Penangguhan beberapa sanksi ekonomi oleh Amerika terhadap Burma telah memicu beragam reaksi dari para analis dan kelompok-kelompok HAM.
Beberapa analis regional mengatakan sanksi – sanksi itu seharusnya sudah dicabut sejak lama. Namun, berbagai organisasi HAM berpendapat bahwa pelanggaran HAM masih berlanjut di Burma, dan mengatakan Washington mungkin bergerak terlalu cepat.
Berbagai sanksi ekonomi terhadap Burma diberlakukan sebagai hukuman atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan militer tersebut. Burma menindak keras gerakan-gerakan demokrasi, menyiksa dan memenjarakan mereka yang mengecam pemerintahan militer.
Tapi tahun lalu, Presiden Burma, Thein Sein, walaupun ia adalah mantan perwira militer, mengherankan para pengkritiknya dengan memulai serangkaian reformasi. Dia mengurangi pengawasan pada media, membebaskan ratusan tahanan politik, dan menyambut baik pemimpin demokrasi Aung San Suu Kyi ke dalam dunia politik.
Amerika menanggapi hal tersebut hari Kamis dengan menangguhkan sanksi-sanksi ekonomi, membolehkan investasi baru Amerika di negara itu untuk pertama kalinya dalam 15 tahun.
Aung Thu Nyein adalah seorang analis pada perusahaan riset Burma Vahu Development Institute. Dia menyambut baik penangguhan sanksi itu, yang disebutnya sebagai senjata tumpul yang hanya merugikan orang biasa.
Ia mengatakan, “"Menangguhkan sanksi-sanksi semacam itu akan ikut menciptakan keadaan yang lebih baik bagi rakyat biasa."
Aung Thu Nyein mengatakan mencabut sanksi-sanksi ekonomi juga akan memberi imbalan dan semangat kalangan reformis dalam pemerintahan.
Tapi, beberapa aktivis HAM memperingatkan Amerika mungkin bergerak terlalu cepat. Phil Robertson adalah wakil direktur Asia untuk Human Rights Watch.
"Masih banyak tahanan politik di penjara. Masih ada undang-undang represif. Tak banyak perubahan dalam cara militer Burma beroperasi di daerah-daerah etnis. Keadaan di utara pada etnis Kachin dan perang yang berlangsung disana dan ditargetkannya warga sipil merupakan keprihatinan besar bagi kita. Jadi kita sedikit bingung mengapa Amerika seperti tergesa-gesa mencabut begitu banyak sanksi tersebut,” papar Robertson.
Washington mengatakan sanksi –sanksi itu dikurangi tapi tidak dicabut, sehingga dapat segera diberlakukan lagi jika reformasi diubah. Beberapa sanksi akan tetap diberlakukan, termasuk larangan penjualan senjata, dan daftar individu yang dikenakan sanksi atas pelanggaran HAM atau korupsi akan terus diperbarui.
Aung Thu Nyein mengatakan pebisnis Amerika harus berhati-hati berinvestasi dalam sumber daya alam yang menguntungkan di Burma. Dia mengacu pada banyaknya industri minyak, kayu dan pertambangan yang terjadi di daerah-daerah etnis minoritas di mana menurut berbagai organisasi HAM mengatakan pelanggaran oleh pihak militer masih terus berlanjut.
Aung Thu Nyein mengatakan, "Tapi pada saat bersamaan, seperti Anda tahu, investasi Amerika akan bisa menaikkan semacam standar kompetisi, dan pada saat bersamaan juga, standar etika dan bisnis di negara ini."
Amerika kini mulai merumuskan mekanisme untuk mendorong pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas atas investasi Amerika.
Amerika merupakan negara besar terakhir yang menangguhkan sanksi terhadap Burma setelah Uni Eropa, Kanada, dan Australia.
Berbagai sanksi ekonomi terhadap Burma diberlakukan sebagai hukuman atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan militer tersebut. Burma menindak keras gerakan-gerakan demokrasi, menyiksa dan memenjarakan mereka yang mengecam pemerintahan militer.
Tapi tahun lalu, Presiden Burma, Thein Sein, walaupun ia adalah mantan perwira militer, mengherankan para pengkritiknya dengan memulai serangkaian reformasi. Dia mengurangi pengawasan pada media, membebaskan ratusan tahanan politik, dan menyambut baik pemimpin demokrasi Aung San Suu Kyi ke dalam dunia politik.
Amerika menanggapi hal tersebut hari Kamis dengan menangguhkan sanksi-sanksi ekonomi, membolehkan investasi baru Amerika di negara itu untuk pertama kalinya dalam 15 tahun.
Aung Thu Nyein adalah seorang analis pada perusahaan riset Burma Vahu Development Institute. Dia menyambut baik penangguhan sanksi itu, yang disebutnya sebagai senjata tumpul yang hanya merugikan orang biasa.
Ia mengatakan, “"Menangguhkan sanksi-sanksi semacam itu akan ikut menciptakan keadaan yang lebih baik bagi rakyat biasa."
Aung Thu Nyein mengatakan mencabut sanksi-sanksi ekonomi juga akan memberi imbalan dan semangat kalangan reformis dalam pemerintahan.
Tapi, beberapa aktivis HAM memperingatkan Amerika mungkin bergerak terlalu cepat. Phil Robertson adalah wakil direktur Asia untuk Human Rights Watch.
"Masih banyak tahanan politik di penjara. Masih ada undang-undang represif. Tak banyak perubahan dalam cara militer Burma beroperasi di daerah-daerah etnis. Keadaan di utara pada etnis Kachin dan perang yang berlangsung disana dan ditargetkannya warga sipil merupakan keprihatinan besar bagi kita. Jadi kita sedikit bingung mengapa Amerika seperti tergesa-gesa mencabut begitu banyak sanksi tersebut,” papar Robertson.
Washington mengatakan sanksi –sanksi itu dikurangi tapi tidak dicabut, sehingga dapat segera diberlakukan lagi jika reformasi diubah. Beberapa sanksi akan tetap diberlakukan, termasuk larangan penjualan senjata, dan daftar individu yang dikenakan sanksi atas pelanggaran HAM atau korupsi akan terus diperbarui.
Aung Thu Nyein mengatakan pebisnis Amerika harus berhati-hati berinvestasi dalam sumber daya alam yang menguntungkan di Burma. Dia mengacu pada banyaknya industri minyak, kayu dan pertambangan yang terjadi di daerah-daerah etnis minoritas di mana menurut berbagai organisasi HAM mengatakan pelanggaran oleh pihak militer masih terus berlanjut.
Aung Thu Nyein mengatakan, "Tapi pada saat bersamaan, seperti Anda tahu, investasi Amerika akan bisa menaikkan semacam standar kompetisi, dan pada saat bersamaan juga, standar etika dan bisnis di negara ini."
Amerika kini mulai merumuskan mekanisme untuk mendorong pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas atas investasi Amerika.
Amerika merupakan negara besar terakhir yang menangguhkan sanksi terhadap Burma setelah Uni Eropa, Kanada, dan Australia.