Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, saat ini Indonesia masih berada dalam jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap.
Menurut Suharso, selama kurun waktu 20 tahun rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 4,01 persen dan baru berada di atas 5 persen pada 2022.
“Kami menyampaikan dalam skenario yang disusun oleh Bappenas, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai enam persen agar kita mampu graduasi dari jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap karena kita sudah 30 tahun di middle income trap, " ujar Suharso usai rapat terbatas yang membahas penyusunan Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (28/3).
Suharso menjelaskan, ada sejumlah faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Antara lain rendahnya produktivitas faktor total hingga ketimpangan pendapatan per kapita antarprovinsi.
“Ada 20 provinsi yang masih berada dalam kategori lower middle income, yang pendapatannya di bawah USD4.200 termasuk provinsi yang ada di Pulau Jawa yaitu Banten, DIY, dan Jawa Barat serta Jawa Tengah,” jelasnya.
Guna keluar dari jebakan middle income, katanya, pemerintah harus melancarkan berbagai strategi, termasuk memanfaatkan bonus demografi untuk meningkatkan produk domestik bruto (PDB). Bonus demografi adalah keuntungan ekonomi yang didapat suatu negara karena jumlah penduduk usia produktifnya yang banyak. Bonus demografi Indonesia, menurutnya, masih tersisa 18 tahun lagi.
“Contoh Korea Selatan dari USD3.530 ketika mereka memulai dengan bonus demografinya, dan sekarang tersisa lima tahun bonus demografinya, tapi mereka sudah sampai dengan USD35.000 per kapita,” katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Ia menambahkan, Presiden mengingatkan jajarannya untuk memilih strategi besar dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045. “RPJP itu sendiri adalah strategic direction yang menjadi pedoman untuk semua stakeholder tetapi memang diperlukan sebuah strategi besar yang kita akan pilih dalam rangka melakukan itu. Nah yang ditawarkan oleh Bappenas adalah transformasi sosial ekonomi dan tata kelola,” ujarnya.
Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal sependapat bahwa Indonesia harus melakukan sebuah transformasi besar-besaran. Namun, menurutnya, jika ingin melepaskan diri dari middle income trap, pertumbuhan ekonomi minimal harus tujuh persen.
“Sebetulnya kalau dari perhitungan kami, kalau kita kaitkan dengan target Indonesia maju 2045, ini kita butuhnya bukan cuma enam persen, tapi tujuh persen ke atas. Karena kalau tidak sampai tujuh persen ke atas di 2045 kita akan tetap berada di middle income trap. Jadi artinya tetap terjebak di dalam kategori negara dengan berpenghasilan menengah,” ungkap Faisal.
Ia menjelaskan, yang bisa dilakukan Indonesia adalah mentransformasi industri manufaktur. Menurutnya, cara ini juga dilakukan oleh negara-negara lain yang sudah keluar dari jebakan ini, seperti Korea selatan dan Taiwan.
“Tranformasi yang dilakukan di industri manufaktur yang sudah dilakukan oleh pemerintah salah satunya adalah hilirisasi. Tapi hilirisasinya harus diteruskan betul-betul dengan membangun sampai linkage industrinya sampai ke betul-betul di hilir. Sekarang yang dilakukan itu baru mengolah barang tambang yang mentah ke barang yang hanya sedikit diolah, setengah jadi pun belum. Karena yang kita inginkan adalah sampai kepada yang hilir di mana pemerintah kan sudah mendorong industri kendaraan listirk termasuk baterai kendaraan, jadi ini harus tersambung hilirisasinya,” jelasnya.
“Kalau ingin keluar dari middle income trap itu harus dilakukan minimal dari saat ini sampai 20 tahun ke depan, atau minimal 15 tahun ke depan. Kenapa? Karena masa itu adalah masa di mana kita menikmati bonus demografi, di mana masa bonus demografi itu tingkat produktivitas lebih tinggi dibandingkan pada masa setelahnya atau sebelumnya. Jadi, kalau mau ya waktunya dalam waktu 15 tahun ke depan ini, karena kalau sudah lewat kita telat, ini peluangnya makin kecil karena tingkat produktivitas, transisi demografi by nature akan susah untuk ditingkatkan,” pungkasnya. [gi/ab]