Sistem penjara di Indonesia diliputi banyak persoalan, terutama soal kelebihan kapasitas. Isu utama ini membuat penjara tidak saja sulit dikendalikan, tetapi juga menjadi sarang perdagangan narkoba dan bahkan menjadi tempat bandar mengendalikan peredaran narkoba di luar penjara.
Pemerintah mengakui kelebihan kapasitas di banyak penjara di seluruh Indonesia. Aman Riyadi, Direktur Teknologi Informasi dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengatakan membludaknya penghuni penjara karena terlalu banyak aturan di tanah air berisi ancaman pidana. Padahal sedianya ada sanksi lain yang bisa dikenakan selain dipenjara, misalnya denda dan kerja sosial; juga jenis pidana lain seperti tahanan kota, tahanan rumah dan tahanan percobaan. Ironisnya polisi dan masyarakat juga belum memahami jenis-jenis pidana lain itu.
"Ini tugas kita bersama juga untuk memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa ada banyak alternatif yang bisa dilakukan oleh penegak hukum, tidak hanya harus memasukkan orang ke dalam penjara," ujar Aman.
Aman mencontohkan Rumah Tahanan Salemba di Jakarta Pusat sejatinya berkapasitas seribu narapidana, tapi sekarang dihuni hampir empat ribu orang.
Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan pada 2011 kapasitas penjara di seluruh Indonesia seharusnya hanya bisa menampung 99.218 narapidana. Tetapi kemudian dihuni oleh 136.145 orang.
Pada 2012, kapasitas penjara di Indonesia ditambah menjadi 104.236 orang, tapi kemudian digunakan untuk menampung 150.582 tahanan.
Pada 2013, kapasitas penjara kembali ditambah menjadi 113.326 tahanan, namun dihuni oleh 160.063 narapidana.
Penambahan serupa juga terjadi pada tahun 2014, di mana kapasitas penjara diperuntukkan bagi 115.286 orang. Namun kemudian dihuni oleh 159.964 narapidana.
Pada 2015, kapasitas penjara 119.453 narapidana, tapi dihuni oleh 173.572 orang.
Mulai tahun 2016 lalu bahkan jumlah penghuni mencapai dua kali lipat kapasitas penjara. Kapasitas penjara untuk 120.243 tahanan, kini ditinggali oleh 202.621 narapidana.
Puncaknya tahun 2017 ini, seluruh penjara di Indonesia hanya memiliki kapasitas bagi 123.295 orang, namun dihuni oleh 229.273 orang.
Aman menekankan Direktorat jenderal Pemasyarakatan menargetkan pada tahun 2024 nanti tidak boleh ada kelebihan kapasitas dalam penjara di seluruh Indonesia. Nantinya, pelaku tindak pidana ringan tidak akan dipenjara namun diberikan hukuman alternatif, seperti kerja sosial. Jadi, yang mendekam dalam penjara betul-betul orang yang memang harus dikurung.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono khawatir target itu tidak terpenuhi dan kelebihan kapasitas dalam penjara ini akan terus berlanjut karena Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dibahas di DPR akan meningkatkan ancaman pidana hingga 30% dibanding KUHP sekarang. Supriyadi terang-terangan menyebut bahwa bukan perbuatan pidana yang dinyatakan sebagai perbuatan pidana sebagai “kriminalisasi”.
Supriyadi menjelaskan bagaimana dari 555 pasal yang mengatur tentang pidana dalam Buku II RKUHP, ada 1.251 perbuatan pidana. Jumlah perbuatan pidana yang diancam pidana penjara mencapai porsi paling besar yaitu 1.154 perbuatan pidana, disusul pidana denda untuk 882 perbuatan pidana. Pola ini mengindikasikan penggunaan pidana penjara masih merupakan pilihan utama untuk mengontrol perbuatan pidana.
Ditambahkannya, ada pula 44 perbuatan pidana yang diancam hukuman penjara seumur hidup dan 37 perbuatan pidana yang diancam hukuman mati.
"Penjara seumur hidup, hukuman mati, dan penjara ini memastikan orang-orang yang dihukum akan masuk ke dalam lapas. Semakin panjang ancaman pidananya, poten si mereka di lapas juga akan semakin lama dan ini yang akan berpotensi untuk menimbulkan kelebihan kapasitas," kata Supriyadi.
Selama ini, menurut Supriyadi, pidana kerja sosial berlaku untuk vonis enam bulan ke bawah. Namun dalam RKUHP ditetapkan hukuman minimum satu tahun penjara. Hal ini berpotensi membuat penjara akan semakin berjubel. Selain itu ada tiga kelompok pidana yang seharusnya tidak perlu membuat pelaku dipenjara, yaitu jika pelaku berusia di bawah 17 tahun dan/atau tergolong anak-anak, pengguna narkoba dan pidana ringan seperti mencuri sandal atau bibit padi.
RKUHP tegas Supriyadi belum bisa menjadi solusi mengurangi kelebihan kapasitas dalam penjara.
Your browser doesn’t support HTML5
Hal senada disampaikan Anugerah Rizki Akbari, dosen Hukum Pidana di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, yang mengatakan banyak persoalan di Indonesia yang sebetulnya bisa diselesaikan secara musyawarah dan tidak perlu dihukum sama sekali. Ia menyebutkan 563 undang-undang yang dikeluarkan pasca era reformasi, dimana 154 undang-undang diantaranya mencantumkan ketentuan pidana yang memungkinkan orang dihukum; tetapi ada pula yang bersifat administratif.
Dari 154 undang-undang tersebut, 112 di antaranya menciptakan ketentuan mengenai tindak pidana baru atau berarti perbuatan yang sebelumnya tidak perlu dijatuhi hukuman penjara, tetapi kini dinilai patut dipenjara. Menurut Rizki, selama 16 tahun reformasi, ada 1.601 perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana baru di Indonesia.
"Jadi tidak hanya kita senang bikin aturan yang banyak aturan pidananya, kita juga sering menciptakan tindak pidana baru hanya untuk merespon pelanggaran yang bukan kriminalitas, dan kita juga senang untuk memasukkan orang ke penjara," tukas Rizki.
Rizki juga mengatakan seringkali seseorang dijatuhi hukuman penjara karena tidak mampu membayar denda.
Banyaknya aturan administrasi yang mengenakan sanksi hukuman pidana juga merupakan kekeliruan karena semakin banyak yang menggunakan aturan itu, semakin berat beban negara menanggung narapidana yang dipenjara. [fw/em]