Kekhawatiran itu merebak sementara masyarakat bisnis asing tetap optimis dengan potensi ekonomi jangka panjang Myanmar.
Para analis mengatakan ada kekhawatiran program reformasi politik dan ekonomi Myanmar terhenti sebelum pemilihan umum nasional 2015.
Kekhawatiran itu merebak sementara masyarakat bisnis asing tetap optimis dengan potensi ekonomi jangka panjang Myanmar.
Bank Pembangunan Asia (ADB) mengatakan Myanmar dapat menjadi negara berpenghasilan menengah pada 2030 jika sanggup mempertahankan pertumbuhan ekonominya dengan laju lebih dari enam persen per tahun.
Reformasi ekonomi dan politik yang dimulai pada 2011 membuat banyak negara menghapus sanksi ekonomi mereka terhadap rezim militer di Myanmar.
Pengacara dan konsultan Australia dengan spesialisasi Myanmar John Hancock mengatakan investor asing melihat Myanmar sebagai negara yang berpotensi.
"Luar biasa apa yang terjadi di sini selama lima, enam, tujuh tahun terakhir. Keterbukaan yang dilakukan luar biasa. Kemauan untuk berubah, untuk melangkah maju, sangat menakjubkan. Begitu besar potensinya sekarang. Semuanya mau terlibat, semua ingin menanam modal untuk mendukung kepentingan mereka dan membangun secara cepat,” ujarnya.
Namun Hancock mengatakan tantangan ekonominya banyak, termasuk reformasi pertanahan, belanja untuk sarana dan pendidikan, maupun membangun kembali korps pegawai negeri.
Myanmar masih salah satu negara termiskin di Asia Tenggara, dan lebih dari seperempat penduduknya yang berjumlah 61 juta orang, hidup di bawah garis kemiskinan. Banyak penduduk yang miskin tinggal di desa-desa dan tidak memiliki kepemilikan tanah sehingga jutaan dari mereka berada dalam keadaan yang sulit.
Redaktur harian Irrawaddy, Aung Zaw, mengatakan banyak orang di Myanmar khawatir adanya perlambatan dari laju reformasi.
Aung Zaw mengatakan di daerah perbatasan, bukti-bukti menunjukkan bahwa militer “mengambil alih semuanya”, dan memaksa warga pedesaan untuk pindah karena lahannya akan dipakai untuk investasi asing.
Ia mengatakan pembangunan Zona Khusus Ekonomi, seperti Dawei di selatan Myanmar, telah menarik investasi asing, namun seringkali disertai kerugian sosial dan lingkungan yang besar karena warga dipaksa meninggalkan rumah mereka, tanpa imbalan yang memadai.
Pemerintah Australia memperingatkan investor bahwa perorangan dan perusahaan yang memiliki hubungan dengan militer Myanmar masih punya pengaruh besar di banyak bidang ekonomi, termasuk sektor minyak, gas dan kayu.
Analis mengatakan, kuncinya terletak pada hasil pemilu nasional 2015, namun sejumlah kepentingan yang khawatir dengan dampak perubahan, terus berusaha memperlemah reformasi dan menghasut perpecahan etnis dan agama.
Kekhawatiran itu merebak sementara masyarakat bisnis asing tetap optimis dengan potensi ekonomi jangka panjang Myanmar.
Bank Pembangunan Asia (ADB) mengatakan Myanmar dapat menjadi negara berpenghasilan menengah pada 2030 jika sanggup mempertahankan pertumbuhan ekonominya dengan laju lebih dari enam persen per tahun.
Reformasi ekonomi dan politik yang dimulai pada 2011 membuat banyak negara menghapus sanksi ekonomi mereka terhadap rezim militer di Myanmar.
Pengacara dan konsultan Australia dengan spesialisasi Myanmar John Hancock mengatakan investor asing melihat Myanmar sebagai negara yang berpotensi.
"Luar biasa apa yang terjadi di sini selama lima, enam, tujuh tahun terakhir. Keterbukaan yang dilakukan luar biasa. Kemauan untuk berubah, untuk melangkah maju, sangat menakjubkan. Begitu besar potensinya sekarang. Semuanya mau terlibat, semua ingin menanam modal untuk mendukung kepentingan mereka dan membangun secara cepat,” ujarnya.
Namun Hancock mengatakan tantangan ekonominya banyak, termasuk reformasi pertanahan, belanja untuk sarana dan pendidikan, maupun membangun kembali korps pegawai negeri.
Myanmar masih salah satu negara termiskin di Asia Tenggara, dan lebih dari seperempat penduduknya yang berjumlah 61 juta orang, hidup di bawah garis kemiskinan. Banyak penduduk yang miskin tinggal di desa-desa dan tidak memiliki kepemilikan tanah sehingga jutaan dari mereka berada dalam keadaan yang sulit.
Redaktur harian Irrawaddy, Aung Zaw, mengatakan banyak orang di Myanmar khawatir adanya perlambatan dari laju reformasi.
Aung Zaw mengatakan di daerah perbatasan, bukti-bukti menunjukkan bahwa militer “mengambil alih semuanya”, dan memaksa warga pedesaan untuk pindah karena lahannya akan dipakai untuk investasi asing.
Ia mengatakan pembangunan Zona Khusus Ekonomi, seperti Dawei di selatan Myanmar, telah menarik investasi asing, namun seringkali disertai kerugian sosial dan lingkungan yang besar karena warga dipaksa meninggalkan rumah mereka, tanpa imbalan yang memadai.
Pemerintah Australia memperingatkan investor bahwa perorangan dan perusahaan yang memiliki hubungan dengan militer Myanmar masih punya pengaruh besar di banyak bidang ekonomi, termasuk sektor minyak, gas dan kayu.
Analis mengatakan, kuncinya terletak pada hasil pemilu nasional 2015, namun sejumlah kepentingan yang khawatir dengan dampak perubahan, terus berusaha memperlemah reformasi dan menghasut perpecahan etnis dan agama.