Keterlibatan masyarakat dengan menggunakan hak pilihnya secara benar dan cerdas, dapat membantu membuat perubahan yang lebih baik, terutama dalam kaitan isu lingkungan yang ada di Indonesia.
SURABAYA, JAWA TIMUR —
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat terdapat sekitar 53 juta orang pemilih usia muda (17-29 tahun), dari 170 masyarakat Indonesia yang memiliki hak pilih dalam Pemilu 2014.
Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Abetnego Tarigan mengatakan, pemilihan umum harus dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat, melalui penggunaan hak pilih di tempat pemilihan umum. Keterlibatan masyarakat dengan menggunakan hak pilihnya secara benar dan cerdas, dapat membantu membuat perubahan yang lebih baik, terutama dalam kaitan isu lingkungan yang ada di Indonesia.
“Kita mau dorong ini supaya, memang harapannya itu di 9 Juli itu, rakyat sudah cerdas, kalau dia bengong gak milih, itu memang dia bilang dia putuskan bahwa ini memang gak ada yang bener, sehingga harapannya setelah itu mereka melakukan sesuatu, kita melakukan sesuatu, apakah membangun politik alternatif, atau membangun suatu gerakan alternatif, atau membangun front politik alternatif, itu silahkan," kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional.
"Tetapi poinnya tadi itu, untuk bagaimana sebenarnya, pertama isu lingkungan tidak dipinggirkan, kemudian yang kedua kita gak milih itu bukan hanya karena ngedumel (mengomel) gak suka dan kemudian ngamuk-ngamuk, terus menggunakan alat-alat praktis sosial media dan merasa kita paling benar sendiri,” lanjutnya.
Pentingnya peran politik dalam mencegah bertambah parahnya pemanasan global, dilandasi banyaknya tindakan pengrusakan lingkungan yang ditentukan oleh keputusan dan kebijakan politik para pemimpin di eksekutif maupun legislatif.
Pendiri Yayasan Perspektif Baru, Wimar Witoelar mengatakan penyusunan kebijakan yang lebih pro kelestarian lingkungan harus dikedepankan, sambil tetap melanjutkan moratorium perijinan pengelolaan hutan.
“Satu adalah melanjutkan moratorium dan mengelola perijinan pengelolaan hutan, untuk tidak mengubah fungsinya secara sembarangan, untuk dimasukkan ke legislasi. Dan secara khusus melanjutkan keputusan MK (mahkamah konstitusi) nomor 35 dengan peraturan pelaksanaannya dan perangkat-perangkat hukum, sehingga itu menjadi peraturan yang berjalan, dimana masyarakat adat bisa mengelola hutannya sendiri,” kata Wimar Witoelar, Pendiri Yayasan Perspektif Baru.
Abetnego Tarigan menambahkan partai politik dan calon anggota legislatif harus didorong untuk memasukkan isu lingkungan pada rencana pembangunan kedepan, sehingga saat menduduki posisi penentu kebijakan dapat menentukan aturan serta kebijakan yang memihak pada pelestarian lingkungan.
“Perubahan iklim itu merupakan suatu hal yang pasti hadir di tengah kita. Dan isi semua kan akumulasi persoalan lingkungan. Pertanyaan kita bagaimana nanti anggota dewan, ini akan merespon situasi ini," kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional.
Menurut Abetnego Tarigan, anggaran-anggaran untuk penanganan perubahan iklim masih banyak yang sifatnya hibah. Sehingga tidak mungkin untuk terus mengandalkan hibah dari Norwegia dan Inggris, namun bagaimana Indonesia dapat membangun kekuatan dalam negeri, misalnya dalam konteks APBN.
"Kalau APBN nanti bagaimana DPR-DPR ini memutuskan, ngerti gak perubahan iklim, ngerti gak persoalan lingkungan, faktanya itu rakyat menghadapi situasi itu. Apa yang harus dihadapi di dalam situasi musim kemarau yang berkepanjangan yang akan kita hadapi, intensitas hujan yang lebih tinggi, ini semua dibutuhkan memang mereka yang memiliki keberpihakan dan concern di isu itu,” tambah Abetnego Tarigan.
Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Abetnego Tarigan mengatakan, pemilihan umum harus dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat, melalui penggunaan hak pilih di tempat pemilihan umum. Keterlibatan masyarakat dengan menggunakan hak pilihnya secara benar dan cerdas, dapat membantu membuat perubahan yang lebih baik, terutama dalam kaitan isu lingkungan yang ada di Indonesia.
“Kita mau dorong ini supaya, memang harapannya itu di 9 Juli itu, rakyat sudah cerdas, kalau dia bengong gak milih, itu memang dia bilang dia putuskan bahwa ini memang gak ada yang bener, sehingga harapannya setelah itu mereka melakukan sesuatu, kita melakukan sesuatu, apakah membangun politik alternatif, atau membangun suatu gerakan alternatif, atau membangun front politik alternatif, itu silahkan," kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional.
"Tetapi poinnya tadi itu, untuk bagaimana sebenarnya, pertama isu lingkungan tidak dipinggirkan, kemudian yang kedua kita gak milih itu bukan hanya karena ngedumel (mengomel) gak suka dan kemudian ngamuk-ngamuk, terus menggunakan alat-alat praktis sosial media dan merasa kita paling benar sendiri,” lanjutnya.
Pentingnya peran politik dalam mencegah bertambah parahnya pemanasan global, dilandasi banyaknya tindakan pengrusakan lingkungan yang ditentukan oleh keputusan dan kebijakan politik para pemimpin di eksekutif maupun legislatif.
Pendiri Yayasan Perspektif Baru, Wimar Witoelar mengatakan penyusunan kebijakan yang lebih pro kelestarian lingkungan harus dikedepankan, sambil tetap melanjutkan moratorium perijinan pengelolaan hutan.
“Satu adalah melanjutkan moratorium dan mengelola perijinan pengelolaan hutan, untuk tidak mengubah fungsinya secara sembarangan, untuk dimasukkan ke legislasi. Dan secara khusus melanjutkan keputusan MK (mahkamah konstitusi) nomor 35 dengan peraturan pelaksanaannya dan perangkat-perangkat hukum, sehingga itu menjadi peraturan yang berjalan, dimana masyarakat adat bisa mengelola hutannya sendiri,” kata Wimar Witoelar, Pendiri Yayasan Perspektif Baru.
Abetnego Tarigan menambahkan partai politik dan calon anggota legislatif harus didorong untuk memasukkan isu lingkungan pada rencana pembangunan kedepan, sehingga saat menduduki posisi penentu kebijakan dapat menentukan aturan serta kebijakan yang memihak pada pelestarian lingkungan.
“Perubahan iklim itu merupakan suatu hal yang pasti hadir di tengah kita. Dan isi semua kan akumulasi persoalan lingkungan. Pertanyaan kita bagaimana nanti anggota dewan, ini akan merespon situasi ini," kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional.
Menurut Abetnego Tarigan, anggaran-anggaran untuk penanganan perubahan iklim masih banyak yang sifatnya hibah. Sehingga tidak mungkin untuk terus mengandalkan hibah dari Norwegia dan Inggris, namun bagaimana Indonesia dapat membangun kekuatan dalam negeri, misalnya dalam konteks APBN.
"Kalau APBN nanti bagaimana DPR-DPR ini memutuskan, ngerti gak perubahan iklim, ngerti gak persoalan lingkungan, faktanya itu rakyat menghadapi situasi itu. Apa yang harus dihadapi di dalam situasi musim kemarau yang berkepanjangan yang akan kita hadapi, intensitas hujan yang lebih tinggi, ini semua dibutuhkan memang mereka yang memiliki keberpihakan dan concern di isu itu,” tambah Abetnego Tarigan.