Meski ada bukti-bukti yang menunjukkan pemimpin perempuan lebih tidak korup, analisis mendalam menunjukkan situasinya tidak sesederhana itu.
WASHINGTON —
Meski ada pandangan umum bahwa perempuan yang berkuasa cenderung tidak menerima sogokan atau mendahulukan kepentingan publik di dari keuntungan pribadi, analisis yang lebih dalam menunjukkan bahwa hubungan antara gender dan korupsi lebih kompleks dari pandangan tersebut.
Perempuan tidak lebih murni atau tahan godaan keserakahan dibandingkan laki-laki, menurut berbagai riset. Namun perempuan biasanya naik menjadi pemimpin dalam sistem yang terbuka dan demokratis, sehingga masyarakat dalam sistem semacam itu lebih tidak toleran terhadap kesalahan, termasuk penyalahgunaan kekuasaan dan penggunaan uang publik.
“Jadi isunya bukan menaikkan jumlah perempuan dalam politik kemudian mengatakan, ‘Ah, ini akan mengubah segalanya,’” ujar Melanne Verveer, duta besar AS untuk isu-isu perempuan global.
“Intinya adalah mengubah ketidakseimbangan gender dan melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam mengatasi masalah. Dari [data] yang kita peroleh, hal ini akan memberikan dampak yang bermanfaat.”
Mungkin tidak berdampak secara langsung, namun bukti anekdotal menunjukkan dukungan terhadap pandangan bahwa lebih banyak perempuan di kantor publik meningkatkan kualitas pemerintahan, dan dengan demikian menurunkan tingkat korupsi.
Di Lima, Peru, misalnya, sebuah studi lapangan oleh Sabrina Karim menemukan bahwa persepsi publik bahwa suap merupakan masalah besar untuk polisi lalu lintas menurun pada 2012 dibandingkan pada 14 tahun sebelumnya. Perubahan terjadi setelah merekrut 2.500 perempuan untuk patroli jalan raya.
Sebuah survei opini publik terpisah menunjukkan bahwa 86 persen responden menyukai kinerja polisi lalu lintas perempuan. Dari sudut pandang polisi perempuan sendiri, 95 persen sepakat bahwa kehadiran perempuan dalam pasukan mengurangi korupsi dan 67 persen percaya perempuan lebih tidak korup.
Meksiko telah mengikuti Lima dan merekrut polisi perempuan sebagai cara mengendalikan korupsi.
India juga melihat perubahan sejak sebuah undang-undang yang disahkan pada 1993 mewajibkan kuota 30 persen perempuan pada dewan kelurahan. Laporan Pembangunan Dunia dari Bank Dunia tahun ini mengaitkan perubahan ini pada peningkatan persediaan air bersih, sanitasi, sekolah dan fasilitas publik lainnya di tingkat desa, dan tingkat korupsi lebih rendah.
Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat pemberian suap di desa-desa yang dipimpin oleh perempuan 2,7-3,7 persen lebih rendah dibandingkan di tempat-tempat yang dipimpin laki-laki. Ketika pria mengontrol semua tingkat kekuasaan, ujar para peneliti, uang biasanya ditanamkan pada proyek konstruksi besar seperti pembangunan jalan, yang rentan korupsi, dibandingkan pembangunan sekolah atau klinik.
Memutus Jaringan Pria
Mahnaz Afkhami, yang menjadi menteri negara urusan perempuan di Iran dari 1975 sampai 1978, berpendapat bahwa peningkatan suara perempuan akan berdampak signifikan pada kualitas pemerintahan.
“Ada hubungan langsung antara tingkat demokrasi dan presentasi perempuan dalam kepemimpinan dan kualitas pemerintahan,” ujar Afkhami.
"Mereka bukan bagian dari jaringan pria dan tidak begitu saja menyerah pada sistem yang sudah ada.”
Saat menjadi menteri di Iran, Afkhami mendorong perempuan memiliki hak yang sama untuk bercerai, memiliki pekerjaan, hak cuti melahirkan dan perawatan anak.
Di Nikaragua, Aurora Arauz maju menjadi anggota dewan kota setelah salah satu anggota dewan memerasnya untuk hubungan seks. Atas laporan Arauz, pria tersebut dipecat dari dewan kota, yang kemudian mengadakan pertemuan untuk meningkatkan layanan untuk perempuan, termasuk menamakan Arauz sebagai koordinator.
Semua contoh ini memperkuat studi berpengaruh dari Bank Dunia pada 1999, yang menemukan bahwa untuk setiap kenaikan jumlah perempuan di kantor publik di atas 10,9 persen, tingkat korupsi turun 10 persen.
'Tidak Sesederhana Itu'
Sri Mulyani Indrawati, mantan menteri keuangan Indonesia dengan reputasi sebagai reformis yang tangguh, sepakat bahwa pada tingkat akar rumput, lebih banyak perempuan dalam pemerintahan dapat berdampak penting terutama pada alokasi sumber daya.
Perempuan memprioritaskan kesejahteraan anak-anak dan apakah mereka memiliki cukup makanan untuk memberi makan keluarga, sementara laki-laki kurang sensitif terhadap kebutuhan publik dan cenderung melayani kepentingan sendiri, ujar Sri Mulyani.
“Mereka lebih merasa nyaman berada di kalangan sendiri dan tidak memiliki pandangan lain,” tambahnya.
Namun pada tingkat nasional, Sri Mulyani dan ahli lain mengatakan dampak lebih banyaknya perempuan dalam kekuasaan kurang jelas dan adalah terlalu menyederhanakan persoalan untuk mengatakan bahwa perempuan membersihkan pemerintahan.
Saat ini, perempuan memegang rekor menduduki 20,2 persen kursi badan legislatif nasional, lebih dari 100 persen dibandingkan jumlah pada 1987, menurut Serikat Antar-Parlemen. Rwanda, misalnya mengalokasikan setengah kursi parlemen untuk perempuan.
Meski ada kenaikan ini, tingkat korupsi masih belum berkurang.
Jajak pendapat Gallup di 140 negara yang dirilis Mei menemukan bahwa dua pertiga orang dewasa di dunia yakin korupsi terjadi secara luas dalam sektor bisnis dan di negara-negara mereka. Indikator pemerintahan dari Bank Dunia menunjukkan bahwa jumlah negara dengan skor korupsi yang meningkat sama dengan jumlah negara dengan skor yang memburuk.
Helen Clark, yang menjabat sebagai perdana menteri Selandia Baru selama sembilan tahun, mengatakan bahwa tidak ada bukti spesifik bahwa perempuan lebih tidak korup dibanding laki-laki. Menurutnya, integritas merupakan faktor kesempatan dan bagaimana masyarakat beroperasi dibandingkan gender.
"Ada semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa korupsi berlaku dalam jaringan politik dan sosial yang spesifik dimana perempuan biasanya tidak memiliki akses, terutama ketika perempuan baru memiliki posisi dalam kekuasaan,” ujar Clark, yang merupakan perempuan pertama yang mengepalai Program Pembangunan PBB.
Sebuah studi baru dari peneliti di Rice University dan Emory University menunjukkan bahwa struktur lembaga merupakan hal terpenting, dan keuntungan politik perempuan merupakan akibat dari struktur lembaga tersebut.
Laporan tersebut menemukan bahwa dalam rejim otokratik dengan hierarki laki-laki yang kuat, lebih banyak perempuan dalam kekuasaan memiliki dampak kecil pada korupsi. Namun dalam sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis secara politis, perubahan tersebut lebih terlihat.
Para peneliti berspekulasi bahwa perbedaan tersebut sebagian disebabkan karena perempuan lebih tidak suka mengambil risiko. Dalam rejim otokratik, perempuan biasanya memiliki kekuasaan melalui patronasi pria, dan jika korupsi merupakan norma dalam hierarki laki-laki, perempuan biasanya tidak mau berbicara karena takut kehilangan posisinya.
Sebaliknya yang terjadi dalam pemerintahan terbuka dan demokratis. Risiko tertangkap lebih tinggi karena sistem hukum berfungsi dengan baik dan para pemilih menghukum korupsi pada jajak pendapat. Karena pada dasarnya kurang suka mengambil risiko, sistem seperti ini membuat perempuan lebih berhati-hati lagi, ujar para peneliti tersebut. (Reuters/TrustLaw/Stella Dawson)
Perempuan tidak lebih murni atau tahan godaan keserakahan dibandingkan laki-laki, menurut berbagai riset. Namun perempuan biasanya naik menjadi pemimpin dalam sistem yang terbuka dan demokratis, sehingga masyarakat dalam sistem semacam itu lebih tidak toleran terhadap kesalahan, termasuk penyalahgunaan kekuasaan dan penggunaan uang publik.
“Jadi isunya bukan menaikkan jumlah perempuan dalam politik kemudian mengatakan, ‘Ah, ini akan mengubah segalanya,’” ujar Melanne Verveer, duta besar AS untuk isu-isu perempuan global.
“Intinya adalah mengubah ketidakseimbangan gender dan melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam mengatasi masalah. Dari [data] yang kita peroleh, hal ini akan memberikan dampak yang bermanfaat.”
Mungkin tidak berdampak secara langsung, namun bukti anekdotal menunjukkan dukungan terhadap pandangan bahwa lebih banyak perempuan di kantor publik meningkatkan kualitas pemerintahan, dan dengan demikian menurunkan tingkat korupsi.
Di Lima, Peru, misalnya, sebuah studi lapangan oleh Sabrina Karim menemukan bahwa persepsi publik bahwa suap merupakan masalah besar untuk polisi lalu lintas menurun pada 2012 dibandingkan pada 14 tahun sebelumnya. Perubahan terjadi setelah merekrut 2.500 perempuan untuk patroli jalan raya.
Sebuah survei opini publik terpisah menunjukkan bahwa 86 persen responden menyukai kinerja polisi lalu lintas perempuan. Dari sudut pandang polisi perempuan sendiri, 95 persen sepakat bahwa kehadiran perempuan dalam pasukan mengurangi korupsi dan 67 persen percaya perempuan lebih tidak korup.
Meksiko telah mengikuti Lima dan merekrut polisi perempuan sebagai cara mengendalikan korupsi.
India juga melihat perubahan sejak sebuah undang-undang yang disahkan pada 1993 mewajibkan kuota 30 persen perempuan pada dewan kelurahan. Laporan Pembangunan Dunia dari Bank Dunia tahun ini mengaitkan perubahan ini pada peningkatan persediaan air bersih, sanitasi, sekolah dan fasilitas publik lainnya di tingkat desa, dan tingkat korupsi lebih rendah.
Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat pemberian suap di desa-desa yang dipimpin oleh perempuan 2,7-3,7 persen lebih rendah dibandingkan di tempat-tempat yang dipimpin laki-laki. Ketika pria mengontrol semua tingkat kekuasaan, ujar para peneliti, uang biasanya ditanamkan pada proyek konstruksi besar seperti pembangunan jalan, yang rentan korupsi, dibandingkan pembangunan sekolah atau klinik.
Memutus Jaringan Pria
Mahnaz Afkhami, yang menjadi menteri negara urusan perempuan di Iran dari 1975 sampai 1978, berpendapat bahwa peningkatan suara perempuan akan berdampak signifikan pada kualitas pemerintahan.
“Ada hubungan langsung antara tingkat demokrasi dan presentasi perempuan dalam kepemimpinan dan kualitas pemerintahan,” ujar Afkhami.
"Mereka bukan bagian dari jaringan pria dan tidak begitu saja menyerah pada sistem yang sudah ada.”
Saat menjadi menteri di Iran, Afkhami mendorong perempuan memiliki hak yang sama untuk bercerai, memiliki pekerjaan, hak cuti melahirkan dan perawatan anak.
Di Nikaragua, Aurora Arauz maju menjadi anggota dewan kota setelah salah satu anggota dewan memerasnya untuk hubungan seks. Atas laporan Arauz, pria tersebut dipecat dari dewan kota, yang kemudian mengadakan pertemuan untuk meningkatkan layanan untuk perempuan, termasuk menamakan Arauz sebagai koordinator.
Semua contoh ini memperkuat studi berpengaruh dari Bank Dunia pada 1999, yang menemukan bahwa untuk setiap kenaikan jumlah perempuan di kantor publik di atas 10,9 persen, tingkat korupsi turun 10 persen.
'Tidak Sesederhana Itu'
Sri Mulyani Indrawati, mantan menteri keuangan Indonesia dengan reputasi sebagai reformis yang tangguh, sepakat bahwa pada tingkat akar rumput, lebih banyak perempuan dalam pemerintahan dapat berdampak penting terutama pada alokasi sumber daya.
Perempuan memprioritaskan kesejahteraan anak-anak dan apakah mereka memiliki cukup makanan untuk memberi makan keluarga, sementara laki-laki kurang sensitif terhadap kebutuhan publik dan cenderung melayani kepentingan sendiri, ujar Sri Mulyani.
“Mereka lebih merasa nyaman berada di kalangan sendiri dan tidak memiliki pandangan lain,” tambahnya.
Namun pada tingkat nasional, Sri Mulyani dan ahli lain mengatakan dampak lebih banyaknya perempuan dalam kekuasaan kurang jelas dan adalah terlalu menyederhanakan persoalan untuk mengatakan bahwa perempuan membersihkan pemerintahan.
Saat ini, perempuan memegang rekor menduduki 20,2 persen kursi badan legislatif nasional, lebih dari 100 persen dibandingkan jumlah pada 1987, menurut Serikat Antar-Parlemen. Rwanda, misalnya mengalokasikan setengah kursi parlemen untuk perempuan.
Meski ada kenaikan ini, tingkat korupsi masih belum berkurang.
Jajak pendapat Gallup di 140 negara yang dirilis Mei menemukan bahwa dua pertiga orang dewasa di dunia yakin korupsi terjadi secara luas dalam sektor bisnis dan di negara-negara mereka. Indikator pemerintahan dari Bank Dunia menunjukkan bahwa jumlah negara dengan skor korupsi yang meningkat sama dengan jumlah negara dengan skor yang memburuk.
Helen Clark, yang menjabat sebagai perdana menteri Selandia Baru selama sembilan tahun, mengatakan bahwa tidak ada bukti spesifik bahwa perempuan lebih tidak korup dibanding laki-laki. Menurutnya, integritas merupakan faktor kesempatan dan bagaimana masyarakat beroperasi dibandingkan gender.
"Ada semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa korupsi berlaku dalam jaringan politik dan sosial yang spesifik dimana perempuan biasanya tidak memiliki akses, terutama ketika perempuan baru memiliki posisi dalam kekuasaan,” ujar Clark, yang merupakan perempuan pertama yang mengepalai Program Pembangunan PBB.
Sebuah studi baru dari peneliti di Rice University dan Emory University menunjukkan bahwa struktur lembaga merupakan hal terpenting, dan keuntungan politik perempuan merupakan akibat dari struktur lembaga tersebut.
Laporan tersebut menemukan bahwa dalam rejim otokratik dengan hierarki laki-laki yang kuat, lebih banyak perempuan dalam kekuasaan memiliki dampak kecil pada korupsi. Namun dalam sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis secara politis, perubahan tersebut lebih terlihat.
Para peneliti berspekulasi bahwa perbedaan tersebut sebagian disebabkan karena perempuan lebih tidak suka mengambil risiko. Dalam rejim otokratik, perempuan biasanya memiliki kekuasaan melalui patronasi pria, dan jika korupsi merupakan norma dalam hierarki laki-laki, perempuan biasanya tidak mau berbicara karena takut kehilangan posisinya.
Sebaliknya yang terjadi dalam pemerintahan terbuka dan demokratis. Risiko tertangkap lebih tinggi karena sistem hukum berfungsi dengan baik dan para pemilih menghukum korupsi pada jajak pendapat. Karena pada dasarnya kurang suka mengambil risiko, sistem seperti ini membuat perempuan lebih berhati-hati lagi, ujar para peneliti tersebut. (Reuters/TrustLaw/Stella Dawson)