Pemerintah bersiap melarang penggunaan dolar secara domestik untuk membangun kepercayaan atas rupiah, dan hal itu mungkin berhasil untuk melepaskan dolar dari tangan masyarakat. Tapi banyak dari manfaat reformasi tersebut akan hilang karena masyarakat masih menghitung dengan dolar.
Banyak perusahaan mengatakan mereka masih secara efektif tersandera perputaran dalam rupiah yang tidak stabil setelah aturan baru tersebut berlaku bulan Juli, dan tekanan-tekanan inflasi dapat muncul saat perusahaan-perusahaan mencoba membangun penyangga untuk menangkis hilangnya kepastian dolar.
Ketidakpercayaan atas rupiah, mata uang dengan kinerja terburuk di antara pasar-pasar baru Asia tahun ini, mengakar dalam sebuah ekonomi dimana suku bunga yang tinggi dan sejarah hiper-inflasi telah mendorong perusahaan-perusahaan untuk meminjam dalam dolar dan juga membuat tagihan dalam dola untuk banyak barang dan jasa lokal.
Sekitar 20 persen dari gedung perkantoran di Jakarta meminta pembayaran sewa dalam dolar, misalnya, dan Bank Indonesia memperkirakan sekitar 10 persen transaksi domestik dilakukan dalam dolar, mencapai US$6 miliar setiap bulan.
Mewajibkan penggunaan rupiah untuk kontrak-kontrak yang berlaku mulai 1 Juli akan melepaskan beberapa tekanan pada mata uang dengan mengurangi sejumlah kecil permintaan dolar. Namun banyak usaha lokal mengatakan mereka masih akan bernegosiasi dan menetapkan harga dalam dolar, kemudian membayar atau menerima pembayaran dalam rupiah.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menagih para pelanggan dalam rupiah, namun BUMN tersebut memerlukan sekitar $600 juta dalam mata uang asing setiap bulan untuk membayar penambang batu bara lokal dan produsen listrik serta untuk membayar pinjaman.
Dengan aturan baru, pembayaran-pembayaran PLN kepada produsen lokal tidak lagi dapat dilakukan dengan dolar, dan meski secara teori itu sesuai dengan perusahaan, praktiknya harga dalam rupiah yang dibayarkan masih ditentukan tingkat pertukaran dengan dolar.
Distributor mesin berat dan kontraktor pertambangan United Tractors menjual semua produk dan jasanya dalam dolar "semata-mata untuk menyeimbangkan uang masuk dan keluar," ujar sekretaris perusahaan Sara Loebis.
Sara mengatakan United akan mematuhi aturan-aturan baru tapi mungkin hal itu berarti meningkatnya risiko bagi perusahaan.
Dalam industri tekstil, eksportir barang manufaktur terbesar kedua di Indonesia, setiap transaksi dalam rantai pasokan kecuali biaya tenaga kerja adalah dalam dolar.
Tagihan listrik dibayar dalam rupiah namun nilainya berfluktuasi setiap bulan karena tagihannya berdasarkan dolar. Industri-industri serat dan pemintalan juga membayar bahan baku dalam dolam dolar dan menjual produk secara lokal dalam dolar.
"Jika Bank Indonesia mewajibkan industri untuk menukar dolar mereka ke rupiah, saya khawatir harga-harga mereka tidak akan bersaing dengan produk-produk yang langsung diimpor," ujar Ade Sudrajat dari Asosiasi Tekstil Indonesia.
Leo Putra Rinaldy, ekonom dari Mandiri Sekuritas, memperingatkan bahwa aturan baru tersebut bisa mengakibatkan inflasi.
"Akan ada perusahaan-perusahaan yang menetapkan tingkat pertukaran rupiah berdasarkan ekspektasi mereka, dan menggelembungkannya. Jika Anda produsen atau pemasok tunggal, Anda memiliki kekuatan untuk melakukannya, tapi dalam pasar yang kompetitif, para pembeli akan mencari harga yang lebih baik," ujar Leo.
Biaya insidental seperti itu akan menghambat manfaat aturan baru, yang tidak mengatasi sebab utama kerentanan rupiah: kebergantungan ekonomi pada modal asing dan kerentanan pada larinya modal dalam waktu sulit atau ketika suku bunga AS mulai meningkat, seperti diperkirakan akhir tahun ini.
Investor asing memegang 38,4 persen dari nilai utang obligasi pemerintah Indonesia.
"Kebijakan itu dapat sedikit membantu. Dalam jangka waktu lebih panjang kita perkirakan rupiah akan stabil, tapi tidak akan digerakkan oleh regulasi semacam itu," ujar Victor Rodriguez dari Aberdeen Asset Management Asia Ltd.