Secara tak terduga Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (the Office of United States Trade Representatives/USTR) pada 10 Februari lalu menerbitkan pemberitahuan yang mengeluarkan Indonesia dan sejumlah negara lain dari daftar negara berkembang.
Pencabutan ini hanya berselang tiga hari sebelum pertemuan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dengan USTR di Washington DC pada 13 Februari lalu. Dalam pertemuan itu, kedua pihak mengatakan pembicaraan soal fasilitas Generalized System of Preference (GSP) sudah selesai dan “semuanya baik-baik saja.”
Banyak pihak khawatir pencabutan status ini akan menimbulkan dampak signifikan pada neraca perdagangan Indonesia, terutama pada keringanan bea masuk sejumlah barang Indonesia yang dijamin dalam fasilitas GSP.
BACA JUGA: Maret, Kerja Sama Investasi Baru AS-Indonesia Siap DitekenNamun Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso dalam wawancara melalui telepon dengan VOA pada Selasa (25/2) pagi mengatakan Kedutaan Besar Amerika di Jakarta telah memastikan bahwa pencabutan status Indonesia dari daftar negara berkembang oleh USTR itu “hanya berdampak pada countervailing duty investigations dan bukan pada program Generalized System Preference (GSP).”
“Kami dari Kemenko Perekonomian dan Perdagangan sudah berkomunikasi dengan Kedubes AS di Jakarta, dan kemarin (24/2) kami sudah langsung menanyakan kepada Direktur USTR di Asia Pasifik dan Asia Tenggara, Karl Ehlers, dan memastikan lewat fax bahwa pencabutan ini tidak ada pengaruh dengan fasilitas GSP yang kita terima selama ini,” imbuh Susiwijono.
Indonesia selama ini menikmati fasilitas GSP yang diberikan pemerintah Amerika Serikat, dalam bentuk keringanan bea masuk bagi ribuan produk. Fasilitas ini diberikan secara terbatas bagi negara berkembang dan dievaluasi setiap periode waktu tertentu. Indonesia, bersama sejumlah negara lain yang dikategorikan sebagai negara berkembang, selama ini telah menggunakan fasilitas itu untuk berkompetisi di pasar Amerika.
Kemenko Perekonomian dalam pernyataan tertulis, Selasa (25/2), mengatakan pemerintah Amerika mendasarkan kebijakan mencabut Indonesia – dan beberapa negara lain – dari daftar negara berkembang karena dinilai telah masuk dalam ‘’klub ekonomi global, seperti G20, OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) atau yang diklasifikasikan sebagai negara berpendapatan tinggi oleh Bank Dunia.’’ Namun memastikan bahwa “pencabutan Indonesia dari daftar itu adalah dalam konteks countervailing duty investigations, bukan pada GSP.”
BACA JUGA: Pemerintah AS Berkomitmen Selesaikan Masalah GSP dengan Indonesia SecepatnyaCountervailing duty adalah pengenaan bea masuk tambahan untuk menetralisir dampak dari barang impor yang mendapat subsidi.
Pengamat Ekonomi Nilai Ini Hanya Soal Waktu
Meskipun demikian pengamat ekonomi di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira Adhinegara mengatakan kepada VOA bahwa ini hanya soal waktu.
"GSP ini kan mengatur soal fasilitas perdagangan bagi negara yang kurang berkembang dan negara berkembang. Pencabutan dari daftar negara berkembang artinya akan berpengaruh pada evaluasi pemberian fasilitas GSP," ujar alumnus Universitas Gadjah Mada UGM Yogyakarta ini.
Bima menambahkan tidak menutup kemungkinan fasilitas GSP akan direvisi dan Indonesia tidak mendapat fasilitas itu lagi.
"Ini memang konsekuensi jika kita sudah bukan lagi negara berkembang,’’ ujarnya.
Lebih jauh Bima mengungkapkan sedikitnya dua motif yang membuat USTR mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang.
Pertama, imbuh Bima, defisit perdagangan AS dan Indonesia yang cukup lebar, yaitu mencapai $9,5 miliar pada 2019. Rinciannya, total nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai $17,6 miliar. Sebaliknya, impor dari AS ke Indonesia hanya sekitar $8,09 miliar.
"Artinya, surplus yang diperoleh Indonesia atas Amerika tidak sejalan dengan visi Presiden Trump untuk menurunkan defisit perdagangan terhadap mitra dagangnya,” papar Bima.
Hal kedua, ujar Bima, permohonan USTR kepada Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) untuk mencabut Indonesia dari daftar negara berkembang bertujuan untuk melarang negara-negara yang dikategorikan negara maju melakukan praktik subsidi atau proteksi terhadap pasar domestiknya.
BACA JUGA: Mahendra Ditugaskan Selesaikan Isu Perdagangan dengan Uni Eropa, AS"Implikasi lainnya cukup banyak. Memang pencabutan Indonesia dari daftar negara berkembang tidak akan secara langsung berdampak pada GSP, tetapi tentunya tidak mungkin Amerika menggunakan standar ganda di mana Indonesia sudah maju tetapi masih menikmati fasilitas GSP di Amerika. Jadi kemungkinan besar, cepat atau lambat akan terjadi revisi GSP,” ujar Bima.
Gaya Kepemimpinan Trump
Hal senada disampaikan Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional di Universitas Indonesia.
Hikmahanto menilai pencabutan Indonesia dari daftar negara berkembang ini karena adanya kekhawatiran pemerintah AS bahwa Indonesia “dengan status sebagai negara berkembang telah dimanfaatkan oleh investor dari negara-negara maju sebagai tempat produksi, agar barang yang diekspor dari Indonesia mendapat perlakuan istimewa dari Amerika mengingat barang itu made-in-Indonesia.’’
Hikmahanto mengatakan Amerika tentu merasa dirugikan oleh praktik-praktik ini, “terlebih jika disinyalir ada penyimpangan yang dilakukan para pelaku usaha Indonesia yang memperjualbelikan certificate of origin atau sertifikat asal barang dari Indonesia ke pelaku usaha negara lain.”
Faktor lain yang menurut Hikmahanto harus dipahami Indonesia adalah gaya kepemimpinan Presiden Amerika Donald Trump yang inward looking dan senantiasa ingin mengutamakan keuntungan bagi warga Amerika sendiri, antara lain memastikan lebih banyak lapangan pekerjaan dan memperkecil defisit perdagangannya. [em/ft]