Badai Industri Tekstil: Meski Produksi Surut, Sritex Menolak Disebut Bangkrut

  • Yudha Satriawan

Pada masa jayanya, perusahaan SRITEX di Sukoharjo telah melayani produksi seragam militer untuk 27 negara di dunia (foto: ilustrasi).

PT Sri Rejeki Isman Textile atau Sritex sempat menjadi pabrik tekstil terbesar se-Asia Tenggara. Mereka memasok seragam militer bagi 27 negara dan juga NATO. Namun, kemegahan masa lalu itu kini dibayangi krisis nasional sektor tekstil yang juga menghantamnya.

Di linimasa media sosial sempat tersebar kabar yang menyebut Sritex bangkrut. Namun, Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto menolak istilah itu dikenakan pada perusahaan yang dia pimpin. Baginya, apa yang terjadi pada Sritex adalah efisiensi.

Kemampuan produksinya yang menurun dan jumlah pekerja yang terus berkurang, menandai perjuangan Sritex, bertahan di tengah badai industri tekstil nasional.

“Kalau kita ngomong efisiensi, ya memang ada efisiensi. Minggu lalu kita sudah Rapat Umum Pemegang Saham [RUPS], di sana juga ada public expose, dan sudah kita jelaskan juga bahwa kondisi tekstil sekarang kurang baik,” kata Iwan menjelaskan.

Public expose adalah pemaparan umum kepada masyarakat untuk menjelaskan kinerja suatu perusahaan.

Dirut PT Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto saat menghadiri acara di Mangkunegaran Solo, Sabtu malam (29/6). (Yudha Satriawan/VOA)

Selanjutnya, Iwan mengatakan, “Kami di situ juga sampaikan bahwa untuk kondisi Sritex sudah ada perbaikan. Tapi kalau ada berita di sosial media kami bangkrut, itu tidak benar,” tegasnya saat menjawab pertanyaan VOA, usai menghadiri pameran koleksi museum Tumurun di Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (29/6).

Di internal Sritex, goncangan keuangan perusahaan sudah dijalani hampir 4 tahun dengan pemicu faktor internal dan krisis global. Sejauh ini mereka bisa bertahan melalui efisiensi pemakaian mesin dan pekerja.

Iwan menyebut, faktor internal antara lain pandemi dan daya beli masyarakat yang menurun. Sedangkan faktor eksternalnya antara lain adalah perang, pelambatan ekonomi dunia, produk impor tekstil dari Cina, dan sejumlah kondisi lain.

“Di Sritex memang belum 100 persen. Ada yang 70 persen, ada yang 80 persen, belum full 100 persen jalan, memang. Untuk ekspor, kami juga masih berjalan lancar, meski sangat terbatas,” kata putra mendiang pengusaha tekstil Lukminto, yang kini meneruskan bisnis orang tuanya.

BACA JUGA: Industri Tekstil Domestik Terseok-seok Memintal Nasib


Berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan Bursa Efek Indonesia (BEI), pada Jumat (28/6), PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) kembali membukukan rugi bersih jangka waktu tiga bulan pertama tahun ini akibat tekanan di industri tekstil.

SRITEX mencatat rugi bersih $14,8 juta, setara Rp235 miliar, pada kuartal I-2024 atau periode Januari-Maret. Kerugian itu lebih tinggi 61 persen dibanding periode sama tahun lalu sebesar $9,2 juta.

Kerugian yang dialami awal tahun ini membuat akumulasi rugi perusahaan membengkak. Per 31 Maret 2024, saldo laba Sritex defisit $1,18 miliar atau hampir Rp2 triliun.

Masih menurut BEI, SRITEX per 31 Maret 2024 memiliki 11.249 karyawan, padahal pada akhir Desember 2023 mereka masih memiliki 14.138 karyawan. Artinya, dalam kurun waktu 3 bulan, ada lebih 3.000 pekerja di-PHK.

Namun, laporan BEI itu berbeda dengan pernyataan Iwan Lukminto, yang menegaskan bahwa kondisi perusahaannya berangsur membaik meski perlahan. Iwan juga mengungkap jumlah karyawan Sritex sekitar 30 ribu pekerja.

“Kami masih ekspor terus. Seragam militer 27 negara maupun NATO masih kami lakukan ekspor. Jumlah karyawan ada 30 ribu orang,” tegasnya.

Juru bicara Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Lilik Setiawan mengatakan sampai saat ini organisasi itu belum nenerima laporan kebangkrutan Sritex. Dia menegaskan, hingga saat ini aktifitas pekerja dan operasional perusahaan masih berjalan.

“Ya, yang tahu kondisi, kan pimpinan Sritex sendiri. Kami di BPD API Jawa tengah belum menerima info resmi Sritex akan menutup usaha atau bangkrut. Kami sering rapat, berpindah lokasi dari perusahaan A ke perusahaan B, nah pas rapat kemarin di Sritex, kami masih melihat aktifitas pekerja dan operasional mesin tekstil masih berjalan,” ujar Lilik.

Your browser doesn’t support HTML5

Badai Industri Tekstil: Meski Produksi Surut, Sritex Menolak Disebut Bangkrut


Lebih lanjut, Lilik tidak mengetahui apakah langkah PHK ribuan pekerja menjadi strategi untuk bertahan bagi perusahaan tekstil ini.

Sejak 1994, Sritex pernah menjadi produsen seragam militer untuk organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan pasukan sejumlah negara. Perusahaan ini juga memiliki lebih dari 300 ribu desain kain, termasuk enam desain pakaian militer yang dipatenkan.

Kapasitas produksi Sritex tidak hanya terbatas pada seragam militer, tetapi juga mencakup perlengkapan militer untuk 33 negara di seluruh dunia. Sementara secara keseluruhan, Sritex pernah melayani lebih dari 100 negara di dunia.

Perusahaan ini mengalihkan sebagian produksinya sebagai strategi bertahan di tengah pandemi pada 2020, dengan memproduksi dan mendistribusikan 45 juta masker kain ke mitra kerjanya di seluruh dunia. Namun, dampak pandemi nampaknya belum usai hingga saat ini, ketika industri tekstil Indonesia secara umum mengalami tekanan akibat berbagai perubahan.

Lilik Setiawan juga mengakui, bahwa Sritex pernah mendunia di masa jayanya.

“Sritex perusahaan bonafid. Kalau tidak, kan tidak masuk pasar bursa. Kita tahu, tidak semua perusahaan tekstil bisa masuk bursa saham. Kalau Sritex sudah masuk pasar bursa saham berarti sudah dapat pengakuan, baik dari pemerintah, organisasi, lembaga keuangan, dan sebagainya,” kata Lilik.

Sementara Iwan Lukminto berharap pemerintah bisa segera mengatasi keterpurukan industri tekstil dan produk tekstil saat ini. Dia yakin, jika ada respon cepat pemerintah mengatasi banjirnya produk impor, akan membantu industri padat karya ini untuk bangkit kembali.

“Kami harapkan regulasi pemerintah yang diambil untuk menyelamatkan industri tekstil ini segera bisa direalisasikan. Kami sudah menyuarakan ini dari dua tahun yang lalu, tapi juga baru direspons. Ya apa boleh buat, pabrik-pabrik yang sudah telanjur tutup itu apa bisa beroperasi lagi. Itu sayang sekali,” paparnya. [ys/ns]