Direktur Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan larangan ekspor batu bara berpotensi mengganggu hubungan dengan negara pengimpor. Ia beralasan sebagian negara yang berasal dari Asia Pasifik tersebut membutuhkan batu bara untuk energi listrik.
Selain itu, kebijakan larangan ini diambil pemerintah dengan terburu-buru. Kendati, ia memahami alasan pelarangan tersebut setelah bertemu dengan pemerintah.
"Dengan kondisi ini mereka jadi khawatir juga, terutama ke depannya. Takutnya bisa terjadi lagi, karena energi itu penting sekali," ujar Hendra Sinadia kepada VOA, pada Rabu (12/1).
BACA JUGA: Filipina Desak Indonesia Cabut Larangan Ekspor Batu BaraHendra menambahkan pengeluaran pengusaha batu bara juga bertambah karena tambahan biaya demurrage (biaya kelebihan waktu berlabuh kapal ) yang berkisar $20.000– $40.000.
Di samping itu, kata dia, pembeli juga dapat mengenakan biaya penalti kepada pengekspor batu bara karena tidak sesuai dengan kontrak masing-masing.
"Makanya kemarin ada juga eksportir, tidak tahu jumlahnya berapa yang pada saat ekspor dilarang mereka deklarasi force majeure untuk menghindari penalti," imbuhnya.
Pembentukan BLU Dinilai Perumit Birokrasi
Pengamat pertambangan di Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menyoroti rencana pemerintah membentuk Badan Layanan Umum (BLU) untuk solusi jangka panjang dalam penerapan suplai batu bara di dalam negeri.
Menurutnya, rencana ini akan menambah birokratisasi tata kelola suplai batu bara di dalam negeri. Padahal, kata dia, mekanisme pemenuhan batu bara untuk PLN selama ini sudah sederhana yakni ada suplai batu bara di dalam negeri dan harga untuk PLN ditentukan pemerintah.
"Tata kelola DMO (Domestic Market Obligation) untuk pemenuhan batubara bagi PLN makin rumit, berbelit-belit, potensial moral hazard karena menyangkut manajemen iuran, pola subsidi dari BLU yang kompleks," jelas Ahmad Redi.
Ahmad Redi menambahkan kebijakan ini akan memberatkan PLN dan Kementerian Keuangan karena batu bara dijual dengan harga pasar yang fluktuatif. Akibatnya keuangan negara menjadi berat dan ada mekanisme subsidi dari BLU yang juga satuan kerja pemerintah.
Your browser doesn’t support HTML5
"Pelaku usaha sesungguhnya telah diikat oleh UU dan PP di bidang minerba, bahwa mereka wajib DMO dan harga patokannya ditentukan oleh Pemerintah. Bila mereka tidak taat, larangan ekspor dan pencabutan IUP/IUPK dapat dilakukan," imbuhnya.
Pemerintah Membolehkan 37 Kapal untuk Ekspor
Mengutip rilis Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan stok batubara untuk pembangkit listrik dalam kondisi aman. Hal tersebut disampaikan Darmawan setelah rapat koordinasi pada Rabu (12/1) yang dipimpin Menko Marves Luhut Panjaitan.
BACA JUGA: Longgarkan Larangan Ekspor Batu Bara, Pemerintah Izinkan 37 Kapal BerangkatAtas dasar tersebut, pemerintah membolehkan 37 kapal yang sudah terisi muatan pada 12 Januari dan sudah dibayar pembeli untuk melakukan ekspor. Hal tersebut untuk menghindari risiko kebakaran karena batu bara terlalu lama di kapal.
Namun perusahaan-perusahaan batubara yang mensuplai untuk kapal-kapal tersebut akan dikenakan denda jika belum memenuhi kebutuhan dalam negeri atau kontrak kepada PLN pada 2021.
“Saya minta betul-betul diawasi bersama supaya ini juga bisa menjadi momen untuk kita semua memperbaiki kondisi tata kelola di dalam negeri dan hal-hal seperti ini tidak perlu terulang lagi di kemudian hari,” ujar Luhut dalam rilis yang diterima VOA, pada Rabu (12/1). [sm/em]