Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kasus-kasus baru COVID-19 di Tanah Air yang meledak dalam beberapa waktu terakhir didominasi oleh varian delta. Dijelaskannya, varian delta ini bisa menular enam kali lebih cepat dari varian lainnya.
Hal ini terlihat dari jumlah kasus baru harian COVID-19 pada Kamis (15/7) yang kembali mencetak rekor tertinggi selama pandemi, yakni 56.757.
Meski demikian, pemerintah nampaknya belum mengambil keputusan apakah akan memperpanjang masa PPKM Darurat setelah 20 Juli nanti. Ketika ditanyakan, Luhut tidak menjelaskan secara gamblang, apa keputusan yang akan diambil oleh pemerintah nanti.
“Saya kira kasus meroket ini sudah kita duga akan terjadi, tapi kita tidak duga terus terang secepat ini. Tapi balik-balik lagi karena pemahamanan kita mengenai delta varian ini juga banyak yang tidak paham betul, jadi bukan hanya kita saja, banyak negara lain yang kena karena ilmu dunia belum sampai ke sana,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta, Kamis (15/7).
Dengan terus naiknya jumlah kasus baru harian, Luhut meminta kepada masyarakat untuk sabar menunggu hasil dari kebijakan PPKM Darurat ini. Hal ini karena dampak dari kebijakan tersebut tidak akan langsung terlihat dalam kurun waktu yang singkat.
“Saya minta sekali lagi, masa inkubasi (varian delta) dua minggu sampai tiga minggu. Jadi di dalam tiga minggu ini bisa saja apa yang terjadi, yang kita tidak mau setelah tiga minggu itu jangan ada lagi naik, supaya tidak naik kita harus mengurangi kerumunan, karena kurumunan itu baru kelihatan beberapa waktu ke depan, dan ingat delta sangat besar penyebarannya, bisa sampai enam kali lebih besar penyebarannya,” jelasnya.
Skenario Terburuk
Dalam kesempatan ini, kata Luhut, pemerintah juga telah mempersiapkan skenario terburuk jika kasus COVID-19 mencapai 100 ribu kasus per harinya. Persiapan ini mulai dari menambah tenaga kesehatan dengan merekrut puluhan ribu dokter dan perawat yang baru lulus untuk segera terjun ke lapangan.
Your browser doesn’t support HTML5
Lanjutnya, pemerintah juga terus menambah kapasitas tempat tidur bagi pasien COVID-19, yakni mengkonversi tempat-tempat menjadi isolasi terpusat yang diperuntukkan bagi pasien Orang Tanpa Gejala (OTG) dan gejala ringan, serta mengonversi berbagai tempat menjadi rumah sakit darurat bagi pasien dengan gejala sedang, berat sampai kritis.
“Kalau kita bicara worst case scenario untuk 60 ribu atau lebih kita masih cukup OK, kita tidak berharap sampai ke 100 ribu. Tapi itu pun sudah kami rancang kalau sampai terjadi ke sana. Jadi semua kita tenang melaksanakannya, jernih melihatnya,” jelas Luhut
Langkah pemenuhan obat pun ditempuh pemerintah dengan cara mengimpor beberapa obat, seperti remdisivir yang saat ini sedang dalam perjalanan ke Tanah Air. Selain itu, untuk mencegah kondisi yang memburuk, pemerintah telah membagikan 300 ribu paket obat untuk pasien OTG dan gejala ringan yang sedang melakukan isolasi mandiri.
Pemerintah juga berusaha memenuhi kebutuhan oksigen rumah sakit hingga 100 persen. Pihaknya juga telah mengimpor 40 ribu konsentrator oksigen yang akan dipinjamkan ke rumah-rumah tangga yang sedang melakukan isolasi mandiri.
Terkait bantuan dari dunia internasional, ia mengatakan Indonesia telah menerima sejumlah bantuan dari Singapura, Uni Emirat Arab (UEA), China dan Amerika Serikat yang terdiri dari berbagai vaksin COVID-19, ventilator, oksigen, masker dan lain-lain. Bantuan tersebut akan didistribusikan ke seluruh rumah sakit di Indonesia dengan harapan dapat mengurangi tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy ratio/ BOR) yang saat ini masih cukup tinggi.
“Ya kita sudah minta bantuan, saya sudah berbicara dengan Singapura, China, Abu Dhabi, ksama Jepang. Jadi bukannya kita tidak minta bantuan. Tapi tentu bantuan-bantuan yang menurut kita tidak bisa ditangani,” tuturnya.
Luhut menjelaskan bahwa Indonesia sementara ini sudah mengamankan ketersediaan vaksin COVID-19 sampai 480 juta dosis. Ia berharap vaksinasi satu juta per hari pun bisa konsisten dilakukan. Menurut Luhut, laju vaksinasi sampai hari ini masih naik turun.
“Saya harus laporkan kadang-kadang bisa sampai 1 juta, 1 juta lebih, kadang-kadang di bawah. Jadi kita masih ingin supaya bisa 31 juta disuntikkan bulan ini. Vaksinasi dilakukan oleh pemerintah daerah, TNI/Polri dan mereka semua bekerja dengan sangat baik,” jelasnya.
Meski demikian, Luhut mengatakan pencapaian vaksinasi per provinsi cenderung meningkat. DKI Jakarta, menurutnya, sudah mencapai 65 persen. Luhut mengatakan,vaksinasi merupakan salah satu strategi penting agar angka kesakitan yang parah dan kematian dapat ditekan dengan signifikan.
“Jakarta yang sudah 65 persen. Jadi ini kita harapkan Jakarta kalau bisa sampai 70 persen kita harapkan mulai mendekati herd immunity, karena sekarang Jakarta sebenarnya sudah mulai flattening, sudah kelihatan mendatar grafiknya,” paparnya.
PPKM Darurat Harus Diperpanjang
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan pemerintah harus melanjutkan kebijakan PPKM Darurat minimal enam sampai delapan minggu lagi. Menurutnya, jika kebijakan ini tidak diperpanjang maka Indonesia akan menghadapi skenario terburuk yang diperkirakan puncaknya akan terjadi pada akhir Juli nanti.
“Ini akan tidak lama lagi karena akhir Juli adalah puncak dari situasi ini. Dan tidak akan lama memang tapi akan menyakitkan, membawa banyak korban. Membawa banyak kepanikan dan membawa dampak negatif lainnya di semua sektor, karena bisa berlangsung sekitar dua minggu. Ini yang harus kita cegah,” katanya kepada VOA.
Maka dari itu, selain memperpanjang kebijakan PPKM Darurat, ujar Dicky, pemerintah harus melakukan berbagai strategi dan mitigasi pencegahan kenaikan kasus yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Ia juga kembali menekankan bahwa pemerintah harus memperkuat strategi “3T” (testing, tracing, and treatment) dan menggenjot vaksinasi COVID-19. Menurutnya, target vaksinasi sebanyak satu juta dosis per hari merupakan langkah yang sangat baik untuk mencegah angka kesakitan dan kematian akibat perebakan wabah virus corona.
BACA JUGA: Menkes: RS Yogya dan Jakarta Hadapi Ancaman TerberatDicky mengatakan, penyematan Indonesia sebagai negara dengan episentrum corona di dunia, harus dijadikan cambukan bagi pemerintah agar perburukan situasi bisa dicegah semaksimal mungkin.
“Kita sekarang sudah menjadi episentrum di Asia bahkan di dunia karena namanya episentrum adalah sebuah negara atau wilayah yang memiliki pertambahan kasus aktif yang paling tinggi pada waktu itu. Sekarang di dunia ya Indonesia, bahkan angka kematiannya per satu juta penduduk itu salah satu yang tertinggi di dunia. Jadi penyematan episentrum dunia untuk Indonesia saat ini memang sangat amat harus kita terima dengan kewaspadaan dan respon untuk perbaikan.”pungkasnya. [gi/ab]