Petugas pemadam kebakaran, polisi dan orang-orang yang merespon serangan 9/11 pertama kali mendapatkan biaya pengobatan dan perawatan kanker.
Sebanyak 70.000 petugas pemadam kebakaran, polisi dan orang-orang yang merespon pertama kali dan bergegas ke gedung World Trade Center setelah terjadi serangan 11 September 2001 (9/11), akan mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan untuk 50 jenis kanker.
Lembaga Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja mengumumkan pada Senin (10/9) bahwa perespon dan penyintas (survivor) yang terpapar senyawa beracun dari reruntuhan gedung, yang menyalakan api selama tiga bulan, akan mendapat biaya pengobatan kanker atas dasar Undang-Undang Kesehatan dan Kompensasi Zadroga 9/11.
Undang-Undang tersebut, yang juga mencakup perespon dan penyintas serangan 9/11 di gedung Pentagon di luar Washington, disahkan oleh Presiden Barack Obama pada 2 Januari 2011.
Keputusan itu terkait kekhawatiran mengenai meningkatnya dampak kesehatan bagi pekerja tindakan darurat dalam serangan tersebut, ketika pesawat terbang menhantam menara kembar World Trade Center di New York dan pusat komando militer AS di Virginia selatan.
“Peraturan ini menandai langkah penting dalam upaya menyediakan perawatan dan pengobatan yang dibutuhkan oleh perespon dan penyintas 9/11,” ujar Dr. John Howard, pengelola program kesehatan World Trade Center (WTC) yang dibentuk oleh Undang-Undang.
“Sejak awal kami telah mendesak bahwa keputusan untuk mengikutsertakan kanker atau tidak harus berdasarkan sains,” ujar Walikota New York City, Michael Bloomberg, dalam pernyataan tertulis.
Keputusan tersebut “akan terus memastikan bahwa mereka yang jatuh sakit karena serangan 9/11 mendapatkan perawatan medis yang pantas dan dibutuhkan.”
Kesakitan terkait serangan 11 September telah menyebabkan sekitar 1.000 kematian. Minggu lalu, kantor pemadam kebakaran New York City mengukirkan sembilan nama lagi ke dinding peringatan untuk mengenang petugas pemadam kebakaran yang meninggal karena penyakit yang didapat setelah bekerja di Ground Zero. Total jumlahnya adalah 64 orang.
Jenis kanker yang dibiayai pengobatannya adalah kanker paru-paru, usus besar, payudara dan kandung kemih, leukemia, melanoma dan kanker anak-anak.
Program tersebut telah menutup biaya penyakit-penyakit pernafasan, seperti asma dan fibrosis paru, penyakit mental termasuk depresi dan stress pasca-trauma, serta kondisi tulang.
Namun para peneliti mengatakan bahwa perespon dan penyintas, termasuk pemilik usaha lokal dan warga setempat, terpapar campuran senyawa-senyawa kimia kompleks, termasuk yang menyebabkan kanker (karsinogen). Campuran tersebut termasuk produk-produk pembakaran dari 20.000 galon bahan bakar jet, 10.000 ton puing-puing organik, dan 100.000 galon minyak pembakaran dan solar.
Bahan bangunan yang hancur menghasilkan bahan beracun, yaitu debu semen, serat kaca, asbes, silika kristal, logam, hidrokarbon aromatik polisiklik, bifenil poliklorinasi, pestisida dan dioksin. “Semuanya berjumlah 287 bahan kimia atau kelompok senyawa kimia,” menurut laporan program kesehatan WTC.
Meski sejak awal para ilmuwan tahu bahwa perespon terpapar bahan kimia beracun, tidak jelas bahwa mereka dapat menyebabkan kanker.
Untuk banyak jenis kanker, waktu antara pemaparan terhadap bahan karsinogen dan timbulnya keganasan dapat mencapai 20 tahun atau lebih. Hal itu menimbulkan keraguan apakah kanker yang dideteksi bertahun-tahun setelah serangan memang disebabkan oleh paparan terhadap bahan kimia beracun tersebut.
Kesehatan para perespon pertama telah dimonitor secara seksama, menimbulkan pertanyaan apakah tingkat peningkatan kasus kanker karena pemeriksaan yang lebih detil, bukan benar-benar meningkat. Selain itu, data senyawa yang berpotensi menimbulkan kanker di udara sekitar WTC tidak dikumpulkan sampai empat hari setelah serangan terjadi.
“Tidak ada yang tahu sampai hari ini, apa yang ada di gumpalan asap tersebut,” ujar Dr. Michael Crane, direktur program kesehatan WTC di Fakultas Kedokteran Mount Sinai di New York City.
“Sangat sulit untuk mengevaluasi risiko paparan yang tidak diketahui. Kita tidak tahu apa yang orang-orang hirup.”
Yang lebih membingungkan lagi, tidak ada dari evaluasi besar yang dibuat pada 2006 dan 2007 yang menemukan “bukti epidemiologi untuk hubungan kausal antara 11 September 2001, paparan dan kanker,” jelas laporan program kesehatan WTC tahun lalu.
Akibatnya, program tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk menambahkan kanker pada daftar biaya kesehatan yang dibiayai pemerintah.
Apa yang berubah?
Pada 31 Maret, komite penasihat sains untuk program tersebut menulis pada Howard, mencatat bahwa 15 senyawa dalam asap, debu dan gas di situs WTC diklasifikasikan oleh Badan Internasional untuk Riset Kanker (IARC) sebagai pemicu kanker pada manusia.
Sebanyak 37 senyawa diklasifikasikan oleh Program Toksikologi Nasional AS sebagai “yang diantisipasi sebagai penyebab kanker pada manusia.”
Selain itu, penasihat sains tersebut mencatat bahwa banyak perespon dan penyintas memiliki tingkat radang yang tinggi, yang oleh penelitian terbaru dihubungkan dengan risiko kanker yang meningkat.
Untuk itu, mereka merekomendasikan program tersebut untuk membiayai pengobatan kanker yang memenuhi tiga kriteria: Kanker yang disebabkan oleh senyawa 9/11 apapun yang diklasifikasikan oleh IARC sebagai karsinogen terhadap manusia; kanker dengan tingkat radang yang tinggi; dan kanker yang disebut oleh studi epidemiologi menempatkan perespon pada risiko yang lebih tinggi daripada populasi umum.
Kategori terakhir termasuk multiple myeloma dan limfoma non-Hodgkins, yang dilaporkan ada dengan tingkat yang tinggi pada para petugas pemadam kebakaran New York City yang bekerja di situs WTC.
Keganasan yang disebabkan oleh senyawa-senyawa dalam puing-puing termasuk kanker sistem pernafasan, dari hidung ke paru-paru. Penyakit ini terkait dengan arsenik, asbestos, berilium, kadmium, kromium, nikel dan debu silika, yang semuanya terkandung dalam udara di WTC.
Kanker saluran tenggorokan, perut, usus besar, rektum dan hati telah dikaitkan dengan tetrakloroetilen, asbestos, timbal atau bifenil poliklorinasi, juga dalam gumpalan asap dan debu yang beracun.
Seorang perespon atau penyintas 9/11 yang mencari pengobatan untuk kondisi yang dibiayai harus mendapatkan ‘sertifikat’ dari dokter di salah satu pusat program kesehatan WTC, seperti di Mount Sinai. (Reuters/Sharon Begley)
Lembaga Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja mengumumkan pada Senin (10/9) bahwa perespon dan penyintas (survivor) yang terpapar senyawa beracun dari reruntuhan gedung, yang menyalakan api selama tiga bulan, akan mendapat biaya pengobatan kanker atas dasar Undang-Undang Kesehatan dan Kompensasi Zadroga 9/11.
Undang-Undang tersebut, yang juga mencakup perespon dan penyintas serangan 9/11 di gedung Pentagon di luar Washington, disahkan oleh Presiden Barack Obama pada 2 Januari 2011.
Keputusan itu terkait kekhawatiran mengenai meningkatnya dampak kesehatan bagi pekerja tindakan darurat dalam serangan tersebut, ketika pesawat terbang menhantam menara kembar World Trade Center di New York dan pusat komando militer AS di Virginia selatan.
“Peraturan ini menandai langkah penting dalam upaya menyediakan perawatan dan pengobatan yang dibutuhkan oleh perespon dan penyintas 9/11,” ujar Dr. John Howard, pengelola program kesehatan World Trade Center (WTC) yang dibentuk oleh Undang-Undang.
“Sejak awal kami telah mendesak bahwa keputusan untuk mengikutsertakan kanker atau tidak harus berdasarkan sains,” ujar Walikota New York City, Michael Bloomberg, dalam pernyataan tertulis.
Keputusan tersebut “akan terus memastikan bahwa mereka yang jatuh sakit karena serangan 9/11 mendapatkan perawatan medis yang pantas dan dibutuhkan.”
Kesakitan terkait serangan 11 September telah menyebabkan sekitar 1.000 kematian. Minggu lalu, kantor pemadam kebakaran New York City mengukirkan sembilan nama lagi ke dinding peringatan untuk mengenang petugas pemadam kebakaran yang meninggal karena penyakit yang didapat setelah bekerja di Ground Zero. Total jumlahnya adalah 64 orang.
Jenis kanker yang dibiayai pengobatannya adalah kanker paru-paru, usus besar, payudara dan kandung kemih, leukemia, melanoma dan kanker anak-anak.
Program tersebut telah menutup biaya penyakit-penyakit pernafasan, seperti asma dan fibrosis paru, penyakit mental termasuk depresi dan stress pasca-trauma, serta kondisi tulang.
Namun para peneliti mengatakan bahwa perespon dan penyintas, termasuk pemilik usaha lokal dan warga setempat, terpapar campuran senyawa-senyawa kimia kompleks, termasuk yang menyebabkan kanker (karsinogen). Campuran tersebut termasuk produk-produk pembakaran dari 20.000 galon bahan bakar jet, 10.000 ton puing-puing organik, dan 100.000 galon minyak pembakaran dan solar.
Bahan bangunan yang hancur menghasilkan bahan beracun, yaitu debu semen, serat kaca, asbes, silika kristal, logam, hidrokarbon aromatik polisiklik, bifenil poliklorinasi, pestisida dan dioksin. “Semuanya berjumlah 287 bahan kimia atau kelompok senyawa kimia,” menurut laporan program kesehatan WTC.
Meski sejak awal para ilmuwan tahu bahwa perespon terpapar bahan kimia beracun, tidak jelas bahwa mereka dapat menyebabkan kanker.
Untuk banyak jenis kanker, waktu antara pemaparan terhadap bahan karsinogen dan timbulnya keganasan dapat mencapai 20 tahun atau lebih. Hal itu menimbulkan keraguan apakah kanker yang dideteksi bertahun-tahun setelah serangan memang disebabkan oleh paparan terhadap bahan kimia beracun tersebut.
Kesehatan para perespon pertama telah dimonitor secara seksama, menimbulkan pertanyaan apakah tingkat peningkatan kasus kanker karena pemeriksaan yang lebih detil, bukan benar-benar meningkat. Selain itu, data senyawa yang berpotensi menimbulkan kanker di udara sekitar WTC tidak dikumpulkan sampai empat hari setelah serangan terjadi.
“Tidak ada yang tahu sampai hari ini, apa yang ada di gumpalan asap tersebut,” ujar Dr. Michael Crane, direktur program kesehatan WTC di Fakultas Kedokteran Mount Sinai di New York City.
“Sangat sulit untuk mengevaluasi risiko paparan yang tidak diketahui. Kita tidak tahu apa yang orang-orang hirup.”
Yang lebih membingungkan lagi, tidak ada dari evaluasi besar yang dibuat pada 2006 dan 2007 yang menemukan “bukti epidemiologi untuk hubungan kausal antara 11 September 2001, paparan dan kanker,” jelas laporan program kesehatan WTC tahun lalu.
Akibatnya, program tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk menambahkan kanker pada daftar biaya kesehatan yang dibiayai pemerintah.
Apa yang berubah?
Pada 31 Maret, komite penasihat sains untuk program tersebut menulis pada Howard, mencatat bahwa 15 senyawa dalam asap, debu dan gas di situs WTC diklasifikasikan oleh Badan Internasional untuk Riset Kanker (IARC) sebagai pemicu kanker pada manusia.
Sebanyak 37 senyawa diklasifikasikan oleh Program Toksikologi Nasional AS sebagai “yang diantisipasi sebagai penyebab kanker pada manusia.”
Selain itu, penasihat sains tersebut mencatat bahwa banyak perespon dan penyintas memiliki tingkat radang yang tinggi, yang oleh penelitian terbaru dihubungkan dengan risiko kanker yang meningkat.
Untuk itu, mereka merekomendasikan program tersebut untuk membiayai pengobatan kanker yang memenuhi tiga kriteria: Kanker yang disebabkan oleh senyawa 9/11 apapun yang diklasifikasikan oleh IARC sebagai karsinogen terhadap manusia; kanker dengan tingkat radang yang tinggi; dan kanker yang disebut oleh studi epidemiologi menempatkan perespon pada risiko yang lebih tinggi daripada populasi umum.
Kategori terakhir termasuk multiple myeloma dan limfoma non-Hodgkins, yang dilaporkan ada dengan tingkat yang tinggi pada para petugas pemadam kebakaran New York City yang bekerja di situs WTC.
Keganasan yang disebabkan oleh senyawa-senyawa dalam puing-puing termasuk kanker sistem pernafasan, dari hidung ke paru-paru. Penyakit ini terkait dengan arsenik, asbestos, berilium, kadmium, kromium, nikel dan debu silika, yang semuanya terkandung dalam udara di WTC.
Kanker saluran tenggorokan, perut, usus besar, rektum dan hati telah dikaitkan dengan tetrakloroetilen, asbestos, timbal atau bifenil poliklorinasi, juga dalam gumpalan asap dan debu yang beracun.
Seorang perespon atau penyintas 9/11 yang mencari pengobatan untuk kondisi yang dibiayai harus mendapatkan ‘sertifikat’ dari dokter di salah satu pusat program kesehatan WTC, seperti di Mount Sinai. (Reuters/Sharon Begley)