Pemerintah Indonesia dan Amerika memperluas kerja sama bidang gas alam, khususnya 'shale gas'.
JAKARTA —
Direktur bidang Energi Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Robert Cekuta mengatakan Senin (6/5), Amerika Serikat sangat berminat bekerja sama dengan Indonesia dalam mengembangkan gas alam, khususnya shale gas, atau gas yang terbentuk dari serpihan batuan sedimen shale.
Ia optimis peluang pasar shale gas kedua negara akan terus meningkat dan terbuka peluang meningkatkan kerjasama perdagangan bidang energi terutama gas alam dan shale gas bagi kedua negara.
“Amerika memiliki gagasan untuk mengekspor shale gas ke Indonesia namun harus mempertimbangkan terlebih dahulu peraturan dan undang-undang yang berlaku di Amerika dan Indonesia serta peluang yang ada. Selain itu pemerintah Amerika sudah mengeluarkan izin beberapa fasilitas pengembangan shale gas, pemerintah Amerika juga sedang menampung komentar-komentar dari masyarakat Amerika tentang pengembangan shale gas,” ujarnya saat membuka lokakarya gas alam di Jakarta.
Selama tiga hari mulai Senin, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan pemerintah Amerika Serikat menyelenggarakan lokakarya mengenai perubahan pasar gas global dan pengembangan gas alam non-konvensional, seperti shale gas.
Cekuta menambahkan Amerika dan Indonesia akan terus bekerjasama meningkatkan penggunaan energi terbarukan melalui tiga syarat: Energi tidak merusak lingkungan, dapat meningkatkan perekonomian dan melalui peraturan berkesinambungan.
Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo menjelaskan, Indonesia belum mengetahui banyak mengenai shale gas sehingga butuh pihak asing untuk bekerja sama mengembangkannya.
“Perusahaan-perusahaan itu kita undang ke sini, jadi belum ada komitmen tapi yang jelas pengembangan itu dilaksanakan melalui tender-tender yang dilakukan oleh Dirjen Migas untuk area-area di dalam bentuk production sharing contract. Sekarang ini sudah ada kira-kira 54 production sharing contract, beberapa dari Amerika, ada Vetco, Exxon Mobil, kira-kira 75 perusahaan yang sudah melakukan aplikasi ke shale gas itu,” ujarnya.
Susilo menambahkan, pengembangan energi baru seperti shale gas sangat dibutuhkan di Indonesia karena produksi minyak mentah dalam negeri hanya mampu sekitar 800.000 barel per tahun sementara kebutuhan dalam negeri sekitar 1,4 juta barel per tahun sehingga Indonesia masih bergantung pada impor.
Ia optimis peluang pasar shale gas kedua negara akan terus meningkat dan terbuka peluang meningkatkan kerjasama perdagangan bidang energi terutama gas alam dan shale gas bagi kedua negara.
“Amerika memiliki gagasan untuk mengekspor shale gas ke Indonesia namun harus mempertimbangkan terlebih dahulu peraturan dan undang-undang yang berlaku di Amerika dan Indonesia serta peluang yang ada. Selain itu pemerintah Amerika sudah mengeluarkan izin beberapa fasilitas pengembangan shale gas, pemerintah Amerika juga sedang menampung komentar-komentar dari masyarakat Amerika tentang pengembangan shale gas,” ujarnya saat membuka lokakarya gas alam di Jakarta.
Selama tiga hari mulai Senin, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan pemerintah Amerika Serikat menyelenggarakan lokakarya mengenai perubahan pasar gas global dan pengembangan gas alam non-konvensional, seperti shale gas.
Cekuta menambahkan Amerika dan Indonesia akan terus bekerjasama meningkatkan penggunaan energi terbarukan melalui tiga syarat: Energi tidak merusak lingkungan, dapat meningkatkan perekonomian dan melalui peraturan berkesinambungan.
Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo menjelaskan, Indonesia belum mengetahui banyak mengenai shale gas sehingga butuh pihak asing untuk bekerja sama mengembangkannya.
“Perusahaan-perusahaan itu kita undang ke sini, jadi belum ada komitmen tapi yang jelas pengembangan itu dilaksanakan melalui tender-tender yang dilakukan oleh Dirjen Migas untuk area-area di dalam bentuk production sharing contract. Sekarang ini sudah ada kira-kira 54 production sharing contract, beberapa dari Amerika, ada Vetco, Exxon Mobil, kira-kira 75 perusahaan yang sudah melakukan aplikasi ke shale gas itu,” ujarnya.
Susilo menambahkan, pengembangan energi baru seperti shale gas sangat dibutuhkan di Indonesia karena produksi minyak mentah dalam negeri hanya mampu sekitar 800.000 barel per tahun sementara kebutuhan dalam negeri sekitar 1,4 juta barel per tahun sehingga Indonesia masih bergantung pada impor.