Hakim South Carolina pada hari Kamis (16/7) menetapkan 11 Juli 2016 sebagai tanggal dimulainya persidangan bagi Dylan Roof, tersangka pelaku penembakan yang menewaskan sembilan orang di sebuah gereja warga kulit hitam di Charleston bulan lalu.
Roof, 21 tahun, akan menghadapi dakwaan pembunuhan dalam persidangan itu nanti. Tapi penegak hukum federal masih menyelidiki kemungkinan mengajukan kasus pembunuhan terhadap sembilan orang di gereja Charleston sebagai aksi terorisme domestik maupun kejahatan atas dasar kebencian.
Setelah berbagai informasi bermunculan mengenai ideologi kulit putih yang diusung oleh Roof, para aktivis hak-hak sipil menginginkan tindakan kejahatan tersebut dapat dicap sebagai terorisme.
Cornell Brooks, kepala organisasi hak sipil tertua di AS, NAACP, adalah salah seorang yang pertama menyebut penembakan tersebut sebagai aksi teror.
"Seseorang dapat berprasangka buruk, punya bias, memandang rendah orang dari etnis lain, tapi tidak lantar membiarkan bias dan kebencian itu untuk mendorong mereka melakukan kekerasan," katanya kepada VOA. "Apa bedanya kejahatan ini di Charleston dengan bila kejahatan ini menargetkan korban-korban lain di luar gereja itu?"
Apakah itu terorisme?
Berdasarkan definisi FBI, sebuah serangan teror domestik harus memenuhi kriteria berikut:
- Melibatkan perilaku yang berbahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum federal maupun negara bagian
- Tampak dimaksudkan untuk (i) mengintimidasi atau memaksa warga sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan intidimasi atau paksaan; atau (iii) untuk mempengaruhi perilaku pemerintah dengan penghancuran massal, pembunuhan ataupun penculikan
- Terjadi di dalam wilayah yurisdiksi Amerika Serikat
Aktivis hak-hak sipil Marc Morial dari National Urban League berkeyakinan pembunuhan di Charleston memenuhi definisi tersebut.
"Ketika saya berpikir mengenai terorisme, saya berpikir mengenai penyebaran ideologi politik. Kekerasan dalam upaya penyebaran keyakinan bahwa para korban lebih rendah, di bawah standar, atau menjadi ancaman. Sementara kejahatan atas kebencian - kejahatan atas kebencian juga bisa menjadi aksi terorisme," katanya, seminggu setelah kejadian.
Sejak 2001, para ekstremis kanan - termasuk mereka para penganut supremasi kulit putih - telah membunuh 48 orang. Ini hampir dua kali lipat mereka yang tewas oleh militan Muslim, menurut data dari New America Foundation.
Lembaga Southern Poverty Law Center melacak kelompok-kelompok aktif, kini berjumlah 11 kelompok, yang dikategorikan sebagai organisasi "nasionalis kulit putih."
Tapi dalam 20 tahun antara pemboman gedung federal di Oklahoma City oleh penganut supremasi kulit putih Timothy McVeigh dan penembakan di Charleston, "perang terhadap teror" di AS berfokus pada ancaman dari pihak asing. Para ekstremis di dalam negeri tidak mendapat banyak perhatian, menurut kepala kelompok pemantau hak-hak sipil yang berbasis di Alabama ini.
"Setelah peristiwa 11 September, semua sumber daya pemerintah federal, Anda tahu sendiri, berfokus pada teror atas nama 'jihad,' dan tidak menghiraukan terorisme domestik," ujar Richard Cohen, kepala Southern Poverty Law Center. "Tahun lalu ada pembunuhan di sebuah fasilitas Yahudi, di mana seorang neo Nazi yang pernah mencoba meledakkan kantor Southern Poverty Law Center - atau seorang pengikutnya - membunuh tiga orang, dan tiba-tiba pemerintah bangun kembali dan mengatakan oh, kita harus berikan sumber daya untuk melawan terorisme domestik."
Seorang agen FBI, Michael German, menyamar sebagai seorang pengikut kelompok supremasi kulit putih. German yang sekarang menjadi akademisi untuk Brennan Center for Justice di New York University mengatakan label tidak sepenting aplikasinya.
"Terorisme selalu menjadi kata yang bermuatan politis," kata German kepada VOA. "Sangat penting bahwa ada konsistensi antara berbagai ideologi karena kalau tidak akan terlihat diskriminatif, bahwa kekerasan oleh kaum minoritas ditanggapi lebih serius dibanding kekerasan terhadap kaum minoritas."
Pentingnya penamaan
Dakwaan terorisme tidak akan berarti banyak bagi proses peradilan bagi Dylann Roof. Pria 21 tahun ini sudah menghadapi kemungkinan hukuman mati dalam kasus pembunuhan terhadap sembilan orang korbannya.
Tapi Richard Cohen memperingatkan gerakan supremasi kulit hitam tumbuh dengan cepat di luar Amerika, dan oleh karena itulah pemberian nama bagi serangan di Charleston penting artinya.
"Terkadang menamakan sesuatu sebagai terorisme berdampak pada kebijakan publik kita, membuat kita menyadari bahwa fenomena yang berbeda bisa memiliki karakteristik yang sama," katanya.
SPLC melakukan sejumlah pelacakan online, dan Cohen mengatakan mereka menemukan tulisan Roof dalam sebuah forum web di mana ia berbicara mengenai partai neo Fasis di Yunani, Golden Dawn - di antara sejumlah retorika anti kulit hitam yang ditemukan di sebuah website yang terdaftar atas nama Roof.
Mereka tidak memiliki keterikatan terhadap sebuah negara. "Yang mereka miliki adalah kesetiaan terhadap ras mereka," ujar Cohen.
"Mereka melihat adanya persaudaraan dengan orang kulit putih di seluruh dunia."
Tapi bagi Cornell Brooks dari NAACP, penembakan di Charleston mungkin memang dimaksudkan untuk meneror sebuah komunitas, tapi pada akhirnya gagal.
"Orang di seluruh Amerika bersatu, merangkul keluarga korban. Jika tujuannya adalah untuk memulai perang antar ras, ia sukses - memulai perang terhadap rasisme."