Puluhan pengungsi dari desa Nawokote berkumpul bersama warga desa Kobasoma menggelar ibadah malam Natal. Meski keceriaan Natal tergambar, tidak dipungkiri suasana sedih turut menggelayut bagi sebagian besar warga.
Dua bulan setelah meletusnya gunung Lewotobi di kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), masih ada ribuan penyintas bertahan di pos-pos pengungsian.
“Untuk Natal ini terpaksa di posko-posko pengungsian diadakan misa bersama. Umat sendiri masih trauma dengan keadaan gunung kemarin dan pasti rindu kampung halamannya,” kata Antonius Litong Knoba, Kepala Dusun Nurabelen di Flores Timur.
Gunung Lewotobi Laki-Laki di Flores Timur, NTT berulangkali Meletus dashyat pada pekan pertama dan kedua November 2024 lalu. Setidaknya 10 warga meninggal dunia, dan berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) setidaknya 13.116 Jiwa mengungsi di 8 titik lokasi.
Jumlah pengungsi terus turun seiring waktu, dan kini diperkirakan masih ada 8 ribu lebih pengungsi, baik di gedung-gedung sekolah, desa maupun tenda-tenda.
Setidaknya enam desa telah dinyatakan tidak aman ditinggali. Pemerintah dan berbagai lembaga bantuan kebencanaan, terus membangun hunian sementara di wilayah-wilayah yang dinilai aman, jika gunung kembali meletus kelak.
Namun, seperti dikatakan Litong Knoba, banyak warga yang belum sepenuhnya bisa menerima apa yang terjadi. Kehilangan rumah dan desa yang sudah ditinggali puluhan tahun bukan sesuatu yang mudah, dan merayakan Natal di pengungsian, tanpa mampu menghias rumah seperti biasa, juga sesuatu yang berat dijalani.
“Warga dari enam desa yang direlokasi itu yang kehilangan rumah, dan tidak bisa pulang lagi, mereka punya desa, kampung, sudah tidak layak untuk ditempati,” tambah Litong Knoba.
“Untuk mental dari masyarakat sendiri, itu mungkin yaa mau tidak mau harus terima. Karena sampai hari raya Natal masih di pengungsian, lalu sebagian orang masih rindu kampung, tidak menentu juga mental mereka,” ujarnya lagi.
Kehilangan rumah dan desa, berarti juga kehilangan gereja. Pada pengungsi itu kini bergabung dengan warga desa di dekat lokasi pengungsian mereka dalam melaksanakan ibadah dan perayaan Natal. Lembaga sosial milik keuskupan, Caritas di Larantuka, turut membantu dengan mengirimkan imam-imam untuk memberikan misa di posko-posko.
Selain bantuan logistik untuk keperluan sehari-hari, kehadiran para imam tentu penting untuk mendampingi umat di masa sulit seperti saat ini.
Litong Knoba berharap, Natal tahun ini bisa menjadi obat bagi penyintas letusan gunung Lewotobi. Karena itulah, ibadah rutin dilakukan sebagaimana sebelum bencana, dan perayaan besar akan diselenggarakan untuk meyakinkan bahwa gereja ada bersama mereka.
BACA JUGA: Pohon-pohon Unik Warnai Perayaan Natal di SurabayaRibuan penyintas ini tersebar di desa-desa seperti Lewulaga, Bokang, Kobasoma, dan Konga di Flores Timur, dan bahkan ada yang harus mengungsi di Hikong, kabupaten Sikka, NTT. Mereka mayoritas menggunakan bangunan sekolah untuk berteduh. Meski tidak ideal, ini kondisi yang relatif lebih baik di tengah cuaca Desember yang basah.
“Sekarang ini masih sering hujan, sampai hari ini masih terus mendung, satu minggu ini hujan,” ujar Litong Knoba.
Rusdy Lewar dari Caritas Larantuka mengakui, Natal tahun ini cukup berat bagi umat yang terdampak letusan Lewotobi.
“Kita berbagi kasih di Natal ini. Natal itu seharusnya jadi momen yang menyenangkan, menggembirakan. Tidak harus jadi momen yang sedih, karena mereka kan tinggalnya masih di tenda-tenda,” ujar dia.
Menurut catatan Caritas Larantuka, setidaknya ada lebih 8 ribu pengungsi masih bertahan di posko-posko. Hunian sementara terus dibangun, dan karena itu perlahan sebagian bisa pindah ke naungan yang sedikit lebih baik.
Untuk sedikit memberikan kebahagiaan Natal, perayaan dilakukan di enam titik berbeda. Sementara pada 28 Desember, diadakan Natal bersama seluruh pengungsi dan warga di kawasan tersebut.
“Selain memberikan peneguhan, hiburan, tapi itu saya pikir momen untuk menjadi panggilan. Mungkin semangat mereka dari keterpurukan ini, karena ada enam desa itu harus direlokasi, mereka harus meninggalkan kampung halamannya,” tambah Rusdy.
Tidak pernah mudah untuk meninggalkan kampung halaman, meski pemerintah memberikan fasilitas, dan banyak lembaga seperti Caritas mengirimkan bantuan.
“Dengan situasi alam yang sepeti ini, hujan, lumayan menyedihkan sebenarnya, kondisi mereka saat ini. Walaupun banyak uluran tangan untuk mereka, tapi saya pikir, tentu tidaklah mudah hidup di pengungsian. Apalagi di momen Natal ini,” ujar Rusdy. “Mungkin, secara psikis mereka, tentu Natal kali ini, mungkin bukan Natal yang bahagia. Mungkin, ya,” katanya lagi.
Caritas sudah menyusun rencana setelah masa tanggap darurat terlewati, tetap akan ada pendampingan bagi penyintas. Menurut Rusdy, program telah disusun untuk masa transisi pemulihan hingga rehabilitasi dan rekonstruksi.
Perayaan Natal bersama 28 Desember diharapkan memompa semangat para penyintas untuk bangkit kembali. Karena bagaimanapun, Flores Timur dan NTT yang mayoritas warganya adalah Nasrani, memiliki berbagai tradisi sepanjang perayaan Natal.
Biasanya, kata Rusdy, warga di Larantuka dan sekitarnya menyambut Natal dengan menghias rumah, juga lorong dan gang-gang kampung. Selain itu, ada juga pertunjukan musik fanfare, sejenis orkes musik keliling yang diusung para pemuda. Mereka tampil di atas panggung bergerak menggunakan mobil, berpindah dari satu desa ke desa yang lain. Tradisi fanfare, kata Rusdy, dimulai sejak sekitar tanggal 19 atau 20 Desember.
Natal di NTT juga akan diisi dengan menu makan berbeda di rumah-rumah, karena semua warga berbahagia. Tanggal 24 Desember akan diisi dengan misa Vigili Natal, lalu ibadah bersama pada 25 Desember, diikuti dengan acara berkumpul keluarga. Sebagian akan berwisata, sehari setelah Natal, terutama ke kawasan pantai.
Dan kemeriahan semacam itu masih akan terus terasa hingga 6 Januari dengan datangnya perayaan Epifani atau Hari Raya Penampakan Tuhan.
Sementara di sekitar Lewotobi, tahun ini mungkin semua itu tak akan terasa, sebab bencana telah memorakporandakan kampung halaman mereka. [ns/ka]