Ketika Ulil Abshar-Abdalla masih remaja di Pati, Jawa Tengah, ia meraih juara pertama dalam pelajaran bahasa Arab yang diselenggarakan di pesantren daerahnya. Hadiahnya adalah enam bulan uang kuliah di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), sebuah perguruan tinggi di Jakarta yang didirikan dan didanai oleh pemerintah Arab Saudi. Pada akhir enam bulan itu, LIPIA menawarkan kepada Ulil kuliah enam bulan lagi. Ia menerimanya.
Setelah itu, LIPIA menawarkan kepadanya empat tahun lagi kuliah gratis untuk memperoleh gelar S1 dalam hukum Islam atau Syariah. Ia juga menerimanya. Tahun 1993, setelah lima tahun di LIPIA, Ulil ditawarkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya di Riyadh. Namun, ia menolak.
“Kalau kita menerimanya, kita akan menjadi pegawai mereka seumur hidup,” kata Ulil Abshar-Abdalla kepada VOA.
“Tetapi mereka membuatnya sangat mudah untuk tetap bersama mereka. Saya berasal dari keluarga miskin, dan tawaran mereka sangat menggoda. Saya kira mereka berhasil menarik beberapa mahasiswa pintar generasi saya dengan cara demikian.”
Sejak tahun 1980, Arab Saudi telah menggunakan pendidikan untuk menyebarkan Salafisme secara diam-diam. Salafisme adalah sejenis Islam fundamentalis di Indonesia, negara yang berpenduduk Muslim yang paling besar di dunia. Kedua jalur usaha ini adalah LIPIA dan beasiswa perguruan tinggi di Arab Saudi.
Salafisme adalah gerakan reformasi ultra-konservatif yang menganjurkan Muslim kembali ke zaman Al-Quran. LIPIA mengajarkan mazhab Wahabi, satu sekte Islam Salafi yang ditafsirkan oleh teolog Sunni abad pertengahan, Ibnu Taimiyah.
“Alumni Saudi” sekarang terlihat dalam banyak bidang organisasi, memegang jabatan-jabatan di Muhammadiyah, Partai Keadilan Sejahtera, dan kabinet. Sebagian juga telah menjadi Kyai dan guru agama, menyebarkan Salafisme ke seluruh nusantara.
Pengaruh pelaksanaan “kekuatan-lunak” besar-besaran Arab Saudi terhadap warga Indonesia baru mulai menjadi jelas.
Jabatan Paling Penting di Jakarta
Pusat diplomasi pendidikan Saudi adalah Atase Agama, pada kedutaannya di Jakarta. Kantor itu memberi beasiswa bagi mahasiswa untuk belajar di Arab Saudi, walaupun atase yang sekarang, Saad Namase, tidak mau mengukuhkan berapa banyak mahasiswa yang kuliah di Arab Saudi.
“Kami sebenarnya tidak bekerjasama dengan pemerintah Indonesia,” kata Namase. Ia menambahkan, “Kami hanya berusaha memperkuat hubungan kebudayaan antara kedua negara misalnya dengan mengadakan perlombaan membaca al-Quran.”
Mengenai beasiswa, ia mengatakan banyak negara, termasuk negeri Belanda dan Amerika Serikat, menawarkan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia dan program Saudi hanyalah salah satu dari banyak program seperti itu.
“Atase agama Saudi adalah jabatan yang paling penting di Jakarta,” kata Abshar-Abdalla, yang sekarang memimpin Jaringan Islam Liberal (JIL). “Kantor atase tersebut adalah pusat semua usaha Saudi untuk mempengaruhi kebudayaan Indonesia.”
Kantor atase itu juga membayar gaji Kyai terkemuka Salafi dan menyediakan guru-guru Bahasa Arab ke pesantren-pesantren seluruh Indonesia, menurut Din Wahid, seorang pakar Salafisme Indonesia di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah di Jakarta.
Di luar kantor atase, beberapa universitas Arab Saudi menawarkan langsung beasiswa kepada mahasiswa Indonesia.
Satu alasan pemerintah Indonesia tidak akan menghambat perluasan kebudayaan Saudi adalah kuota Haji tahunan yang penting, menurut Dadi Darmadi, seorang peneliti UIN yang memusatkan perhatian pada penyelenggaraan ibadah haji tahunan ke Mekah.
“Kami baru saja diberi 10 ribu jatah Haji tambahan tahun ini, yang sebetulnya hanya merupakan setetes air dalam ember mengingat penduduk Muslim Indonesia sebesar 203 juta,” kata Darmadi. “Saya kira Indonesia enggan bertentangan dengan Arab Saudi yang dapat memotong kuota Haji yang telah diperjuangkan dengan sulit itu," lanjutnya.
Jalan Berbeda
Hidayat Nur Wahid, anggota DPR dan pemimpin partai sayap kanan PKS, adalah salah seorang politisi nasional yang terkemuka lulusan Universitas Saudi. Ia kuliah melalui rentetan beasiswa untuk meraih S-1, S-2, dan S-3 dalam teologi dan sejarah pemikiran Islam di Universitas Islam di Madinah.
“Sebagian besar naskah Islam adalah dalam Bahasa Arab, dan itulah sebabnya saya ingin kuliah di Arab Saudi,” kata Nur Wahid kepada VOA. “Di samping itu, semangat Nabi Muhammad menghidupkan Madinah. Saya menikmati waktu saya bertahun-tahun di sana.”
Nur Wahid mengatakan ia tidak diberi ajaran anti-sosial atau radikalisme di Madinah. “Kami hanya belajar bagaimana menjadi Muslim yang baik. Keliru kalau mengganggap setiap orang yang belajar di Arab Saudi akan menjadi Kyai atau guru agama. Banyak sarjana menjadi pejabat atau politisi seperti saya.”
“Karena Arab Saudi adalah tempat dari mana Islam berasal, banyak mahasiswa berpendapat bahwa Arab Saudi merupakan Islam yang asli,” kata peneliti Din Wahid.
Teologi Saudi menimbulkan pengaruh yang berlawanan terhadap Abshar-Abdalla, yang lambat laun menjadi tidak senang dengan gerakan Salafi pada masa lima tahun ia belajar di LIPIA.
“Walaupun saya sempat bersemangat mengikuti teologi yang sederhana itu, saya mendapatinya sangat fundamentalis pada intinya,” kata Abshar-Abdalla. Karena itu, ia mulai membaca berbagai buku Islam lain, termasuk buku Sufi dan Shiah, dan akhirnya mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL) tahun 2001.
Anehnya, ia sendiri pernah direkrut untuk ikut dalam gerakan mahasiswa yang berkembang menjadi PKS. “Saya diundang ke rekreasi naik rakit di Bogor pada akhir pekan di universitas, dan saya menyadari mereka berusaha mengajak saya bergabung dengan Tarbiyah, embrio partai PKS yang sekarang,” kata Abshar-Abdalla. “Saya seperti berlari ke arah yang berlawanan,” katanya.
Kaitan Ekstrimis
Walaupun Kyai-kyai yang berpendidikan Saudi di Indonesia kemungkinan menyebabkan kecondongan ke kanan dalam ideologi nasional, keprihatinan yang lebih mendesak adalah apakah ajaran Salafi mendorong terorisme atau ektrimisme.
“Umumnya, saya kira tidak, karena Salafisme resmi tidak vokal atau tidak berpolitik, demi mempertahankan kekuasaan kerajaan Saudi di negara asalnya,” kata Wahid. “Namun, ketika ideologi ini dibawa ke Asia Tenggara, kita tidak dapat mengetahui dampaknya.”
Satu contoh utama ideologi vokal atau jihadis adalah pesantren Ngruki yang terpengaruh Salafi di Solo, Jawa Tengah, yang telah diketahui menghasilkan sejumlah teroris Indonesia.
Zaitun Rasmin, sarjana dari Universitas Islam Madinah, adalah salah seorang pemimpin aktivis yang mengatur demonstrasi garis keras menentang gubernur Jakarta tahun 2016. “Ia adalah satu contoh Salafist Indonesia yang tidak mau bebas dari politik,” kata Wahid.
Hal yang dikemukakan Wahid adalah bahwa, dengan semua sumberdaya yang disalurkan Arab Saudi kepada mahasiswa Indonesia, masih harus dilihat bagaimana sebenarnya ideologi Salafi berevolusi dalam konteks Asia Tenggara .
“Ada tiga aliran ideologi Salafi di Indonesia: tidak vokal, turut berpolitik dan jihadis. Kita tidak mengetahui bagaimana sebenarnya Salafi kelihatan di Indonesia. Yang kita ketahui adalah bahwa Salafi ada di sini, dan Salafi sedang bertumbuh.” [gp/ii]