Para pengamat mengatakan, serangan militer terbesar Israel di Jenin dalam 20 tahun, menandai era kekerasan baru dalam konflik Israel-Palestina. Dikatakan, para pemuda Palestina yang tidak puas, bersekutu dengan kelompok-kelompok militan, kini menyaingi kepemimpinan politik Palestina yang lemah. Mereka melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik yang telah lama membara.
Uni Emirat Arab menjanjikan bantuan $15 juta untuk mendukung operasi bantuan PBB di Jenin, setelah kekerasan mematikan yang mengubah jalan-jalan dan rumah-rumah kamp pengungsi menjadi puing-puing dan aliran listrik dan air terputus.
Sekjen PBB Antonio Guterres mendesak Israel untuk mematuhi kewajiban hukum internasionalnya dengan mengatakan, “eskalasi bukanlah solusi,” dan memperingatkan bahwa kekerasan “hanya memicu radikalisasi.”
BACA JUGA: Kecam Operasi Militer Israel, Sekjen PBB: Eskalasi ‘Bukan Jawaban’Israel menyatakan, pihaknya membasmi militan radikal dan memusnahkan gudang senjata di kamp Tepi Barat.
Pengamat independen Yordania seperti Osama Al Sharif mengatakan, tidak ada hasil nyata dari proses perdamaian yang sudah kadaluwarsa, sementara banyak yang menolak kepemimpinan yang menua dan tidak efektif dalam Otoritas Palestina.
“Ini adalah generasi yang putus asa. Belum ada upaya apa pun untuk menciptakan harapan bagi mayoritas warga Palestina di wilayah pendudukan. Otoritas Palestina tidak mampu melindungi warga Palestina di wilayah yang dikuasainya. Satu-satunya hal yang diinginkan Israel dari Otoritas Palestina adalah koordinasi keamanan. Mereka tidak mendukung negara Palestina merdeka, mereka menentang solusi dua negara,” ujarnya.
Kolumnis Washington Post David Ignatius menyalahkan Israel dan Palestina atas perkembangan yang mencemaskan. “Pasukan keamanan Otoritas Palestina,” katanya, “tidak punya kekuatan atau punya kemauan untuk menantang kehadiran Hamas dan Jihad Islam yang semakin meningkat” di Jenin, keduanya adalah kelompok militan yang didukung oleh Iran. [ps/jm]