AS menolak laporan organisasi HAM, Amnesty International, yang menuduh Israel menjalankan sistem apartheid yang menindas rakyat Palestina. Pejabat Palestina menyambut baik laporan itu, dan menyebut sistem yang berlaku saat ini lebih parah daripada sistem apartheid yang dulu berlaku di Afrika Selatan.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden menolak laporan Amnesty International yang mengklaim Israel telah menjalankan “sistem penindasan dan dominasi” terhadap warga Palestina sejak berdirinya Israel tahun 1948, yang memenuhi definisi internasional tentang sistem apartheid.
Pandangan itu semakin kuat dalam satu dekade terakhir semenjak proses perdamaian terhenti, karena Israel telah mengonsolidasikan kendalinya atas wilayah-wilayah pendudukan dan semakin antipati terhadap gagasan pembentukan negara Palestina.
Pada hari Rabu (22), Departemen Luar Negeri AS menolak laporan sebanyak 278 halaman tersebut.
Juru bicara Deplu AS Ned Price mengatakan, “Kami menolak pandangan bahwa tindakan Israel tergolong apartheid. Laporan kementerian kami sendiri tidak pernah menggunakan istilah itu. Kami berkomitmen untuk menggalakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Israel, Tepi Barat dan Jalur Gaza.”
AS mengaku memiliki kemitraan yang baik dengan Israel, di mana kedua pihak saling berdiskusi mengenai isu-isu HAM. Amerika juga mengaku terus menekankan kepada Israel dan Otoritas Palestina untuk menahan diri dari tindakan sepihak yang dapat memperburuk ketegangan, termasuk pencaplokan wilayah, pembangunan permukiman, penghancuran, penghasutan kekerasan hingga pemberian kompensasi kepada individu yang dipenjara karena tindak terorisme.
Sebelum laporan tersebut dirilis, pada Senin (31/1), Israel meminta kelompok HAM internasional yang bermarkas di London itu untuk tidak menerbitkan laporan tersebut. Israel menyebut kesimpulan laporan itu “bohong, bias dan antisemit.” Para pejabat Israel mengatakan mereka tidak diajak berkonsultasi atau diberi kesempatan untuk membantah tuduhan dalam laporan itu.
Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid mengatakan, “Dulu Amnesty (International) adalah organisasi yang disegani. Sekarang tidak demikian. Sekarang justru sebaliknya, Amnesty bukanlah organisasi HAM, tapi hanya organisasi radikal yang menggaungkan propaganda, tanpa dengan serius memeriksa fakta yang ada. Alih-alih mencari kebenaran, Amnesty justru menggemakan kebohongan yang sama yang disuarakan organisasi teroris.”
Lapid lantas menyebut satu-satunya alasan Amnesty menuduh negaranya apartheid karena Israel merupakan negara Yahudi, karena Amnesty diklaimnya tidak menyebut negara lain yang telah menghabisi nyawa warganya sendiri, seperti Suriah dan Iran, sebagai negara apartheid.
Lapid juga menuturkan bahwa Israel telah memprediksi akan adanya peningkatan upaya untuk mencap negaranya sebagai negara apartheid di badan-badan internasional dan berharap dapat mencegah itu semua.
Amnesty International menyerukan Mahkamah Kriminal Internasional untuk menyelidiki Israel.
Sebagaimana beberapa organisasi HAM lainnya, Amnesty International menuduh Israel memberlakukan sistem apartheid dan kebijakan segregasi, perampasan dan pengucilan. Laporan itu tidak membedakan mana Israel, Tepi Barat, atau Jalur Gaza, yang telah dikuasai Israel sejak tahun 1967 tetapi belum dicaplok.
Laporan itu menyerukan kepada masyarakat internasional untuk berhenti memasok senjata dan bantuan ekonomi kepada Israel, juga meminta Mahkamah Kriminal Internasional untuk menyelidiki kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah dilakukan Israel dan Hamas dalam konflik di antara mereka.
Pejabat-pejabat Palestina di Tepi Barat dan Gaza menyambut baik laporan itu. Juru bicara pemerintahan Palestina, Ibrahim Milhim, berharap negara-negara lain dan PBB mengadopsi laporan tersebut, menghentikan bantuan bagi Israel, dan berupaya meraih keadilan bagi rakyat Palestina.
“Laporan Amnesty International adalah salah satu laporan HAM yang paling adil bagi rakyat Palestina dan (salah satu) yang paling berani dalam memantau sistem brutal yang rasis yang dialami rakyat Palestina. Laporan tersebut memantau semua segi sistem apartheid secara terperinci yang melampaui sistem apartheid di Afrika Selatan,” kata Ibrahim Milhim.
Sedangkan juru bicara Hamas di Gaza, Hazem Qassem, mengatakan dalam pandangannya, laporan itu mencerminkan realita kehidupan warga Palestina.
Qassem mengatakan Hamas menghargai dan menghormati laporan yang menurutnya menunjukkan kebijakan Israel untuk memperluas permukiman dan menyita lahan di Tepi Barat, serta mengepung Jalur Gaza.
Your browser doesn’t support HTML5
Seorang pengacara dari LSM Monitor, lembaga penelitian sayap kanan di Yerusalem, Anne Herzberg, mengatakan, “Pada dasarnya laporan Amnesty International, dan esensi dari laporan itu, untuk mempertanyakan kembali legitimasi pendirian Israel. Apartheid adalah istilah hukum yang berasal dari kebijakan dan praktik di Afrika Selatan yang berakhir pada tahun 1990-an, dan hal ini disematkan pada Israel untuk merendahkan Zionisme dan menyerang legitimasi Israel.”
Pada Selasa (1/2), dalam konferensi pers yang digelar di Yerusalem, kepala Amnesty International, Agnes Callamard” mengatakan bahwa kesimpulan dari laporannya “mungkin mengejutkan dan menggelisahkan, dan seharusnya begitu.”
“Ini merupakan kunjungan pertama saya ke Israel Palestina dan saya harus bilang bahwa ini membuat saya amat sangat terkejut. Mengapa? Bukan karena tindak kekerasan – saya pernah melihat tindak kekerasan sebelumnya, tapi karena kekejaman sistem, pengaturan yang rumit dan terus berkembang atas kendali, perampasan dan ketidaksetaraan. Birokratisasi yang luar biasa terperinci yang menjadi dasar sistem itu, banalitas dan terkadang keabsurdannya yang membuat saya tercengang,” tandas Agnes Callamard.
Amnesty International adalah organisasi hak asasi manusia terkemuka, dan para analis mengatakan laporan itu dapat merusak reputasi Israel di mata dunia.
BACA JUGA: Amnesty International Tuduh Israel Pertahankan Kebijakan ApartheidAmnesty International menolak kritik Israel, dan mengatakan laporannya didasarkan pada analisis hukum dan penelitian yang ekstensif. [rd/ka]