Muhammad Rasyid masih ingat betul pengalaman pahit yang dirasakannya tujuh tahun lalu, ketika berusia 16 tahun dan bekerja di sebuah kapal nelayan. Kepada VOA, Rasyid mengatakan, diajak bekerja di kapal angkut barang dari Jakarta ke Sumatera pada Desember 2010 dengan gaji Rp 25 juta. Ia tergiur dengan pendapatan yang sangat besar itu sehingga menyetujui ajakan bekerja kapten kapal yang masih terhitung kerabat jauhnya.
Singkat cerita, dari Pelabuhan Muara Karang, Jakarta Utara, Rasyid kemudian diajak ke Indramayu. Setibanya di Indramayu sore, malamnya datang tiga kapal. Ia diajak naik ke kapal barang yang juga ditumpangi tujuh lelaki bertubuh tinggi tegap. Rasyid mengakui tidak mengetahui siapa mereka.
Setelah berlayar selama tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan hanya meneguk minuman sekadarnya, Rasyid akhirnya berlabuh di Christmas Island, Australia. Lelaki asal Brebes ini dan seluruh awak kapal lainnya ditahan selama dua pekan di pulau tersebut, sebelum dipindahkan ke kota Darwin. Tak lama kemudian Muhammad Rasyid yang hanya lulusan sekolah dasar itu dipindahkan lagi ke sebuah penjara di Sydney dan mendekam di sana selama setahun. Rasyid mengaku mengalami perlakuan tidak mengenakkan selama dalam penjara, meski tidak mengalami penganiyaan fisik.
"Selama di penjara (perlakuannya) nggak enak. Kayak ada yang ngomongnya kasar. Dimaki-maki orang penjaranya. Saya dicampur sama yang dewasa, kayaknya nggak enak banget, cuma penghinaan doang (nggak ada penyiksaan). Dipukulin sih nggak," tutur Rasyid.
Kasus seperti Rasyid mencuat pada 2011 ketika media ramai memberitakan adanya 70 anak Indonesia yang ditahan di beberapa penjara di Australia karena kasus penyelundupan orang.
Selama ditahan di Sydney, Rasyid mendapat bantuan hukum dari pengacara Angelina Cook, tetapi bukan yang disediakan oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Sydney. Pihak KJRI menurutnya hanya sekali menjenguknya, tanpa memberikan bantuan apapun.
Rasyid dibebaskan setelah pihak keluarga mengirim akte kelahiran yang membuktikan ketika ditangkap pada 2010, Rasyid masih terbilang anak-anak karena baru berusia 16 tahun.
Dua puluh tiga anak muda Indonesia pekan ini mengajukan gugatan perdana terhadap pemerintah Australia karena menempatkan mereka di dalam penjara dewasa ketika ditahan beberapa tahun lalu.
Dalam sidang ketiga yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (19/9), majelis hakim memutuskan memberi waktu 30 hari dan tambahan sepuluh hari bagi kedua pihak untuk melakukan mediasi.
Your browser doesn’t support HTML5
Salah seorang anggota tim kuasa hukum pemerintah Australia, Togi Pangaribuan dari kantor Luhut Marihot Parulian Pangaribuan, menegaskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk mengadili sidang gugatan mantan tahanan anak terhadap pemerintah Australia. Alasannya, sebagai negara berdaulat, Australia memiliki kekebalan hukum.
Togi mengatakan pihaknya akan mengikuti proses mediasi dalam perkara perdata karena merupakan kewajiban yang mesti dilalui dalam proses peradilan di Indonesia. Tapi dia menekankan bahwa pihaknya akan mempertanyakan kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyidangkan perkara tersebut. Togi yakin majelis hakim akan bersikap adil dalam memutuskan perkara itu.
"Tentunya saya nggak bisa sampaikan. Hakim tentunya pasti akan adil dengan menimbang perkara seadil-adilnya dan sebaik-baiknya. Itu aja," ujar Togi.
Bila proses mediasi gagal, majelis hakim akan mulai menyidangkan pokok perkara. Sebaliknya jika mediasi berhasil, kedua pihak mesti membuat akta perdamaian di hadapan majelis hakim. [fw/em]