Kelompok-kelompok HAM mengatakan pemerintah AS telah mengecilkan persoalan serangan terhadap kelompok minoritas di Indonesia.
WASHINGTON —
Pemerintah Amerika Serikat memperlihatkan kekhawatiran Kamis (23/5) terhadap peningkatan serangan terhadap umat agama minoritas di Indonesia, namun kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh Washington mengecilkan persoalan itu karena ingin membina hubungan yang lebih kuat dengan Indonesia.
Laporan mengenai kekerasan dan diskriminasi terhadap umat Kristen dan sekte Islam Syiah dan Ahmadiyah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Komisi Tom Lantos untuk Hak Asasi Manusia, komisi bipartisan pada Kongres AS yang bertugas memonitor hak asasi manusia, mengadakan sidang di gedung Kongres untuk mengevaluasi situasi di Indonesia.
Salah satu ketua komisi tersebut, James P. McGovern, mengutip angka-angka dari lembaga nirlaba Indonesia yang memonitor kebebasan beragama, Setara Institute, yang menunjukkan bahwa ada 264 serangan dengan kekerasan terhadap kelompok minoritas agama pada 2012, naik dari 216 serangan pada 2010.
Pejabat senior Departemen Luar Negeri AS, Dan Baer, mengutarakan kekhawatiran akan serangan-serangan tersebut tanggapan pemerintah Indonesia yang tidak efektif, dengan mengatakan bahwa hal tersebut mengancam rusaknya reputasi Indonesia untuk toleransi beragama. Ia juga mengacu pada “tren yang mengkhawatirkan” dalam penutupan gereja-gereja, termasuk 50 gereja pada 2012, dan masjid-masjid Ahmadiyah. Ia menyerukan tindakan polisi yang lebih tegas dan reformasi hukum untuk memperlihatkan perlindungan terhadap semua minoritas.
Namun lembaga hak asasi manusia Human Rights Watch mengkritik tanggapan AS, dengan mengatakan bahwa pemerintah AS telah menolak mengakui secara publik apa yang oleh para pejabatnya diakui secara tertutup, bahwa penyiksaan terkait agama memburuk di Indonesia.
“Militan Islam semakin sering menggerakkan massa untuk menyerang kelompok minoritas agama dengan kekebalan hukum hampir total,” ujar John Sifton, direktur advokasi kelompok itu untuk Asia.
Minggu lalu, Departemen Luar Negeri AS meluncurkan laporan tahunan yang menyatakan bahwa rasa hormat pemerintah Indonesia untuk kebebasan beragama tidak berubah secara signifikan selama 2012.
“Hubungan AS dengan Indonesia sangat kuat, namun hubungan terkait hak asasi manusia kehilangan arti,” ujar T. Kumar, direktur advokasi internasional untuk Amnesty International USA.
Ia mendesak pemerintahan Obama untuk mengupayakan pembebasan lebih dari 70 tahanan politik dan penerbitan laporan pencarian fakta yang diperintahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kematian aktivis Munir Said Thalib karena diracun arsenik pada 2004.
Aktivis-aktivis hak asasi manusia menduga pemerintah Indonesia ingin menyimpan laporan itu karena dapat melibatkan intelijen Indonesia.
Pemerintah Obama telah memberi tekanan yang lebih pada kepentingan diplomasi dan keamanan di wilayah Asia Pasifik dan mengatakan perlindungan kebebasan individual adalah kunci kebijakannya. Sebagai bagian dari langkah ini, AS telah mempererat ikatan dengan Indonesia, yang ingin memiliki peran lebih menonjol di panggung dunia.
Bagian dari ikatan ini adalah perluasan kerja sama di antara dua militer. Pada 2010, AS mengembalikan beberapa bantuan untuk Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang dibekukan selama satu dekade karena catatan hak asasi manusianya.
Dan Baer mengatakan pelanggaran-pelanggaran oleh militer Indonesia tidak lagi tersebar luas, namun permintaan tanggung jawab untuk kekerasan yang dilakukan terbatas. Ia mengatakan AS dengan hati-hati mengamati bagaimana Indonesia menangani kasus-kasus 11 anggota Kopassus yang ditahan karena serangan di sebuah penjara pada Maret lalu, dimana empat narapidana tewas dibunuh.
Angkatan Darat Indonesia telah mengakui bahwa tentara ada di belakang pembunuhan yang dilakukan sebagai balas dendam atas pembunuhan seorang anggota Kopassus di sebuah kafe beberapa hari sebelumnya.
Pemerintah Indonesia menanggapi kritik mengenai catatan kebebasan beragamanya dengan mengatakan bahwa kerukunan beragama masih kuat, dan tidak adil untuk menggeneralisir semua serangan terhadap minoritas dihubungkan dengan intoleransi. (AP/Matthew Pennington)
Laporan mengenai kekerasan dan diskriminasi terhadap umat Kristen dan sekte Islam Syiah dan Ahmadiyah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Komisi Tom Lantos untuk Hak Asasi Manusia, komisi bipartisan pada Kongres AS yang bertugas memonitor hak asasi manusia, mengadakan sidang di gedung Kongres untuk mengevaluasi situasi di Indonesia.
Salah satu ketua komisi tersebut, James P. McGovern, mengutip angka-angka dari lembaga nirlaba Indonesia yang memonitor kebebasan beragama, Setara Institute, yang menunjukkan bahwa ada 264 serangan dengan kekerasan terhadap kelompok minoritas agama pada 2012, naik dari 216 serangan pada 2010.
Pejabat senior Departemen Luar Negeri AS, Dan Baer, mengutarakan kekhawatiran akan serangan-serangan tersebut tanggapan pemerintah Indonesia yang tidak efektif, dengan mengatakan bahwa hal tersebut mengancam rusaknya reputasi Indonesia untuk toleransi beragama. Ia juga mengacu pada “tren yang mengkhawatirkan” dalam penutupan gereja-gereja, termasuk 50 gereja pada 2012, dan masjid-masjid Ahmadiyah. Ia menyerukan tindakan polisi yang lebih tegas dan reformasi hukum untuk memperlihatkan perlindungan terhadap semua minoritas.
Namun lembaga hak asasi manusia Human Rights Watch mengkritik tanggapan AS, dengan mengatakan bahwa pemerintah AS telah menolak mengakui secara publik apa yang oleh para pejabatnya diakui secara tertutup, bahwa penyiksaan terkait agama memburuk di Indonesia.
“Militan Islam semakin sering menggerakkan massa untuk menyerang kelompok minoritas agama dengan kekebalan hukum hampir total,” ujar John Sifton, direktur advokasi kelompok itu untuk Asia.
Minggu lalu, Departemen Luar Negeri AS meluncurkan laporan tahunan yang menyatakan bahwa rasa hormat pemerintah Indonesia untuk kebebasan beragama tidak berubah secara signifikan selama 2012.
“Hubungan AS dengan Indonesia sangat kuat, namun hubungan terkait hak asasi manusia kehilangan arti,” ujar T. Kumar, direktur advokasi internasional untuk Amnesty International USA.
Ia mendesak pemerintahan Obama untuk mengupayakan pembebasan lebih dari 70 tahanan politik dan penerbitan laporan pencarian fakta yang diperintahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kematian aktivis Munir Said Thalib karena diracun arsenik pada 2004.
Aktivis-aktivis hak asasi manusia menduga pemerintah Indonesia ingin menyimpan laporan itu karena dapat melibatkan intelijen Indonesia.
Pemerintah Obama telah memberi tekanan yang lebih pada kepentingan diplomasi dan keamanan di wilayah Asia Pasifik dan mengatakan perlindungan kebebasan individual adalah kunci kebijakannya. Sebagai bagian dari langkah ini, AS telah mempererat ikatan dengan Indonesia, yang ingin memiliki peran lebih menonjol di panggung dunia.
Bagian dari ikatan ini adalah perluasan kerja sama di antara dua militer. Pada 2010, AS mengembalikan beberapa bantuan untuk Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang dibekukan selama satu dekade karena catatan hak asasi manusianya.
Dan Baer mengatakan pelanggaran-pelanggaran oleh militer Indonesia tidak lagi tersebar luas, namun permintaan tanggung jawab untuk kekerasan yang dilakukan terbatas. Ia mengatakan AS dengan hati-hati mengamati bagaimana Indonesia menangani kasus-kasus 11 anggota Kopassus yang ditahan karena serangan di sebuah penjara pada Maret lalu, dimana empat narapidana tewas dibunuh.
Angkatan Darat Indonesia telah mengakui bahwa tentara ada di belakang pembunuhan yang dilakukan sebagai balas dendam atas pembunuhan seorang anggota Kopassus di sebuah kafe beberapa hari sebelumnya.
Pemerintah Indonesia menanggapi kritik mengenai catatan kebebasan beragamanya dengan mengatakan bahwa kerukunan beragama masih kuat, dan tidak adil untuk menggeneralisir semua serangan terhadap minoritas dihubungkan dengan intoleransi. (AP/Matthew Pennington)