Pandemi membawa banyak konsekuensi. Sektor pariwisata, sebagaimana sektor lain, tidak bisa sembuh seketika. Dalam proses menuju normal, Asia-Pasifik cukup menjanjikan sebagai pasar, tetapi sekaligus menghadirkan pesaing kuat.
CEO Pacific Asia Travel Association (PATA) Purnomo Siswoprasetjo mengakui kondisi normal belum tercapai. Pasca pandemi, masih banyak jalur penerbangan yang terpengaruh. Selain itu, kebijakan negara-negara menyangkut kemudahan warganya untuk melakukan perjalanan ke luar negeri juga bervariasi.
Karena berbagai kendala, kawasan terdekat Indonesia saat ini harus dipandang sebagai potensi terbesar wisatawan. Setidaknya, data dua tahun terakhir membuktikan hal itu, seperti disampaikan Purnomo.
“Dari data yang kami peroleh, jadi ini memang pemasaran kita di pasar Asia-Pasifik ini cukup besar sejak tahun 2020 dan 2021. Menurut data BPS, ini terjadi pertumbuhan 90 persen wisatawan yang masuk ke Indonesia, itu berasal dari Asia-Pasifik,” kata Purnomo, dalam diskusi Rethinking Tourism, yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ASITA, Gipi, Astindo, PHRI dan PATA, Jumat (23/9) petang.
Bulan Juli 2022, Indonesia sudah dikunjungi lebih dari 400 ribu wisatawan, dan mayoritas berasal dari Asia-Pasifik. Pasar mulai menggeliat sejak Bali dibuka kembali untuk wisatawan pada Oktober 2021.
Sektor pariwisata, lanjut Purnomo, membutuhkan analisis pasar dan upaya pemasaran yang lebih konprehensif. Promosi diperlukan terutama untuk paket-paket menyeluruh yang disusun oleh agen perjalanan.
“Jadi, tidak hanya mengandalkan digitalisasi atau online saja, sekarang trennya wisatawan akan mengurangi untuk mengambil paket yang sepotong-sepotong. Memilih berwisata dalam satu paket yang lengkap,” tambahnya.
Purnomo yakin, pada 2023 dan 2024, pasar Asia-Pasifik akan sangat menjanjikan. Wisatawan dari Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina, akan tumbuh dengan baik, dengan catatan ada kerja sama baik antara agen perjalanan, penyedia akomodasi, perusahaan penerbangan, media dan pemerintah.
Laos Jadi Ancaman
Kawasan ASEAN menerima kunjungan wisatawan dari luar wilayah sebanyak 51,7 juta orang pada 2019, dan kemudian anjlok pada 2020 menjadi hanya 9,19 juta wisatawan. Jika ditotal, negara-negara di kawasan ini memiliki sekitar 600 juta penduduk. Bagi Indonesia, setidaknya itu bermakna potensi wisatawan sekitar 350 juta orang dari negara-negara tetangga.
Sejauh ini, Indonesia cukup menjadi primadona dengan duduk di peringkat 32 sebagai tujuan wisata dalam indeks pariwisata dunia.
Namun, perlu diwaspadai negara yang agresif membangun sektor pariwisatanya di kawasan ini, seperti Laos, yang saat ini masih duduk di peringkat 93 dunia. Penduduk Laos kurang dari 7 juta orang, tetapi negara ini dikunjungi lebih 4 juta wisatawan asing setiap tahunnya.
Duta Besar Indonesia untuk Laos, Dr Pratito Soeharyo, mengingatkan Laos penting untuk diperhatikan karena mereka memiliki akses kereta api menuju China.
“Sebentar lagi, dalam rangka Belt and Road Initiative dari China, itu sudah sampai ke Laos dan segera akan masuk ke Thailand, masuk ke Malaysia dan akhirnya ke Singapura. Ini harus kita perhitungkan bagi mereka, para pengelola travel agent di Indonesia,” kata Pratito.
Dalam waktu lima tahun ke depan, pola perjalanan wisatawan di kawasan tersebut mungkin akan berubah. Industri wisata Indonesia harus bersiaga agar mampu memanfaatkan perubahan.
Jalur kereta itu akan menjadikan Laos, khususnya kota Luang Prabang, menjadi hub wisata terkemuka di kawasan. Luang Prabang saat ini dikunjungi setidaknya 2 juga wisatawan asing setiap tahun.
“Perlu dipikirkan, ada penerbangan langsung dari Denpasar ke Luang Prabang, karena kota ini sekarang sudah terhubung dengan China, dengan kereta api semi cepat. Apabila diadakan penerbangan langsung, maka akan menjadikan Bali menjadi hub,” paparnya.
Masalahnya adalah tingginya harga tiket angkutan udara dari kawasan Indochina ke Indonesia, yang butuh jalan keluar. Dalam skala lokal, Pratito bahkan menyebut harga tiket penerbangan Indonesia, jauh lebih mahal dibanding tiket operator lokal kawasan seperti Thailand dan Vietnam.
“Dari segi angkutan udara ini, perlu dipikirkan juga agar Indonesia bisa ikut bermain di kancah regonal. Khususnya menarik wisatawan dari ASEAN untuk masuk ke Indonesia,” tambahnya.
BACA JUGA: Nepal van Java: Pariwisata yang Mengubah Wajah DesaIndonesia Terus Bergerak
Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenparekraf, Henky Hotma Parlindungan Manurung, menyebut sektor pariwisata telah bergerak positif tahun ini.
“Tujuh puluh persen biro perjalanan wisata pada tahun 2022 telah beroperasi kembali, yang sebelumnya pada tahun 2020 hampir 50 persen tidak beroperasi. Hal ini juga sejalan dengan peningkatan jumlah penumpang angkutan udara domestik, periode Januari hingga Mei 2022, di mana terjadi kenaikan 63,13 dibandingkan periode sama tahun 2021,” kata Henky.
Kemenparekraf mencatat, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada Juli 2022, adalah 476.970 orang, dan merupakan pencapaian tertinggi sejak pandemi COVID 19. Semenara periode Januari hingga Juli 2022, jumlah totalnya mencapai 1,2 juta orang, atau meningkat 15 kali lipat dibanding periode sama tahun lalu.
Pemicunya, antara lain adalah kebijakan visa on arrival di Bali, dan penambahan rute penerbangan internasional langsung ke destinasi pariwisata.
Organisasi Pariwisata PBB, UNWTO mengatakan, tahun ini performa sektor pariwisata bisa mencapai 70 persen dari situasi normal sebelum pandemi.
Your browser doesn’t support HTML5
Indonesia berada dalam fase yang tepat untuk memikirkan kembali, konsep pariwisata ke depan. Wamenparekraf Angela Tanoesoedibjo dalam diskusi ini menyebut saat ini adalah kesempatan merefleksikan kembali pariwisata seperti apa yang ingin dibangun Indonesia ke depan.
“This is the time, to rethinking tourism. Apa kita mau kembali kepada pariwisata yang rentan terhadap bencana. Saya yakin jawabannya tidak,” kata dia.
Memikirkan kembali konsep wisata menjadi penting, karena pariwisata Indonesia di tengah situasi tidak menentu dunia.
“Kita sedang menghadapi era VUCA, atau volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity. Kabar baiknya, para expert telah merumuskan sebuah framework agar kita bisa mewujudkan pariwisata yang lebih resilien ke depannya, yaitu dengan framework ESG, environmental, social and governance,” tambah Angela.
ESG adalah konsep pariwisata yang ramah lingkungan, mendukung inklusi sosial dan budaya, serta tatanan pariwisata yang kokoh dan berkelanjutan.
Angela memastikan, Kemenparekraf konsisten mendukung penguatan ekosistem berkelanjutan dan tangguh, dengan pendekatan pembangunan yang berpusat pada masyarakat. Adaptasi, inovasi dan kolaborasi bersama semua pemangku kepentingan menjadi kunci. [ns/ah]