Dalam acara Festival Panen pertama di ladang kampus baru Universitas Duke di North Carolina, pengelola ladang kampus, Emily Sloss, mengajak pengunjung mengelilingi kebun sayuran dan tanaman untuk pengobatan atau jamu seluas seperempat hektar. Ia menjelaskan, “Kami tidak memakai pupuk sintetis atau pestisida”.
Sloss lulus tahun lalu dari jurusan yang bukan pertanian, tetapi bidang kebijakan publik di Universitas Duke. Ia akan melanjutkan S-2-nya dalam bidang Perencanaan Kota.
“Sekarang saya menjadi petani, percaya atau tidak,” ujarnya.
Petani “kejutan” ini mengubah proyek pelajaran ladang kampus itu menjadi kenyataan. Pada tahun pertama saja ladang itu sudah berhasil menyediakan kantin kampus sayur mayur segar lebih dari dua ton.
Nate Peterson, pengelola Kedai Kopi Bon Appetit di kantin kampus Universitas Duke, mengatakan, “Hebat. Hasil bumi dari ladang kampus Duke Farm itu menjadi santapan di kedai kopi kami dengan mutu terjamin”.
Jadi, bagaimana ceritanya, Sloss yang tadinya berminat pada studi perencanaan kota menjadi petani penuh waktu?
“Kita harus berbuat sesuatu, mengenai cara kita makan,” paparnya.
Ia tidak sendiri. Maureen Moody adalah ahli kepurbakalaan yang mempelajari apa yang mendorong minat para petani muda, paling tidak awal mulanya. Kini, ia menjadi petani di Pusat Arcadia untuk Pangan dan Pertanian Berkesinambungan, organisasi nirlaba, di luar kota Washington, DC.
Film terkenal berjudul, “Food Incorporated” mendorong minat kawula muda untuk terjun ke bidang pertanian. Film itu dan buku-buku yang tersebar secara luas mengecam produksi pangan Amerika berskala besar yang berdampak merusak kesehatan dan lingkungan. Akibatnya, permintaan akan pangan lokal ini meningkat menjadi bisnis bernilai sedikitnya 5 milyar dolar.
Tetapi, banyak dari mereka yang terjun ke bidang pertanian dihadapkan pada kenyataan bahwa tantangan bisnis lebih keras dari yang mereka perkirakan. Maureen Moody mengatakan banyak di antara mereka tidak berhasil.
“Sulit untuk bertahan setelah beberapa tahun. Sebagian dari mereka yang bertahan, mengerti caranya. Tetapi, benar-benar sulit untuk mendapat keuntungan dan memperoleh nafkah untuk hidup,” paparnya.
Ladang kampus Duke memiliki keuntungan yang tidak dinikmati oleh wiraswastawan kecil. Mahasiswa bersedia bekerja tanpa dibayar, dan universitas yang memberi dukungan. Tetapi, Emily Sloss mengatakan para petani di sini bertekad membuktikan bahwa mereka dapat membuat usaha ini menjadi bisnis yang berkembang. Membuat gerakan ini menjadi kenyataan tidaklah mudah. Tetapi, Maureen Moody mengatakan mereka baru mulai.
Ladang kampus di Universitas Duke merayakan musim panen pertamanya dalam bisnis ini. Banyak kesulitan dihadapi untuk mencapai kedewasaan dalam profesi petani. Ini menarik, namun sulit bagi para petani muda yang baru mulai menimba pengalaman pertama mereka dalam kehidupan bercocok-tanam.