Militer Amerika pada Selasa (8/12) membantah laporan baru, dan menilainya "sepihak." Laporan itu menyebutkan bahwa korban sipil akibat serangan udara Amerika dan koalisi di Afghanistan melonjak ke tingkat tertinggi.
Laporan itu dirilis Senin oleh proyek "The Costs of War" pada Brown University. Kenaikan jumlah korban itu dikaitkan dengan keputusan pada tahun 2017 oleh pemerintahan Donald Trump untuk melonggarkan aturan keterlibatan dalam serangan udara terhadap Taliban. Lembaga itu mengklaim jumlah warga sipil Afghanistan yang tewas dalam serangan-serangan itu naik 330%.
"Kami tidak setuju pada analisis sepihak dalam laporan baru 'The Costs of War'. Laporan itu mengandalkan data yang disengketakan dan mengabaikan korban sipil akibat serangan Taliban dan ISIS," kata juru bicara militer Amerika, Kolonel Sonny Leggett.
BACA JUGA: Perang Afghanistan Tewaskan atau Membuat Cacat 26 Ribu Anak-anakLeggett menarik perhatian pada laporan triwulan terbaru PBB yang mengakui korban sipil Afghanistan akibat serangan udara Amerika "semuanya tewas" sejak 29 Februari, tanggal ketika Amerika mencapai perjanjian penarikan pasukan dengan Taliban.
"Laporan yang sama mengaitkan lebih dari 3.400 korban sipil dengan 'elemen anti-pemerintah', termasuk ISIS dan Taliban," katanya.
Proyek Costs of War mengatakan peningkatan serangan udara Amerika tampaknya diarahkan pada peningkatan tekanan terhadap Taliban untuk merundingkan perdamaian. Pada 2019 saja, serangan udara menewaskan 700 warga sipil - lebih banyak dibandingkan pada tahun-tahun lainnya sejak perang dimulai pada 2001 dan 2002, kata laporan itu. Namun, Amerika mengurangi jumlah serangan udara setelah menandatangani kesepakatan dengan Taliban dan mulai menarik pasukan dari Afghanistan untuk menghentikan apa yang disebut perang terlama Amerika.[ka/lt]