Para pejabat Amerika dan Israel mengadakan pembicaraan virtual pada hari Senin (1/4) mengenai rencana Israel untuk melakukan invasi darat ke Rafah di Gaza selatan untuk membasmi lebih banyak pejuang Hamas. Serangan ini ditentang oleh Amerika karena khawatir akan membahayakan lebih dari 1,3 juta warga Palestina yang berlindung di sana.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Minggu (31/3) mengatakan “tidak ada kemenangan tanpa memasuki Rafah dan tidak ada kemenangan tanpa melenyapkan batalyon Hamas di sana.” Netanyahu telah menyetujui rencana operasional militer untuk melakukan sebuah serangan.
Namun para pejabat AS, yang dipimpin oleh penasihat nasional Gedung Putih Jake Sullivan, berusaha meyakinkan para pejabat Israel bahwa ada cara lain untuk menetralisir unsur-unsur Hamas di Rafah tanpa melakukan invasi darat. Sebagian besar warga Palestina yang berlindung di wilayah tersebut diperintahkan untuk pindah ke sana oleh militer Israel untuk menghindari bentrokan di Gaza utara pada minggu-minggu awal konflik yang telah berlangsung selama enam bulan tersebut.
Israel mengatakan pihaknya akan melindungi warga Palestina dari peperangan baru di Rafah, yang terletak di utara perbatasan Gaza-Mesir, namun belum memberikan indikasi publik ke mana Israel akan memindahkan mereka.
BACA JUGA: Warga Israel Gelar Demonstrasi Anti-Pemerintah Terbesar Sejak Perang di GazaPerundingan tingkat tinggi AS-Israel terjadi seminggu setelah Netanyahu membatalkan perundingan sebagai protes atas kegagalan AS dalam memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera. AS abstain dalam pemungutan suara mengenai resolusi tersebut seminggu yang lalu, sehingga memungkinkan resolusi tersebut disahkan, setelah sebelumnya memveto resolusi serupa lainnya.
Setelah konferensi video yang aman pada hari Senin, AS mengatakan mereka mengharapkan “tim ahli” akan mengadakan pembicaraan lebih lanjut secara langsung.
AS telah menjadi sekutu setia Israel dalam perang melawan Hamas, yang memulai perang dengan serangan mengejutkan pada tanggal 7 Oktober terhadap Israel, menewaskan 1.200 orang dan menyandera sekitar 250 orang. Serangan balasan Israel di Gaza menurut kementerian kesehatan Gaza yang dikelola Hamas telah menewaskan lebih dari 32.700 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, meskipun militer Israel mengatakan sepertiga dari mereka yang tewas adalah militan.
Militer Israel pada hari Senin (4/1) mengatakan bahwa pasukannya mundur dari area Rumah Sakit Shifa di Gaza utara setelah menyelesaikan serangan di sana.
Penarikan tersebut terjadi dua minggu setelah pasukan Israel melancarkan operasi di rumah sakit terbesar di Gaza, menuduh komandan Hamas menggunakan lokasi tersebut untuk melakukan serangan teror.
Militer Israel mengatakan pihaknya membunuh 200 militan di dekat rumah sakit itu di mana militan melakukan pertempuran darat dan serangan-serangan udara.
Mayat ditemukan di dalam dan di luar kompleks rumah sakit ketika orang-orang kembali ke lokasi setelah tank dan pasukan Israel pergi.
Sebagian besar wilayah Gaza hancur akibat serangan Israel yang bertujuan mengalahkan kelompok teroris Hamas. Banyak warga Palestina yang berlindung di Rafah melakukan perjalanan ke sana dari wilayah lain di Gaza untuk mencari keselamatan.
Pimpinan WHO, Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus pada Minggu (31/3) dalam sebuah postingan di X mengatakan serangan udara Israel terhadap rumah sakit Al-Aqsa di Gaza menewaskan empat orang dan melukai 17 lainnya.
BACA JUGA: Perayaan Paskah di Gaza Diliputi Duka, Paus Fransiskus Serukan Gencatan SenjataTedros menyerukan diakhirinya serangan Israel terhadap rumah sakit di daerah kantong tersebut dan menyerukan “perlindungan terhadap pasien, petugas kesehatan, dan misi kemanusiaan.” Serangan terhadap sebuah tenda di dalam kompleks rumah sakit disaksikan oleh tim WHO. Tim itu sedang menjalankan misi kemanusiaan di sana, menilai kebutuhan dan mengumpulkan inkubator untuk bagian utara Gaza, tulis kepala WHO, sambil menambahkan: "Semua staf WHO selamat".
Ribuan orang berlindung di sekitar rumah sakit setelah pertempuran memaksa mereka meninggalkan rumah.
Di Israel pada hari Minggu, puluhan ribu pengunjuk rasa antipemerintah melancarkan protes selama tiga hari yang direncanakan di depan parlemen Israel di Yerusalem. Mereka menyerukan agar Israel membuat kesepakatan dengan Hamas untuk membebaskan puluhan sandera. Mereka juga menyerukan pengunduran diri Netanyahu dan untuk menggelar pemilu. Protes tersebut merupakan demonstrasi antipemerintah terbesar sejak Israel berperang di Gaza Oktober lalu.
“Bersama dengan tim perunding dan Kabinet, saya bekerja sepanjang waktu untuk membebaskan semua sandera,” kata Netanyahu pada konferensi persnya pada hari Minggu. “Saya melakukan ini sambil menyeimbangkan antara tekanan yang diperlukan terhadap Hamas dan fleksibilitas yang dimungkinkan dalam negosiasi.”
Netanyahu juga menolak seruan diadakannya pemilu, dengan mengatakan itu hanya akan menunda upaya pembebasan para sandera dan “melumpuhkan Israel selama enam bulan.”
Popularitas Netanyahu, yang sudah jatuh karena krisis peradilan dalam negeri di Israel, semakin merosot sejak 7 Oktober, dengan jajak pendapat berturut-turut menunjukkan daftar sejumlah pesaingnya jika pemilu akan diadakan.
Pertempuran di Gaza terus berlanjut meskipun Dewan Keamanan PBB pekan lalu mengeluarkan resolusi gencatan senjata yang juga menyerukan pembebasan semua sandera yang ditahan oleh kelompok militan tersebut.
Dengan perang yang hampir mencapai enam bulan, Amerika Serikat, Qatar dan Mesir telah berusaha menengahi gencatan senjata lainnya dan pembebasan sandera sejak satu-satunya pembebasan pada bulan November.
Netanyahu pada hari Jumat lalu setuju perundingan gencatan senjata dengan Hamas diadakan kembali.
Namun, Hamas tidak akan hadir pada perundingan di Kairo, kata seorang pejabat kepada kantor berita Reuters pada Minggu, karena Hamas menunggu jawaban dari mediator mengenai apakah ada pengajuan tawaran baru dari Israel. [my/ka]