indi Trehan, dokter anak pada Universitas Washington.
"Jika kita bisa mengurangi tingkat kematian sampai 35 persen untuk setiap penyakit, itu temuan luar biasa. Jika kita dapat melakukannya dengan antibiotik seharga tiga dolar, itu malah temuan yang lebih besar. Jika kita bisa melakukannya dengan antibiotik seharga tiga dolar untuk mengurangi 35 persen kematian satu juta anak per tahun akibat suatu penyakit, saya ingin menjelaskannya lebih lanjut," tuturnya.
Malnutrisi menghambat perkembangan anak secara fisik dan mental. Kekurangan gizi juga mempengaruhi pertahanan tubuh anak terhadap segala macam penyakit, mulai dari pneumonia, malaria hingga campak. Trehan mengatakan, itu masalah hidup dan mati.
Dokter anak di Universitas Washington itu dan para sejawatnya ingin tahu apakah mereka bisa mengurangi jumlah kematian dengan memberi antibiotik dan terapi makanan yang diperkaya gizi kepada anak-anak kurang gizi.
Otoritas kesehatan masyarakat merekomendasikan pengobatan antibiotik selama beberapa tahun untuk mengatasi gizi buruk. Tetapi, belum ada bukti medis kuat mengenai hasilnya, padahal penggunaan antibiotik sembarangan berisiko efek samping, termasuk kebal antibiotik. Selain itu, menambah biaya. Jadi, kelompok Indi Trehan di Malawi tidak meresepkan antibiotik sebelumnya. Tetapi, hasil baru itu segera mengubah pendirian mereka.
Dokter anak Myrto Schaefer dari organisasi bantuan Dokter Tanpa Tapal Batas mengatakan, kelompok itu selama ini pun memberi antibiotik kepada anak-anak kurang gizi. Tetapi penelitian itu adalah yang pertama yang memberi bukti kuat mengenai manfaat pemberian antibiotik.
Menurut Schaefer, gizi buruk paling serius terjadi di wilayah Sahel Afrika. Tetapi anak-anak penderita kurang gizi di sana tidak menunjukkan gejala yang sama seperti penderita gizi buruk di Malawi, tempat penelitian dilakukan. Itu menunjukkan ada penyebab lain. Bukan hanya kekurangan makanan.
Trehan adalah penulis kedua penelitian sampingan yang menyatakan bahwa berbagai jenis mikroba yang hidup dalam gastro-intestinal anak-anak Malawi mungkin turut menyebabkan mereka kekurangan gizi. "Kita bisa memberi mereka makanan yang baik, tetapi kalau mikroba yang tepat tidak ada di sana untuk membantu menyerap zinc, vitamin A atau protein, maka mereka tidak akan menyerap zat-zat itu dan tidak akan menggunakannya untuk pertumbuhan. Jadi, mereka akan kekurangan gizi," paparnya.
Trehan mengakui, ia belum tahu mengapa antibiotik berdampak seperti itu. Ia berencana mempelajari hal itu dalam beberapa tahun ke depan.
Sekitar 20 juta anak di seluruh dunia menderita gizi buruk, dan kekurangan gizi merupakan faktor dalam kematian sekitar satu juta anak setiap tahun. Jadi, hasil penelitian itu sangat bermakna, kata penulis utama penelitian itu Indi Trehan, dokter anak pada Universitas Washington.
"Jika kita bisa mengurangi tingkat kematian sampai 35 persen untuk setiap penyakit, itu temuan luar biasa. Jika kita dapat melakukannya dengan antibiotik seharga tiga dolar, itu malah temuan yang lebih besar. Jika kita bisa melakukannya dengan antibiotik seharga tiga dolar untuk mengurangi 35 persen kematian satu juta anak per tahun akibat suatu penyakit, saya ingin menjelaskannya lebih lanjut," tuturnya.
Malnutrisi menghambat perkembangan anak secara fisik dan mental. Kekurangan gizi juga mempengaruhi pertahanan tubuh anak terhadap segala macam penyakit, mulai dari pneumonia, malaria hingga campak. Trehan mengatakan, itu masalah hidup dan mati.
Dokter anak di Universitas Washington itu dan para sejawatnya ingin tahu apakah mereka bisa mengurangi jumlah kematian dengan memberi antibiotik dan terapi makanan yang diperkaya gizi kepada anak-anak kurang gizi.
Otoritas kesehatan masyarakat merekomendasikan pengobatan antibiotik selama beberapa tahun untuk mengatasi gizi buruk. Tetapi, belum ada bukti medis kuat mengenai hasilnya, padahal penggunaan antibiotik sembarangan berisiko efek samping, termasuk kebal antibiotik. Selain itu, menambah biaya. Jadi, kelompok Indi Trehan di Malawi tidak meresepkan antibiotik sebelumnya. Tetapi, hasil baru itu segera mengubah pendirian mereka.
Dokter anak Myrto Schaefer dari organisasi bantuan Dokter Tanpa Tapal Batas mengatakan, kelompok itu selama ini pun memberi antibiotik kepada anak-anak kurang gizi. Tetapi penelitian itu adalah yang pertama yang memberi bukti kuat mengenai manfaat pemberian antibiotik.
Menurut Schaefer, gizi buruk paling serius terjadi di wilayah Sahel Afrika. Tetapi anak-anak penderita kurang gizi di sana tidak menunjukkan gejala yang sama seperti penderita gizi buruk di Malawi, tempat penelitian dilakukan. Itu menunjukkan ada penyebab lain. Bukan hanya kekurangan makanan.
Trehan adalah penulis kedua penelitian sampingan yang menyatakan bahwa berbagai jenis mikroba yang hidup dalam gastro-intestinal anak-anak Malawi mungkin turut menyebabkan mereka kekurangan gizi. "Kita bisa memberi mereka makanan yang baik, tetapi kalau mikroba yang tepat tidak ada di sana untuk membantu menyerap zinc, vitamin A atau protein, maka mereka tidak akan menyerap zat-zat itu dan tidak akan menggunakannya untuk pertumbuhan. Jadi, mereka akan kekurangan gizi," paparnya.
Trehan mengakui, ia belum tahu mengapa antibiotik berdampak seperti itu. Ia berencana mempelajari hal itu dalam beberapa tahun ke depan.