Di Hari Kebebasan Pers Dunia atau World Press Freedom Day (WPFD) 2015, Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan beberapa organisasi kemanusiaan internasional, menuntut agar Pemerintah membuka akses informasi dan peliputan di Papua. Hal itu perlu dilakukan agar publik mendapat gambaran situasi yang jelas terhadap situasi di Papua.
Anggota Dewan Pers Sabam Leo Batubara di gedung Dewan Pers Jakarta Kamis (30/4) mengatakan, kebijakan pendampingan oleh aparat pemerintah kepada media asing yang ingin meliput di wilayah Papua, adalah bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999.
"Wartawan asing mendapat ijin meliput di Papua itu harus didampingi oleh aparat. Pola pendampingan itu bertentangan dengan undang-undang pers. Itu dilarang, tidak ada itu penyensoran. Pendampingan terhadap wartawan yang meliput, ya sama saja dengan penyensoran. Berarti itu salah," kata Leo Batubara.
Leo Batubara menambahkan, wartawan di Papua dari hasil pantauan Dewan Pers, hanya bebas memberitakan hal yang disukai oleh pemerintah daerah setempat. Sementara itu untuk permasalahan HAM, tidak ada media yang berani mengabarkan isu tersebut, karena sama halnya dengan mencari masalah.
Your browser doesn’t support HTML5
Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor, mengatakan masih banyak ancaman yang diterima sejumlah media lokal di Papua.
"Saya sendiri pernah ditegur karena saya membuat berita tentang tentara Indonesia menembak tentara PNG (Papua New Guinea), saya ditegur tengah malam. Ya intimidasi seperti itu masih sering terjadi ya. Ditegur, diperiksa, dipanggil ke kantor polisi atau militer setempat," kata Viktor.
Indria Fernida dari Asia Justice and Rights (AJAR) mengatakan, ada keprihatinan bersama dari organisasi pers dan lembaga kemanusiaan yang tergabung dalam Solidaritas Papua - Jakarta dan Internasional yang diwujudkan dalam aksi global untuk mendorong akses ke Papua.
Aksi ini dilakukan serentak di 10 negara di dunia dengan tuntutan diantaranya penghapusan semua pembatasan kunjungan oleh wartawan asing ke Papua termasuk akses bagi organisasi kemanusiaan dan organisasi HAM internasional.
"Dalam 50 tahun terakhir secara de facto Papua tertutup. Baik itu jurnalis, organisasi HAM dan organisasi kemanusiaan. Itu tampak dari terbatasnya informasi yang sampai di Jakarta. Kami melihat upaya ini harus dihentikan. Dan ini juga berkaitan dengan beberapa kasus yang terjadi belakangan yang kami anggap ancaman buat kebebasan berekspresi dan kebebasan pers," kata Indria Fernida.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri mengakui ada syarat khusus bagi wartawan asing untuk meliput di Papua. Direktur Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri Siti Sofia menjelaskan, wartawan asing yang ingin meliput harus melewati proses seleksi 12 persetujuan kementerian dan lembaga, termasuk pertimbangan TNI dan Polri. Proses ini kemudian dikenal sebagai clearing house. Siti memastikan proses itu juga diberlakukan oleh semua negara.
"Kita sifatnya koordinasi. Dan di negara manapun saya yakin juga ada. Informasi soal Papua keluar terus kok.. buat apa ditutup-tutupi. Tapi kita juga ga mau informassi yang positif (soal Papua) malah tertutup. Lihat beritanya, apa kami sensor ? Tidak," kata Siti Sofia.
Siti Sofia meyakini bahwa saat ini kementerian luar negeri dan pihak terkait akan melakukan evaluasi terkait kebijakan clearing house untuk peliputan di Papua.
"Ya ini sedang kami berusaha. Pendampingan dari kami sifatnya hanya fasilitasi. Saya merasa ada harapan dengan pendekatan pak Jokowi yang langsung kesana. Dan memastikan segala sesuatunya harus terbuka," imbuhnya.
Dalam situs resmi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia disebutkan, setiap permohonan kunjungan jurnalistik akan diproses dalam rapat antara instansi pemerintah terkait yang diselenggarakan di Kementerian Luar Negeri. Meski tidak ada istilah resmi yang merujuk pada hal tersebut, tetapi awak media mengenalnya dengan "Clearing House".
Situs tersebut juga menjelaskan prosedur pelayanan kunjungan jurnalistik wartawan asing di Indonesia. Jurnalis asing harus memperoleh Visa Kunjungan Jurnalistik diberlakukan bagi wartawan asing dan pembuatan film dokumenter di Indonesia. Setiba di Jakarta, wartawan asing harus mengurus temporary press identity card ke Direktorat Informasi Kemlu.
Anggota Dewan Pers Sabam Leo Batubara berharap, kebijakan Presiden Joko Widodo yang menginginkan Papua sebagai Daerah Terbuka, bisa diikuti oleh aparatur pemerintah pusat dan Papua termasuk TNI dan Polri.
"Harapan kita kepada Presiden Jokowi yang sudah mendeklarasikan Papua Daerah Terbuka, harus diselesaikan damai. Berarti, pendekatan ke Papua tidak boleh lagi pendekatan security / keamanan. Ini persoalan yang harus diselesaikan, bagaimana supaya kebijakan Presiden itu dalam turunannya dijabarkan oleh kementerian Pertahanan, kementerian luar negeri, TNI- Polri, aparat, bahwa memang di sana (Papua) terbuka.
Pada 2014 lalu 2 orang jurnalis Perancis telah dihukum selama 11 minggu dalam tahanan atas dakwaaan pelanggaran imigrasi. Berdasarkan informasi dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua, dalam beberapa tahun terakhir ini, jurnalis dari Republik Ceko, Perancis dan Belanda telah dideportasi karena melaporkan situasi politik damai di Papua.
Di Papua, kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis lokal dan nasional beresiko tinggi. Pada 30 Juli 2010, seorang jurnalis, Ardiansyah Matra ditemukan meninggal dunia setelah menerima ancaman yang berulang dari militer ketika ia melakukan investigasi pembalakan hutan.
Pada 24 Agustus 2010, Musa Kondorura dari radio 68H telah diserang oleh dua orang agen Badan Intelijen Negara (BIN). Pada 3 Maret 2011, Banjir Ambarita, seorang jurnalis dari Jakarta Globe dan Bintang Papua telah diserang dan ditikam setelah melaporkan seorang polisi yang melakukan pemerkosaan dan menyebabkan Kapolresta Papua Imam Setiawan mengundurkan diri.
Pada 2011, AJI mencatat tujuh buah kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis. Pada 2012 kasus yang terjadi meningkat menjadi 12 peristiwa. Pada Juli 2013, rumah seorang jurnalis dari Majalah Selangkah, sebuah media independen online telah digerebek dan digeledah oleh orang-orang yang tidak dikenal.