Bank Indonesia siap melakukan "intervensi terukur" untuk mempertahankan rupiah dalam rentang yang nyaman, menurut Gubernur bank sentral Agus Martowardojo, Senin (6/10).
Ia juga menekankan bahwa melemahnya rupiah terhadap dolar baru-baru ini sesuai dengan mata-mata uang Asia lainnya. Pernyataan-pernyataan tersebut dikeluarkan dalam konferensi pers gabungan antara Bank Indonesia, Menteri Keuangan Chatib Basri dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan bersamaan dengan diluncurkannya laporan regional Bank Dunia yang dikeluarkan dua kali setahun yang menyoroti risiko-risiko dari perginya modal ke luar negeri.
Chatib mengatakan rupiah terus melemah terutama karena penguatan dolar. Ia mengakui bahwa sentimen domestik juga telah memengaruhi mata uang, namun ia mengatakan dampak kondisi-kondisi politik terhadap perdagangan rupiah adalah jangka pendek.
Rupiah telah jatuh 4 persen terhadap dolar dalam tiga bulan terakhir, dengan posisi terbaru pada Rp 12.100 terhadap dolar Amerika, sementara indeks saham gabungan turun 3,7 persen sejak akhir Agustus, terutama karena keraguan atas kemampuan Presiden terpilih Joko Widodo untuk mempertahankan reformasi akibat oposisi yang kuat di parlemen, dimana koalisinya memiliki kursi minoritas.
Penurunan nilai rupiah dan saham juga didorong sebagian karena kekhawatiran atas kerentanan Indonesia terhadap kenaikan tingkat suku bunga Amerika tahun depan, karena bergantungnya negara ini terhadap modal asing untuk mendanai defisit rekening berjalan.
Pada Jumat, deputi gubernur Bank Indonesia juga mengatakan bank sentral Indonesia akan membeli obligasi dari pasar sekunder jika hasilnya melonjak terlalu tinggi dalam waktu pendek.
Namun, para pialang di Jakarta tidak melihat tanda-tanda intervensi dalam bursa obligasi sejauh ini.
"BI jarang melakukan intervensi dalam pasar obligasi, tapi saya kira mereka ingin para investor tahu bahwa mereka siap mendukung pasar obligasi," ujar seorang pialang.
Bank Dunia
Laporan Bank Dunia yang dirilis Senin memperkirakan bahwa pertumbuhan di Indonesia, berkat kebergantungannya pada komoditas-komoditas ekspor, akan turun smapai 5,2 persen tahun ini dari 5,8 persen pada 2013.
Pada April, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan 5,3 persen pada 2014. Bank tersebut menyoroti kerentanan Indonesia terhadap penarikan arus modal.
"Di seluruh wilayah, kerentanan terhadap penarikan arus modal telah secara luas menurun selama setahun terakhir. Namun Indonesia masih relatif terpapar, karena kebutuhan tinggi terhadap pembiayaan eksternal jangka pendek," menurut Bank Dunia. (Reuters)