Atheis Seluruh Dunia Hadapi Penyiksaan, Diskriminasi

Alexander Aan, 30, seorang atheis dari Sumatra Barat yang dihukum penjara dengan salah satu dakwaan menyebarkan kebencian terhadap agama. (Foto: Dok)

Sebuah laporan lembaga HAM menunjukkan bahwa mereka yang atheis atau bukan pemeluk agama menghadapi penyiksaan dan diskriminasi di dunia.
Mereka yang atheis atau skeptis terhadap agama mengalami penyiksaan atau diskriminasi di banyak tempat di dunia, dan di paling tidak tujuh negara dapat dihukum mati jika kepercayaannya diketahui, menurut laporan yang diluncurkan Senin (10/12).

Studi dari Serikat Humanis dan Etis Internasional (IHEU) menunjukkan bahwa “bukan pemeluk kepercayaan” di negara-negara Islam menghadapi perlakuan keras, terkadang brutal, dari negara dan pemeluk agama resmi.

Namun laporan ini juga memperlihatkan kebijakan-kebijakan di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat yang berpihak pada umat beragama dan organisasi mereka dan memperlakukan ateis dan humanis sebagai orang luar.

Laporan berjudul “Kebebasan Berpikir 2012” tersebut menyatakan “ada undang-undang yang menyangkal hak para atheis untuk eksis, mengekang kebebasan keyakinan dan ekspresi mereka, mencabut hak kewarganegaraan mereka, dan membatasi hak mereka untuk menikah.”

Peraturan lain “menghalangi akses mereka terhadap pendidikan publik, melarang mereka bekerja di kantor publik, mencegah mereka bekerja untuk negara, mengkriminalisasi kritikan mereka terhadap agama, dan mengeksekusi mereka karena meninggalkan agama para orangtua mereka.”

Laporan tersebut disambut baik oleh Heiner Bielefeldt, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai kebebasan agama atau keyakinan, yang mengatakan dalam pengantar singkat bahwa kesadaran bahwa atheis dilindungi oleh persetujuan hak asasi manusia itu sangat kurang.

IHEU, yang terhubung dengan 120 organisasi humanis, atheis dan sekuler di lebih dari 40 negara, mengatakan laporan tersebut diluncurkan untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia PBB pada 10 Desember.

Menurut survei yang dilakukan lembaga tersebut di sekitar 60 negara, tujuh negara yang menghukum mati pemeluk atheis adalah Afghanistan, Iran, Maladewa, Mauritania, Pakistan, Arab Saudi dan Sudan.

Laporan berisi 70 halaman tersebut tidak memasukkan kasus-kasus terbaru terkait eksekusi karena atheisme, namun para peneliti mengatakan pelanggaran seringkali dimasukkan ke dakwaan lain.

Di beberapa negara lain, seperti Bangladesh, Mesir, Indonesia, Kuwait dan Yordania, penerbitan pandangan atheis atau humanis mengenai agama dilarang atau sangat dibatasi di bawah undang-undang yang melarang “penghinaan terhadap agama.”

Di banyak negara seperti ini, dan juga lainnya seperti Malaysia, warga harus mendaftarkan agama mereka dari sedikit agama yang diakui secara resmi oleh negara, yang biasanya hanya menyertakan Kristiani, Judaisme dan Islam.

Atheis dan humanis kemudian terpaksa berbohong untuk mendapatkan dokumen resmi karena tanpanya akan sulit masuk universitas, mendapat perawatan medis, bepergian ke luar negeri atau mengendarai kendaraan bermotor.

Eropa, Sub-Sahara Afrika dan Amerika Utara serta Amerika Latin, negara-negara yang mengidentifikasi diri sebagai sekuler, memberi keistimewaan atau keberpihakan pada gereja-gereja Kristen dalam menyediakan pendidikan dan layanan publik lain, ujar IHEU.

Di Yunani dan Rusia, Gereja Ortodoks sangat dilindungi dari kritikan dan diberi tempat yang terhormat dalam acara-acara negara, sementara di Inggris, uskup Gereja Inggris mendapat kursi otomatis di parlemen tingkat tinggi.

Sementara kebebasan beragama dan berbicara dilindungi di Amerika Serikat, laporan tersebut menyatakan bahwa iklim sosial dan politik yang berlaku “membuat atheis dan orang yang tidak memeluk agama merasa bukan warga Amerika seutuhnya, atau non-Amerika.”

Di paling tidak tujuh negara bagian, undang-undang melarang atheis bekerja untuk kantor pemerintahan dan satu negara bagian, yaitu Arkansas, memiliki peraturan yang melarang atheis bersaksi di pengadilan, menurut laporan tersebut. (Reuters/Robert Evans)