Asuransi Iklim Kurangi Dampak Gagal Panen Bagi Petani

  • Nurhadi Sucahyo

Sejumlah Petani Dataran Tinggi Dieng Mengangkut Kentang Hasil Panen Mereka (foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Cuaca yang tidak menentu merupakan salah satu faktor risiko bagi sektor pertanian di Indonesia. Dibutuhkan skema asuransi khusus untuk mengatasi hal ini.

Bagi Rohmat Hidayat, petani di dataran tinggi Dieng, Banjarnegara, bulan Agustus selalu dihadapi dengan perasaan waswas. Bagaimana tidak, ini adalah bulan terdingin setiap tahunnya. Suhu bisa turun hingga 0 derajat celcius di sepanjang puncak dataran tinggi di Jawa Tengah itu. Ketika suhu dingin datang, setiap pagi embun akan menjadi es di pucuk-pucuk daun. Tanaman pun mati dalam beberapa hari, setelah daunnya membeku. Petani setempat menyebutnya embun upas, atau embun yang membawa racun kematian.

Kepada VOA, Rohmat bercerita Agustus tahun ini sepertinya embun upas akan datang kembali. Dalam beberapa hari terakhir, tanda-tandanya sudah terlihat. Suhu pagi hari begitu dingin, dan sebagian tanaman sudah terlihat terserang embun upas. Terutama tanaman yang berada di lahan datar, yang tidak banyak terkena embusan angin ketika malam. Tanaman di lereng perbukitan atau lahan miring masih relatif aman. Pertengahan Agustus tahun ini, suhu nampaknya akan jauh lebih dingin dan potensi gagal panen akibat embun upas ada di depan mata.

Your browser doesn’t support HTML5

Asuransi Iklim Kurangi Dampak Gagal Panen Bagi Petani

“Kalau dulu, tidak berani menanami lahan. Kalau sudah masuk bulan Agustus, kentang itu tidak tahan, carica (sejenis papaya lokal-red) juga tidak tahan terhadap embun beku. Kalau terkena embun ini akan mati. Tapi kalau tidak ditanami sama sekali, ya petani sama sekali tidak panen. Jadi memang masalah. Padahal tadi malam saja sudah terlihat tanda-tanda embun ini datang, lahan yang terkena memang belum terlalu luas, karena ini baru akhir Juli,” ujar Rohmat Hidayat.

Pemerintah memiliki program untuk melindungi petani dari bencana semacam ini melalui asuransi pertanian. Program yang digagas sejak 2014 ini memberi jaminan pengembalian modal tanam bagi petani. Preminya dibayar oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan petani sendiri. Dengan skema itu, petani hanya menanggung 20 persen dari nilai premi.

Agus Subagyo ketua organisasi tani Omah Tani Sleman mengaku program ini berjalan baik, terutama di daerah binaan lembaga ini di Yogyakarta. Bantuan premi dari pemerintah meringankan petani. Sosialisasi dari Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) juga cukup intensif. Respons petani cukup besar, apalagi untuk setiap 1 hektar lahan yang gagal panen, besarnya biaya klaim mencapai Rp 6 juta. Bagi petani yang bekerja satu masa panen selama 3-4 bulan, angka itu cukup membantu. Masalahnya, skema ini berlaku untuk keadaan bencana alam atau puso saja.

Seorang Petani di Dataran Tinggi Dieng Menyemprot Tanaman Kentang (foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

“Kalau ada bencana sehingga panen gagal atau pemerintah daerah menyatakan suatu kawasan terlanda puso, baru bisa melakukan klaim asuransi. Kalau mau dibilang kelemahan, ya ini kelemahannya. Belum ada ketentuan yang menyangkut soal iklim. Padahal isu dunia sekarang ini adalah perubahan iklim. Bagaimana petani bisa ditolong jika terdampak perubahan iklim ini? Atau untuk kasus saudara kita petani di Dieng, saya yakin asuransi petani ini tidak berlaku karena ini. Jadi mungkin perlu skema tersendiri,” papar Agus Subagyo.

Sebuah tim mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, belum lama ini melakukan penelitian di kawasan Dieng untuk membantu petani mengatasi masalah ini. Beberapa jalan keluar yang ditawarkan adalah penggunaan mesin kipas angin untuk mengusir embun agar tidak hinggap di pucuk daun. Solusi kedua adalah pemakaian jaring plastik pada ketinggian 50 cm dari atas tanah. Namun, mahasiswa juga menawarkan solusi lain, yaitu skema asuransi iklim.

Aditya Pradana, ketua tim penelitian mahasiswa UGM kepada VOA mengatakan, skema ini bersandar pada cuaca, dan bukan bencana alam atau keadaan puso. Karena faktor suhu berpengaruh terhadap tanaman milik puluhan ribu petani di dataran tinggi Dieng, maka klaim otomatis bisa diajukan jika suhu mencapai kisaran tertentu. Aditya mencontohkan, dalam penghitungan awal, jika suhu turun hingga di bawah 5 derajat Celsius, otomatis tanaman petani akan mati. Dengan begitu, perusahaan asuransi tidak perlu melakukan verifikasi kebencanaan atau menunggu pernyataan pemerintah daerah, tetapi cukup melihat alat pengukur suhu udara.

“Karena selama ini para petani memang selalu mengalami kerugian jika embun ini datang. Ibaratnya, mereka sudah menanamkan modal di lahan pertanian, kemudian ternyata embun datang. Nah, kemudian mereka rugi total, padahal modal yang mereka pakai untuk menanami lahan itu biasanya berasal dari pinjaman. Jadi, para petani harus mencari pinjaman lagi untuk membayar pinjaman pertama dan juga menanami kembali lahannya setelah embun tidak lagi datang. Jadi harapan kami, asuransi iklim ini bisa membantu para petani, yang modal tanamnya mayoritas dipinjam dari koperasi atau bank,” ujar Aditya Pradana.

Dalam sosialisasi awal, kata Aditya, petani Dieng menyambut positif skema asuransi hasil penelitian mahasiswa UGM ini. Dalam perhitungan awal, setiap tahun petani akan membayar Rp 2,4 juta dan dapat dibayarkan sebanyak 4 kali cicilan, atau Rp 600 ribu setiap satu masa tanam. Untuk nilai itu, setiap kali gagal panen, petani akan memperoleh ganti rugi hingga Rp. 10 juta untuk setiap masa panen. Penelitian ini masih menunggu respons pemerintah untuk penerapannya. Namun diyakini, skema ini lebih pasti dan lebih membantu petani menghadapi perubahan iklim yang kian tidak menentu. [ns/uh]