Yorrys menjadi salah satu pembicara dalam sesi pertemuan bersama media, Kamis (14/4) yang difasilitasi Public Virtue Institute, terkait pemekaran Papua. Tiga pembicara secara ktitis menelaah langkah DPR menyetujui RUU tiga provinsi baru di Papua. Sementara Yorrys, sebagai wakil rakyat Papua di DPD, duduk di posisi berseberangan.
Yorrys mendasarkan pendapatnya dengan mengulik kisah masa lalu, ketika sejumlah tokoh Papua datang ke Jakarta pada 2008, untuk meminta dilakukannya pemekaran wilayah. Salah satu yang datang ketika itu adalah Lukas Enembe, saat menjadi Bupati Kabupaten Puncak Jaya. Lukas Enembe adalah Gubernur Papua saat ini.
“Itu konsep dari Pak Lukas tentang Otsus (otonomi khusus -red) Plus. Beliau datang dengan seluruh pemerintah daerah dan saya memfasilitasi ke pimpinan DPR RI. Permintaannya pemekaran. Pemekaran kabupaten dan pemekaran provinsi,” kata Yorrys.
Ketika itu, pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono merespons permintaan dengan mengeluarkan Amanat Presiden untuk proses pemekaran. Persoalannya setelah itu, menteri keuangan menyatakan bahwa anggaran tidak mencukupi. Bahkan kemudian lahir kebijakan moratorium pemekaran.
BACA JUGA: Dinilai Cacat Hukum, RUU Pemekaran Papua Diminta Dibatalkan“Jadi kalau sekarang kita bicara proses pemekaran, kita jangan melawan lupa, ini sudah pernah diusulkan juga. Jadi kalau saya, kita pakai persoalan bahwa ini rakyat grass root (akar rumput -red) yang menolak dan lain sebagainya, sulit argumentasi itu saya bisa menerima,” tegas Yorrys.
Sebagai wakil rakyat Papua, Yorrys menjamin dirinya membuka diri melakukan dialog terkait berbagai hal di Papua. Dia bahkan mengajak semua pihak konsisten dengan proses pemekaran yang sudah berjalan. Dalam perhitungannya, 20 tahun ke depan Papua akan menuai manfaat dari apa yang dilakukan saat ini,
Tanpa Saluran Aspirasi
Di sisi berbeda, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib, menyebut mayoritas masyarakat menolak rencana pemekaran di tanah Papua. Menurutnya, pemekaran harus dilakukan dengan pertimbangan dari MRP serta rekomendasi dari gubernur dan DPR Papua. Mekanisme tersebut kali ini tidak dilakukan, padahal MRP merupakan lembaga representasi kultural yang melaksanakan UU Otonomi Khusus itu sendiri.
“Oleh karenanya, MRP sebagai representasi orang asli Papua, kami mengatakan bahwa pemekaran Daerah Otonom Baru atau pemekaran provinsi, itu ditolak. Kita sepakat bahwa kami menolak. Belum saatnya,” tandas Murib.
Polemik ini, diawali dengan disahkannya UU No 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua, sebagai pengganti UU No 21/2001 atau yang dikenal Otsus jilid satu. Pelaksanaan otonomi khusus selama 20 tahun sejak 2001, semestinya dievaluasi sendiri oleh rakyat Papua, sebagai penerima manfaat otonomi.
Your browser doesn’t support HTML5
Namun, yang terjadi malah pemerintah pusat melakukan itu secara sepihak, hingga lahir UU baru pada 2021. Melalui UU baru itulah, proses pemekaran memiliki dasar hukum, dan kemudian terus berjalan hingga muncul tiga RUU yang sudah disepakati DPR.
“Rencana pemekaran provinsi semua ini dari pemerintah pusat. Tanpa ada koordinasi dengan lembaga negara yang ada di daerah. Kemudian tanpa partisipasi dari masyarakat orang asli Papua. Kehendak Jakarta, mereka melakukan pemekaran,” tambah Murib.
BACA JUGA: Pemekaran Provinsi: DPR Bergerak, Papua MenolakTermasuk di dalamnya adalah evaluasi UU Otsus tanpa peran masyarakat. Bahkan kemudian ada dua Peraturan Pemerintah turunan dari UU 2/2021, yang muncul dan belum sempat disosialisasikan.
“Ini belum disosialisasikan kepada masyarakat. Lalu tiba-tiba muncul rencana pemekaran. Ini Jakarta kerasukan apa?,” tandasnya.
Bentuk Kemunduran Demokrasi
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai tiga RUU pemekaran wilayah Papua yang sudah disepakati DPR adalah wujud kemunduran demokrasi di Indonesia.
“Pemekaran wilayah adalah keputusan yang sangat strategis di dalam memastikan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Oleh karena itulah, pemekaran wilayah dalam UU Otsus No 21/2001, harus atas persetujuan dari Majelis Rakyat Papua,” kata Usman.
Alasannya, adalah karena MRP ditunjuk dan dibentuk oleh UU Otsus pertama pada 2001, sebagai representasi kultural orang asli Papua. Karena itulah, pemekaran wilayah yang dilakukan tanpa MRP merupakan sebuah pelanggaran terhadap otonomi khusus itu sendiri.
Langkah DPR yang menyepakati RUU pembentukan tiga provinsi baru di Papua adalah bagian dari kemunduran demokrasi di Indonesia. Usman menilai secara keseluruhan dalam skala nasional tengah terjadi pemusatan kembali kendali pemerintahan daerah ke tangan pemerintah pusat.
“Kalau kita lihat dari sejumlah UU, termasuk UU Cipta Kerja, kelihatan sekali otonomi daerah, bahkan termasuk otonomi daerah yang bersifat istimewa atau khusus seperti Papua, ditarik kembali ke Jakarta,” tegasnya.
Usman memberi contoh, banyak sekali perizinan usaha yang saat ini tidak lagi diurus di daerah, tetapi harus langsung ke pusat. Padahal, otonomi dan pelimpahan kewenangan, awalnya dimaksudkan sebagai upaya redistribusi kesejahteraan dan pendapatan ke daerah.
Jika dibiarkan, tiga RUU akan segera menjadi UU. Karena itulah Usman berpendapat, proses RUU ini harus dihentikan atau ditunda.
BACA JUGA: Pemekaran Bukan Jaminan Penyelesaian Konflik Bersenjata di Papua“Setidak-tidaknya, DPR sebagai inisiator dari RUU ini harus terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan MRP dan meminta persetujuan mereka,” ujar Usman.
Potensi Sumber Konflik
Tokoh agama Pendeta Dora Balubun mengingatkan pemekaran sebenarnya menjadi potensi timbulnya konflik di Papua.
“Dari rujukan kita pada beberapa konflik yang terjadi di Papua, konflik itu ada di wilayah-wilayah pemekaran, seperti Intan Jaya, Nduga, terakhir di Maybrat. Itu adalah wilayah kabupaten baru, wilayah-wilayah pemekaran, dan disanalah justru terjadi kekerasan,” kata Pendeta Dora.
Pendeta Dora yang juga aktif dalam kegiatan kemanusiaan, menyampaikan pertanyaan ke Presiden Joko Widodo.
“Apakah kebijakan ini betul-betul tulus dilakukan untuk orang Papua? Apakah pemekaran yang diberikan kepada Papua ini sebuah ketulusan hati? Pemberian? Sebuah hadiah? Atau sebenarnya pemekaran ini adalah alat pemecah belah,” lanjut Pendeta Dora. [ns/ah]