Hujan lebat tanpa henti dimulai pada Sabtu (16/3) sore menyiram wilayah DI Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan. Badai tropis Savannah di perairan Samudra Hindia menjadi penyebab curah hujan ekstrem itu. Pada Minggu (17/3) sore, kabar mengenai naiknya debit air di sejumlah sungai mulai tersebar melalui pesan berantai warga Yogyakarta.
Devri Brisandi, warga yang tinggal di perbukitan Wukirsari, Imogiri, Yogyakarta turut memantau informasi itu melalui teleponnya. Sekitar pukul 19.00, dia berdiri di teras menyaksikan air hujan yang seolah tumpah dari langit. Devri hendak menghubungi tetangga kampung untuk menanyakan situasi yang berkembang. Wajar dia khawatir, karena ada tebing setinggi sekitar 100 meter tak jauh dari rumahnya. Tebing itu tepat berada di tepi kawasan makan Raja-Raja Mataram.
Dan kekhawatiran Devri itu terjawab sesaat setelah itu.
Your browser doesn’t support HTML5
“Tiba-tiba langsung turun tanah longsornya, kencang. Ada dua rumah disini, di rumah timur ada duaorang, di rumah barat adalimaorang. Yang di rumah sisi timur, dua orang itu sampai sekarang belum ketemu. Saya di rumah barat, di teras, jadi bisa langsung lari. Tidak ada tanda-tanda, waktu itu, hanya ada suara kencang,” papar Devri.
Tiga orang keluarga Devri menjadi korban dalam bencana tanah longsor itu. Satu orang korban bernama Sudiatmojo (80) telah ditemukan. Sedang dua orang lainnya, Eka Supratmi (46) dan Rufi Kusuma Putri (th) tertimbun longsoran dan belum dapat dievakuasi hingga Senin petang. Setidaknya ada dua lagi korban meninggal pada Minggu dini hari, seorang korban tertimpa reruntuhan tembok dan satu korban laki-laki hanyut oleh banjir.
Sekitar 5.046 Warga Sempat Mengungsi
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul, Dwi Daryanto memaparkan, upaya pencarian korban terpaksa dihentikan karena kondisi gelap. Listrik di kawasan tersebut memang putus. Penggunaan alat berat cukup membantu, namun besarnya volume longsoran membutuhkan waktu untuk memastikan titik korban terkubur.
Berada di sisi selatan Yogyakarta, kata Dwi, kawasan Bantul menjadi hilir untuk enam sungai besar.
“Kalau kita melihat situasi dan kondisi di Bantul, posisinya di wilayah paling hilir, mau tidak mau terkait bencana banjir, manakala hujan serentak seluruh DIY, yang menerima dampak paling parah adalah Bantul. Luapan itu pasti larinya ke Bantul,” tandas Dwi.
Kabupaten ini telah menetapkan status siaga darurat selama satu minggu ke depan. Dengan status ini, seluruh upaya penanganan bencana dilakukan sesuai prosedur tanggap darurat.
Kepala Pelaksana BPBD DIY, Biwara Yuswantana memaparkan data, akibat hujan deras hingga Senin (18/3) dini hari, 5.046 warga di wilayah DIY bagian selatan terpaksa mengungsi. Setidaknya ada 23 titik pengungsian dan mayoritas diisi oleh korban yang mengalami banjir. Luapan sejumlah sungai besar ini merendam ratusan titik, dengan kedalaman mulai semata kaki sampai 2 meter. Banjir parah juga terjadi di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Yogyakarta.
Hari Senin pagi, sebagian besar pengungsi telah kembali ke rumah masing-masing untuk melakukan pembersihan. Pemerintah daerah masih akan terus menyiagakan lokasi pengungsian dan bantuan darurat untuk mengantisipasi perkembangan.
Badai Mulai Melemah
Dalam beberapa hari ke depan, hujan masih berpotensi datang. Namun menurut Kepala Stasiun Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Mlati, Reni Kraningtyas, intensitasnya diperkirakan menurun.
“Memang potensi terjadi cuaca ekstrem sampai beberapa hari ke depan masih ada. Tetapi dengan potensi badaiSavannah yang sudah menjauh, ini mengindikasikan potensi hujan ekstrem akan berkurang dan melemah. Yang perlu diwaspadai adalah wilayah selatan dan Jawa Tengah bagian tengah, karena masih berpotensi curah hujan tinggi,” kata Reni.
Reni memastikan badai tropis Savannah telah mendekati akhir. Badai itu termonitor bergerak menjauh dari wilayah Indonesia. Jika dalam beberapa hari ke depan potensi hujan deras masih ada, menurutnya karena suhu permukaan laut di wilayah selatan Jawa Tengah masih hangat. Kondisi ini memunculkan daerah bertekanan rendah di sekitar pesisir laut selatan dan bisa memicu potensi hujan ekstrem. Setidaknya hingga April nanti, potensi itu masih ada.
BMKG mencatat, curah hujan di Yogyakarta pada hari Minggu lalu mencapai 148 mm. Padahal curah hujan 50 mm sudah masuk kategori ekstrem. Tidak mengherankan jika banjir dan tanah longsor terjadi di berbagai titik.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati sempat berkunjung ke lokasi longsor di Yogyakarta. Dia mengatakan, ekor badai tropis masih membawa dampak hujan ekstrem berpotensi datang hingga satu minggu ke depan. Masyarakat diminta waspada, terutama mereka yang tinggal di perbukitan yang memiliki lereng curam.
Dwikorita adalah pakar geologi yang melewatkan sebagian besar karir penelitiannya dalam kajian tanah longsor. Menurutnya, kebanyakan lereng perbukitan di Yogyakarta dan Jawa Tengah memang rentan. Namun, jika tidak ada pemicu, kondisi tersebut tidak mengkhawatirkan. Pemicu yang dia maksud adalah getaran, gempa bumi dan hujan deras.
Dalam kondisi cuaca ekstrem seperti saat ini, masyarakat dituntut memahami kawasan tempat tinggalnya, apabila berada di lereng bukit. “Fungsi peringatan dini itu memberitahukan paling tidak tiga hari sampai beberapa jam sebelumnya bahwa akan terjadi hujan ekstrem. Sehingga daerah rawan longsor segera diamankan penduduknya, dengan diinformasikan kalau ada hujan dan segera menjauh dari lereng yang terjal,” ujar Dwikorita. [ns/ab]