Meski tidak seburuk gulag pada jaman Stalin, namun prinsip-prinsip di koloni tahanan Rusia, tempat dua anggota band punk Pussy Riot akan ditahan, tetap sama: Mengisolasi tahanan dan membuat mereka kelelahan dengan melakukan “pekerjaan korektif.”
Maria Alekhina dan Nadezhda Tolokonnikova harus dengan cepat mempelajari hukum di penjara, bertahan dengan makanan dan layanan kesehatan yang menyedihkan, serta mendapat risiko digencet narapidana lain yang tersinggung karena “doa punk” yang mereka panjatkan untuk melawan Presiden Vladimir Putin atau yang diperintah untuk menekan mereka.
"Semua tahu peraturannya: Jangan percaya siapapun, jangan pernah takut dan jangan pernah memaafkan,” ujar Svetlana Bakhmina, seorang pengacara yang menghabiskan tiga tahun di koloni tahanan, atau penjara terisolasi yang biasanya terletak di pulau terpencil.
“Anda berada di tanah tak bertuan. Tidak akan ada yang menolong Anda. Anda harus memikirkan tentang semua hal yang Anda katakan dan lakukan untuk tetap jadi manusia.”
Alekhina, 24, Tolokonnikova, 22, dan Yekaterina Samutsevich, 30, didakwa melakukan kekacauan dengan motivasi kebencian agama akibat penampilan dadakan mereka di katedral utama Moskow, saat Putin bersiap menjalani pemilihan umum yang memberikannya periode ketiga sebagai presiden Rusia.
Perempuan-perempuan tersebut bersikeras protes mereka bersifat politis. Namun banyak pemeluk agama yang mengatakan mereka sangat terhina melihat para anggota grup itu menari di altar dengan memakai kupluk yang menutupi kepala dan wajah (balaclava).
Sebuah pengadilan banding membebaskan Samutsevich pada Rabu (10/10), namun tetap memberlakukan hukuman penjara dua tahun untuk yang lainnya. Ketua majelis hakim mengatakan bahwa, “perbaikan untuk mereka hanya dimungkinkan bila diisolasi dari masyarakat.”
Dalam koloni untuk perempuan, para tahanan tinggal dalam barak-barak berisi 30-40 orang satu kamar. Mereka memulai hari dengan olahraga wajib di udara terbuka saat fajar terbit, dalam tempatur yang bisa mencapai minus 30 derajat Celsius saat musim dingin. Setelah absen dan sarapan bubur, mereka menghabiskan tujuh sampai delapan jam bekerja, biasanya menjahit seragam atau pakaian lain.
Karena hanya ada satu koloni tahanan untuk perempuan dekat Moskow, narapidana perempuan dari ibukota tersebut dikirim ke Mordovia, daerah rawa yang penuh nyamuk di Sungai Volga.
Pengacara pembela mengatakan Alekhina dan Tolokonnikova akan dikirim ke sebuah koloni tahanan dalam dua minggu, setelah mendapat salinan hukuman mereka. Lokasinya masih belum diketahui.
Meski kondisinya berat, banyak tahanan yang lebih memilih ditempatkan di koloni daripada rumah tahanan pra-pengadilan yang penuh sesak, dan terkadang sangat tidak higienis dan hanya diijinkan keluar dari sel satu jam dalam sehari. Tiga anggota Pussy Riot tersebut ditahan di tempat tersebut sejak ditangkap Februari lalu.
Narapidana di Rusia ditahan dalam sebuah sistem yang oleh menteri hukum Rusia sendiri disebut “mengerikan kunonya” dan memiliki tujuan yang hanya berubah sedikit selama ratusan tahun.
Para czar Rusia mengirim tahanan ke koloni-koloni Siberia yang terpencil dimana tenaga kerja sangat kurang. Sistem tersebut diwarisi dan dikembangkan oleh Uni Soviet, yang mempekerjakan jutaan tahanan sampai mati dalam gulag. Rusia memenjarakan lebih banyak orang daripada negara manapun di dunia, kecuali Amerika Serikat dan Tiongkok, menurut Pusat Studi Tahanan Internasional.
Bakhmina mengatakan bahwa sedikit sekali waktu luang di koloni tahanan, karena penjaga sering memaksa tahanan menghadiri kelas atau berpartisipasi dalam kegiatan budaya.
Para tahanan biasanya dibayar sekitar US$10 per hari, yang dapat digunakan untuk membeli makanan, rokok dan peralatan mandi. Mereka-mereka yang tidak mendapat suplai dari keluarga harus berjuang dalam pasar buruh tak resmi itu dengan membersihkan fasilitas atau bekerja untuk narapidana yang lebih kaya. Rokok adalah mata uang dalam koloni.
Alekhina dan Tolokonnikova, keduanya lulusan universitas, sepertinya tidak akan punya banyak kesamaan dengan narapidana yang lain. Bakhmina mengatakan 90 persen orang yang ia temui tidak sepertinya; begitu banyak pecandu narkoba dan orang-orang yang memiliki kesulitan dalam berbicara.
Pasangan diijinkan menjenguk selama tiga hari, empat kali setahun. Para narapidana yang berkelakuan baik bahkan dibolehkan cuti dua minggu di luar koloni. Ibu dengan anak berusia di bawah tiga tahun dapat menitipkan mereka di sebuah ruangna di koloni tersebut, atau di barak.
Kedua anggota band punk tersebut dapat dikenai hukuman sampai dengan 15 hari dalam sel terisolasi untuk kesalahan minor seperti tidak membereskan tempat tidur atau menyimpan tangan di belakang saat absen atau kurang cepat menyapa penjaga.
Namun bahaya terbesarnya barangkali akan datang dari para narapidana sendiri.
Kekerasan fisik, meski ada, namun relatif jarang dibandingkan dengan koloni untuk laki-laki. Namun tekanan psikologis bisa lebih besar, ujar Vitaly Borshchyov, kepala Komisi Pengawasan Publik, organisasi hak asasi manusia yang bekerja dengan pemerintah untuk meningkatkan kondisi penjara.
“Koloni perempuan menciptakan gesekan dan konflik. Ada risiko disiksa, dipermalukan secara seksual atau dipaksa menjadi pacar, terutama jika Anda perempuan muda.”
Para pengacara dan pendukung Pussy Riot juga takut penganut Kristen Ortodoks akan menyerang mereka, baik terinspirasi karena peliputan yang sangat negatif dari televisi pemerintah atau dipaksa oleh pejabat pemerintah.
“Saat situasi bertambah parah di luar, hal itu dipindahkan ke dalam koloni,” ujar Lev Ponomarev, pembangkang Soviet yang mengelola yayasan pembela hak narapidana.
“Para penjahat berpikir mereka bisa bebas melakukan apa saja. Pihak berwenang tidak acuh.”
Para anggota Pussy Riot bersumpah akan terus melawan.
"Kami tidak akan tinggal diam,” ujar Alekhina pada sidang banding Rabu lalu. “Bahkan jika kami dikirim ke Mordovia atau Siberia, kami tidak akan diam… sehebat apapun kalian mencoba menodai kami." (AP/Max Seddon)
Maria Alekhina dan Nadezhda Tolokonnikova harus dengan cepat mempelajari hukum di penjara, bertahan dengan makanan dan layanan kesehatan yang menyedihkan, serta mendapat risiko digencet narapidana lain yang tersinggung karena “doa punk” yang mereka panjatkan untuk melawan Presiden Vladimir Putin atau yang diperintah untuk menekan mereka.
"Semua tahu peraturannya: Jangan percaya siapapun, jangan pernah takut dan jangan pernah memaafkan,” ujar Svetlana Bakhmina, seorang pengacara yang menghabiskan tiga tahun di koloni tahanan, atau penjara terisolasi yang biasanya terletak di pulau terpencil.
“Anda berada di tanah tak bertuan. Tidak akan ada yang menolong Anda. Anda harus memikirkan tentang semua hal yang Anda katakan dan lakukan untuk tetap jadi manusia.”
Alekhina, 24, Tolokonnikova, 22, dan Yekaterina Samutsevich, 30, didakwa melakukan kekacauan dengan motivasi kebencian agama akibat penampilan dadakan mereka di katedral utama Moskow, saat Putin bersiap menjalani pemilihan umum yang memberikannya periode ketiga sebagai presiden Rusia.
Perempuan-perempuan tersebut bersikeras protes mereka bersifat politis. Namun banyak pemeluk agama yang mengatakan mereka sangat terhina melihat para anggota grup itu menari di altar dengan memakai kupluk yang menutupi kepala dan wajah (balaclava).
Sebuah pengadilan banding membebaskan Samutsevich pada Rabu (10/10), namun tetap memberlakukan hukuman penjara dua tahun untuk yang lainnya. Ketua majelis hakim mengatakan bahwa, “perbaikan untuk mereka hanya dimungkinkan bila diisolasi dari masyarakat.”
Dalam koloni untuk perempuan, para tahanan tinggal dalam barak-barak berisi 30-40 orang satu kamar. Mereka memulai hari dengan olahraga wajib di udara terbuka saat fajar terbit, dalam tempatur yang bisa mencapai minus 30 derajat Celsius saat musim dingin. Setelah absen dan sarapan bubur, mereka menghabiskan tujuh sampai delapan jam bekerja, biasanya menjahit seragam atau pakaian lain.
Karena hanya ada satu koloni tahanan untuk perempuan dekat Moskow, narapidana perempuan dari ibukota tersebut dikirim ke Mordovia, daerah rawa yang penuh nyamuk di Sungai Volga.
Pengacara pembela mengatakan Alekhina dan Tolokonnikova akan dikirim ke sebuah koloni tahanan dalam dua minggu, setelah mendapat salinan hukuman mereka. Lokasinya masih belum diketahui.
Meski kondisinya berat, banyak tahanan yang lebih memilih ditempatkan di koloni daripada rumah tahanan pra-pengadilan yang penuh sesak, dan terkadang sangat tidak higienis dan hanya diijinkan keluar dari sel satu jam dalam sehari. Tiga anggota Pussy Riot tersebut ditahan di tempat tersebut sejak ditangkap Februari lalu.
Narapidana di Rusia ditahan dalam sebuah sistem yang oleh menteri hukum Rusia sendiri disebut “mengerikan kunonya” dan memiliki tujuan yang hanya berubah sedikit selama ratusan tahun.
Para czar Rusia mengirim tahanan ke koloni-koloni Siberia yang terpencil dimana tenaga kerja sangat kurang. Sistem tersebut diwarisi dan dikembangkan oleh Uni Soviet, yang mempekerjakan jutaan tahanan sampai mati dalam gulag. Rusia memenjarakan lebih banyak orang daripada negara manapun di dunia, kecuali Amerika Serikat dan Tiongkok, menurut Pusat Studi Tahanan Internasional.
Bakhmina mengatakan bahwa sedikit sekali waktu luang di koloni tahanan, karena penjaga sering memaksa tahanan menghadiri kelas atau berpartisipasi dalam kegiatan budaya.
Para tahanan biasanya dibayar sekitar US$10 per hari, yang dapat digunakan untuk membeli makanan, rokok dan peralatan mandi. Mereka-mereka yang tidak mendapat suplai dari keluarga harus berjuang dalam pasar buruh tak resmi itu dengan membersihkan fasilitas atau bekerja untuk narapidana yang lebih kaya. Rokok adalah mata uang dalam koloni.
Alekhina dan Tolokonnikova, keduanya lulusan universitas, sepertinya tidak akan punya banyak kesamaan dengan narapidana yang lain. Bakhmina mengatakan 90 persen orang yang ia temui tidak sepertinya; begitu banyak pecandu narkoba dan orang-orang yang memiliki kesulitan dalam berbicara.
Pasangan diijinkan menjenguk selama tiga hari, empat kali setahun. Para narapidana yang berkelakuan baik bahkan dibolehkan cuti dua minggu di luar koloni. Ibu dengan anak berusia di bawah tiga tahun dapat menitipkan mereka di sebuah ruangna di koloni tersebut, atau di barak.
Kedua anggota band punk tersebut dapat dikenai hukuman sampai dengan 15 hari dalam sel terisolasi untuk kesalahan minor seperti tidak membereskan tempat tidur atau menyimpan tangan di belakang saat absen atau kurang cepat menyapa penjaga.
Namun bahaya terbesarnya barangkali akan datang dari para narapidana sendiri.
Kekerasan fisik, meski ada, namun relatif jarang dibandingkan dengan koloni untuk laki-laki. Namun tekanan psikologis bisa lebih besar, ujar Vitaly Borshchyov, kepala Komisi Pengawasan Publik, organisasi hak asasi manusia yang bekerja dengan pemerintah untuk meningkatkan kondisi penjara.
“Koloni perempuan menciptakan gesekan dan konflik. Ada risiko disiksa, dipermalukan secara seksual atau dipaksa menjadi pacar, terutama jika Anda perempuan muda.”
Para pengacara dan pendukung Pussy Riot juga takut penganut Kristen Ortodoks akan menyerang mereka, baik terinspirasi karena peliputan yang sangat negatif dari televisi pemerintah atau dipaksa oleh pejabat pemerintah.
“Saat situasi bertambah parah di luar, hal itu dipindahkan ke dalam koloni,” ujar Lev Ponomarev, pembangkang Soviet yang mengelola yayasan pembela hak narapidana.
“Para penjahat berpikir mereka bisa bebas melakukan apa saja. Pihak berwenang tidak acuh.”
Para anggota Pussy Riot bersumpah akan terus melawan.
"Kami tidak akan tinggal diam,” ujar Alekhina pada sidang banding Rabu lalu. “Bahkan jika kami dikirim ke Mordovia atau Siberia, kami tidak akan diam… sehebat apapun kalian mencoba menodai kami." (AP/Max Seddon)