Pemerintah Australia, Rabu (29/11) mengusulkan undang-undang baru yang akan menempatkan 141 migran di balik jeruji besi meski mereka telah dibebaskan sesuai keputusan Mahkamah Agung bahwa penahanan terhadap mereka tanpa batas waktu tidak konstitusional.
Menteri Dalam Negeri Clare O’Neil mengatakan Parlemen tidak akan mengakhiri sidang tahun ini sesuai jadwal pekan depan kecuali ada undang-undang baru yang mengizinkan penahanan migran yang berpotensi berbahaya.
“Kita harus bergerak cepat untuk memberlakukan penahanan preventif,” kata O’Neil kepada Parlemen.
Pada tahun 2021, Mahkamah Agung menguatkan undang-undang yang dapat menahan ekstremis di penjara selama tiga tahun setelah mereka menjalani hukuman jika mereka terus menimbulkan bahaya.
O’Neil mengatakan pemerintah bermaksud memperluas konsep penahanan preventif selain terorisme ke berbagai kejahatan lainnya, termasuk pedofilia.
O'Neil mengatakan ia lebih suka jika 141 orang tersebut tetap berada di pusat penahanan migran yang berfungsi seperti penjara.
Ia menolak mengatakan berapa banyak orang yang akan ditahan lagi berdasarkan undang-undang yang diusulkan tersebut.
Para pengacara HAM berpendapat bahwa pemerintah menerapkan hukuman yang lebih berat terhadap para penjahat itu hanya karena mereka bukan warga negara Australia.
Pemerintah mengusulkan legislasi baru iu setelah Mahkamah Agung pada hari Selasa merilis alasan keputusannya pada tanggal 8 November untuk membebaskan seorang pria Rohingya Myanmar yang tidak memiliki kewarganegaraan, yang sebelumnya dinyatakan bersalah karena memerkosa seorang anak laki-laki berusia 10 tahun.
Pengacara pemerintah mengatakan keputusan pengadilan beranggotakan tujuh hakim tersebut membuka kemungkinan bagi para migran tersebut untuk tetap ditahan jika mereka menimbulkan risiko publik. Keputusan itu akan dibuat oleh hakim, bukan menteri.
Keputusan tersebut menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat lagi menahan orang asing yang ditolak permohonan visa Australianya tanpa batas waktu, namun tidak dapat dideportasi ke negara asal mereka dan tidak ada negara ketiga yang akan menerima mereka.
Para migran yang dibebaskan akibat putusan Mahkamah Agung tersebut sebagian besar adalah orang-orang yang memiliki catatan kriminal.
Kelompok ini juga mencakup orang-orang yang gagal dalam tes karakter terkait aplikasi visa karena alasan-alasan lain dan beberapa orang yang memperkarakan penolakan visa melalui pengadilan. Beberapa di antara mereka adalah pengungsi.
Sebagian besar dari mereka diharuskan memakai gelang kaki elektronik agar setiap gerakan mereka bisa dilacak dan tinggal di rumah selama jam malam.
Anggota parlemen dari partai oposisi James Paterson pada prinsipnya memberikan dukungan terhadap penahanan preventif itu, meskipun ia belum melihat rancangan undang-undang tersebut. [ab/uh]