Protes terus berlanjut di Myanmar setelah kudeta militer 1 Februari. Pada hari Rabu (10/2), Presiden AS Joe Biden mengumumkan bahwa dia memberlakukan sanksi baru terhadap para pemimpin militer negara itu, bisnis dan anggota keluarga mereka.
Sanksi itu merupakan tambahan dari yang sudah diterapkan mulai tahun 2017 untuk kekejaman terhadap minoritas Rohingya di Myanmar.
“Kami akan mengidentifikasi target putaran pertama minggu ini dan kami juga akan memberlakukan kontrol ekspor yang ketat. Kami membekukan aset Amerika yang bermanfaat bagi pemerintah Burma, sambil mempertahankan dukungan kami untuk perawatan kesehatan, kelompok-kelompok masyarakat madani, dan berbagai bidang lain yang secara langsung menguntungkan rakyat Burma. ”
Dengan ikatan ekonomi yang terbatas, dan sanksi yang sudah diberlakukan, pengaruh Amerika terhadap Myanmar menjadi terbatas. Tetapi, sanksi yang menarget junta itu yang sesuai dengan yang diberlakukan oleh sekutu-sekutu Amerika bisa efektif, menurut para analis.
BACA JUGA: AS Berlakukan Sanksi Terhadap Pemimpin Militer MyanmarGregory Poling adalah peneliti senior untuk Asia Tenggara di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) di Washington, D.C. “Mungkin bekerja sama dengan pihak lain, Jepang misalnya, yang merupakan pemain ekonomi yang lebih besar, Amerika dapat ikut sedikit mengubah analisis untung-rugi dan mendorong kompromi serta mengembalikan demokrasi. Tetapi salah jika kita berpikir bahwa kita akan menjatuhkan sanksi dan Min Aung Hlaing akan mengatakan, ‘Maaf, kami salah.’”
Washington bekerja dengan sekutu-sekutu regionalnya, termasuk Jepang, India, dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN, yang telah mengisyaratkan dukungan mereka untuk uluran tangan Amerika ke Myanmar.
Tai Wei Lim adalah peneliti di Institut Asia Timur, Universitas Nasional Singapura. Ia mengatakan, “Keterlibatan berkelanjutan, pencegahan isolasi Myanmar dan agar Amerika memainkan peran konstruktif dalam mencoba mencapai konsensus yang luas ini.”
Kudeta di Myanmar terjadi setelah adanya tuduhan terjadinya kemunduran demokrasi di wilayah tersebut, termasuk di Brunei, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Filipina. Mengatasi kemunduran tersebut di negara-negara itu dalam konteks persaingan strategis dengan China dipandang sebagai tantangan bagi pemerintah, seperti dikatakan oleh Robert Daly, direktur Institut Kissinger untuk China dan Amerika Serikat di lembaga riset Woodrow Wilson Center.
“Bagaimana kita akan berkompromi dan memainkan peran jangka panjang dan menjaga saluran tetap terbuka bahkan dengan rezim yang kita tidak setujui? Bagaimana kita bisa melakukan itu dan mundur dari deklarasi prinsip, untuk bersaing dengan China sambil tetap mengklaim bahwa dasar persaingan kita dengan China boleh dikatakan ideologis?,” ujar Daly.
Amerika telah dikritik sebagai munafik karena memberikan sanksi kepada negara-negara lain setelah pengepungan yang disertai kekerasan di gedung Capitol oleh para pendukung mantan Presiden Donald Trump yang secara keliru mengklaim pemilihan presiden AS dicurangi – dalih yang sama yang digunakan oleh militer Myanmar untuk kudeta.
Gregory Poling dari CSIS mengatakan, “Saya rasa sebelumnya tidak pernah seefektif ketika para pejabat Amerika pergi ke negara-negara di Asia Tenggara untuk berceramah, tetapi sekarang mereka akan ditertawakan.”
Your browser doesn’t support HTML5
Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan mengatakan ada dukungan bipartisan untuk sanksi terhadap Myanmar tetapi dia mengakui Amerika juga punya pekerjaan rumah di dalam negeri. “Menyatukan negara kita, merevitalisasi fondasi demokrasi kita sendiri, membangun lebih banyak persatuan, seperti yang dibicarakan oleh Presiden Biden – itu semua akan menjadi bagian penting dari kita yang beroperasi secara efektif di dunia.”
Para analis mengatakan beberapa sekutu mungkin mempertanyakan keputusan Amerika di kawasan itu, mengingat kebijakan luar negeri Washington bergeser dengan setiap pemerintahan baru. [lt/jm]