Silang pendapat muncul setelah wacana melarang pemakaian niqab di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta digulirkan rektor perguruan tinggi tersebut awal pekan ini. Tri Mulyani misalnya, mahasiswi Sosiologi UIN Sunan Kalijaga yang tegas menolak mengaitkan niqab bagi perempuan muslim, dengan gerakan radikal. Menurutnya radikalisme bisa dianut siapa saja dan tidak ada korelasi dengan busana yang dikenakan.
“Ketika melihat bahwa cadar itu bagian dari radikalisme dan anti Pancasila, saya kira perlu dikaji ulang. Itu generalisasi. Kedua, ketika kita bicara radikalisme, tentu tidak hanya menyasar kaum perempuan. Kalau alasan radikalisme, laki-laki pun berpotensi, begitu juga mereka yang tidak bercadar. Kalau alasannya pembinaan, semua mahasiswa harus diberi pembinaan. Belum terbukti juga bahwa 41 mahasiswi UIN yang bercadar itu radikal,” kata Tri Mulyani.
Niqab atau di Indonesia disebut sebagai cadar, adalah sepotong kain yang dipakai untuk menutup wajah, sehingga hanya tersisa bagian mata saja. Niqab biasanya dipakai bersama dengan jenis pakaian abaya, yang merupakan busana terusan. Burqa adalah jenis yang berbeda, karena yang satu ini menambahkan anyaman halus di bagian mata, sehingga nyaris tak ada bagian tubuh yang terlihat lagi.
Salah satu hal yang melatarbelakangi keluarnya larangan pemakaian cadar di lingkungan kampus adalah beredarnya foto belasan mahasiswi bercadar tengah mengibarkan bendera salah satu organisasi Islam di kampus. Beberapa hari setelah foto itu beredar luas, rektor UIN memutuskan harus melakukan pembinaan lewat konseling. Jika setelah proses itu para mahasiswi tersebut tetap mempertahankan cadarnya, maka kampus berencana mengeluarkan mereka.
Baca juga: UIN Yogya Larang Mahasiswi Pakai Burka
Dalam paparan kebijakan kepada media di Yogyakarta, Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Yudian Wahyudi mengatkaan sebagai kampus negeri, UIN merasa wajib menjaga Indonesia. Kebijakan ini, kata Yudian juga untuk menyelamatan mahasiswi bersangkutan.
“Kami ingin menyelamatkan republik, tetapi yang secara langsung adalah mahasiswi yang mengenakan cadar ini. Karena seringkali mereka tidak mengerti, dikira versi yang disampaikan kepada mereka itu kebenaran mutlak. Padahal ini lebih banyak terkait dengan tradisi atau budaya. Seringkali mereka tidak mengetahuinya.”
Lebih lanjut Yudian mengingatkan, ketika masuk seluruh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga sudah menandatangani surat kesediaan memenuhi aturan yang berlaku di lingkungan kampus, sebagai syarat menjadi sivitas akademika kampus itu.
Dalam perkembangan lainnya, kampus Universitas Ahmad Dahlan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah, juga melakukan pendataan serupa. Rektor UAD, Kasiyarno mengatakan, bahwa mereka juga menetapkan program bimbingan. Bedanya, UAD tidak memberikan sanksi dikeluarkan dari kampus jika mahasiswi yang memakai niqab menolak mengubah busananya. Hanya saja, ketika mengikuti ujian, penutup muka tidak boleh dikenakan. Data mahasiswa di kampus itu menunjukkan hanya ada sekitar 10 mahasiswa dengan niqab di sana.
Dalam pernyataan singkatnya, Moh. Romli, Presiden Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga 2018 menyatakan, cadar dan radikalisme merupakan dua hal berbeda. "Saya sepakat dengan identifikasi terhadap paham-paham ekstrimis yang tidak sesuai dengan pancasila dan UUD 1945, tapi bukan berarti saya sepakat dengan pelarangan mahasiswi bercadar, sebab kedua hal itu berbeda,” kata Romli.
VOA mencoba mewawancarai beberapa mahasiswi mahasiswi UIN Sunan Kalijaga yang bercadar, namun belum ada yang bersedia memberi keterangan.
Tri Mulyani yang menjadi pernah panitia orientasi mahasiswa baru di kampusnya menambahkan, pada awal masuk seingatnya tidak ada mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang bercadar. Mereka yang kemudian memutuskan untuk bercadar biasanya mengikuti kajian-kajian tertentu setelah menjadi mahasiswi.
Ia mengingatkan bahwa sebagai komunitas akademis, UIN Sunan Kalijaga harus bisa menerima dan mendiskusikan semua ideologi.
“Beberapa orang merasa nyaman, bahwa memakai cadar itu merupakan perintah Tuhan yang harus dilaksanakan. Nah, di titik itulah larangan memakai cadar itu tidak tepat. Saya setuju pembinaan untuk mengetahui lebih dalam alasan masing-masing memakai cadar. Tetapi mereka berhak memperoleh pendidikan, meskipun tidak mau melespas cadarnya setelah proses pembinaan itu,” tambah Tri Mulyani.
Majelis Ulama Indonesia, beberapa organisasi Islam dan aktivis HAM secara terpisah menyampaikan ketidaksetujuan atas keputusan rektor UIN Sunan Kalijaga.
Forum Ukhuwah Islamiyah di Yogyakarta hari Rabu (7/3) mendatangi kampus UIN guna meminta penjelasan. Prinsipnya, mereka menolak larangan memakai niqab. Sementara Yogi Zul Fadhli dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menilai Rektor UIN Sunan Kalijaga gegabah membuat kebijakan, tidak mencerminkan penghormatan terhadap HAM dan cenderung diskriminatif.
“UUD 1945, pasal 28 E ayat 1 dan 2 mengatur, setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Sementara pasal 29 UUD 1945, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,” tutur Yogi.
LBH Yogya juga mengingatkan bahwa Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik (ICCPR). Dalam salah satu penjelasannya, dinyatakan bahwa kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan dalam ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran mencakup berbagai kegiatan, termasuk salah satunya ialah kebiasaan pemakaian pakaian tertentu atau penutup kepala.
Pemakaian niqab kadang dianggap menjadi bagian dari doktrin aliran tertentu. Kisah dr. Ferihana Ummu Sulaym ini mungkin berbeda dengan pemahaman umum masyarakat. Ferihana adalah dokter lulusan American Academy Of Aesthetic Medicine. Ia mendirikan Rumah Sehat Muslim dan Dhuafa Yogyakarta, klinik pengobatan gratis bagi warga miskin. Pasiennya berasal dari berbagai agama dan suku yang tinggal di Yogyakarta. Di media sosial, Ferihana cukup popular dengan lebih dari 101 ribu pengikut di akun Instagram.
Kepada VOA, Ferihana mengatakan sudah membayangkan memakai niqab sejak SD. Ia sering bermimpi mengenakan cadar besar. Keinginan itu berproses hingga ketika kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII), dia mulai belajar bahasa Arab dan ajaran memakai niqab. “Ketika saya sudah menguasai ilmunya, barulah saya mengenakan niqab,” kata Ferihana.
Ferihana menggratiskan biaya berobat bagi warga miskin, termasuk obat yang diresepkan. Biaya operasional rumah sehat ini diperoleh dari klinik kecantikan yang dikelolanya. Ia mengaku tidak ada hambatan menjalankan profesi sebagai dokter dengan pakaian yang dipilihnya. Bahkan, ia masih rutin berolahraga seperti fitness, berenang dan basket.
Secara khusus, Ferihana menghimbau masyarakat untuk melihat niqab sebagai bagian dari syariat yang dijalankan muslimah seperti dirinya. Jika ada sesuatu yang kurang dari jenis pakaian ini, maka bukan model busananya yang menjadi penyebab, tetapi justru mereka yang memakainya.
“Ketika ada salah dari sikap wanita bercadar, maka jangan menyalahkan syariat cadar. Sebagaimana ada orang yang rajin beribadah tetapi akhlaqnya masih buruk,”tambahnya.
Lain lagi kisah Ummu Nafisah, perempuan dengan niqab yang ditemui VOA ini adalah salah satu aktivis pertama di Yogyakarta yang memrotes larangan memakai jilbab di tahun 90-an. Sekolah negeri ketika itu tidak mengijinkan siswinya memakai penutup kepala, tetapi banyak yang menentangnya. Ummu Nafisah bahkan sudah memakai niqab ketika itu.
“Di kelas dilepas, nanti kalau pulang baru dipakai di luar sekolah. Jadi, kalau dengar apa yang ada di UIN Sunan Kalijaga sekarang ini jadi heran. Itu sudah sejak 20 tahun lalu kami melawannya,” ujar perempuan dengan dua anak itu.
Your browser doesn’t support HTML5
Di perguruan tinggi, kata Ummu Nafisah, dia sempat memperoleh tekanan untuk melepas niqab. Namun dia melawan sampai ketika ujian akhir harus dilakukan. Pihak universitas meminta niqab dilepas selama ujian, tetapi Ummu Nafisah menolak. Akhirnya pihak kampus mengalah, dan mengijinkannya mengikuti ujian hingga selesai.
Keinginan memakai niqab datang melalui proses panjang. Tidak satupun anggota keluarga Ummu Nafisah yang memakai niqab, bahkan sang ayah pernah melarangnya. Nafisah mengaku keinginan itu datang sendiri tanpa paksaan. Kini, dia adalah pengusaha dengan banyak karyawan yang mayoritas laki-laki. Usaha yang dijalankannya antara lain agen elpiji, sewa kendaraan, hingga kos eksklusif. Kehidupan bermasyarakat juga berjalan baik. “ Seperti ibu-ibu yang lain, saya juga ikut arisan atau perkumpulan lain. Tidak ada masalah dalam pekerjaan dan juga pergaulan sehari-hari,” tambahnya. [ns/em]