Pandemi virus corona menimbulkan "guncangan besar dan cepat" yang menyebabkan keambrukan ekonomi global terbesar sejak 1870 meskipun pemerintah sudah memberi dukungan besar dan belum pernah terjadi sebelumnya, demikian dikatakan Bank Dunia, Senin (8/6).
Ekonomi dunia diperkirakan menyusut sampai 5,2 persen tahun ini - resesi terburuk dalam 80 tahun terakhir, tetapi akibat banyaknya negara yang mengalami keterpurukan ekonomi ini, berarti skala keanjlokan ekonomi ini lebih buruk daripada semua resesi dalam 150 tahun terakhir, kata Bank Dunia dalam laporan Prospek Ekonomi Global terbarunya.
"Ini adalah proyeksi yang sangat suram dimana krisis tampaknya akan mewariskan kerugian jangka panjang dan menciptakan tantangan global yang besar," kata Ceyla Pazarbasioglu, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Pertumbuhan, Keuangan, dan Kelembagaan.
BACA JUGA: 'Pandemi Kelaparan' Jadi Efek Samping Krisis COVID-19 SelanjutnyaKrisis yang parah akan menyebabkan 70 hingga 100 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan yang ekstrem, lebih buruk dari perkiraan 60 juta sebelumnya, katanya kepada wartawan.
Meskipun lembaga pemberi pinjaman internasional yang berbasis di Washington memproyeksikan pemulihan pada 2021 namun ada risiko terjadinya gelombang wabah kedua yang bisa mengancam pemulihan dan mengubah krisis ekonomi menjadi krisis keuangan yang mengarah pada "gelombang kegagalan membayar utang."
Para ekonom kesulitan mengukur dampak krisis yang mereka setarakan dengan sebuah bencana alam global, dampaknya sedemikian luas dan terjadi di banyak sektor dan negara sehingga menyulitkan perhitungan dan prediksi pemulihan, tidak pasti.
Berdasarkan skenario terburuk, menurut laporan Bank Dunia ini, resesi global bisa mengakibatkan penyusutan ekonomi sebesar delapan persen.
Namun Pazarbasioglu memperingatkan, "Mengingat ketidakpastian ini, sangat besar kemungkinan akan terjadi penurunan lebih jauh."
Meskipun Pendapatan Bruto China akan naik hanya satu persen, Bank Dunia mengatakan prakiraan negara lainnya lebih suram lagi, AS -6,1 persen, zona euro -9,1 persen, Jepang -6,1 persen, Brazil -8 persen, Meksiko -7,5 persen dan India - 3,2 persen. [my/jm]